Sabtu, 26 Desember 2009

Melihat Kebenaran Agama Dengan Teleskop Yang Tepat
Sebuah catatan awal untuk mewujudkan komunitas dialogis antar agama dalam realitas pluralitas
Oleh: Rikson Karundeng



Thomas L. Friedman, dalam bukunya The World Is Flat, mengungkapkan kalau dunia kini telah memasuki golbalisasi 3.0. Kondisi ini menurutnya, jauh berbeda dengan kondisi dimasa globalisasi 1.0 (masa yang berlangsung sejak 1492 ketika kolombus berlayar membuka perdagangan antara Dunia Lama dan Dunia Baru, hingga sekitar tahun 1800. Proses ini menyusutkan dunia dari ukuran besar menjadi sedang) dan globalisasi 2.0 (masa yang berlangsung dari sekitar tahun 1800 hingga 2000. Masa ini menyusutkan dunia dari ukuran sedang menjadi kecil). Pada tahap globalisasi yang ketiga ini dunia semakin kecil dan datar sehingga semakin memungkinkan individu-individu dengan berbagai latar belakang budaya, agama bahkan warna kulit yang berbeda berjumpa dan ikut bermain dalam dunia yang telah menjadi sebuah kampung kecil ini.
Sejarah telah mebuktikan kalau perjumpaan antara  umat beragama yang berbeda banyak kali menciptakan ledakan hebat yang berekses negatif,  sehingga perjumpaan itu lebih bisa dikatakan sebagai sebuah benturan. Sikap merasa paling benar mendorong umat beragama tertentu melakukan penganiayaan bahkan pembunuhan terhadap umat beragama lain, sehingga menciptakan konflik antar umat bergama dari skala kecil hingga eskalasinya meluas bahkan menggolbal. Beberap contoh yang bisa kita lihat adalah lahirnya gerakan Ikhwan al-Muslimin, yang dibentuk di Ismailiyah Mesir pada 1927.  Karena merasa paling benar, mereka kemudian melakukan penghancuran fasilitas-fasilitas umum dan melakukan pembunuhan, terutama bagi warga asing yang dianggap kafir. Di timur Tengah, konflik antara Israel dan negara-negra Arab tak kunjung berhenti karena ketika persoalan Israel-Palestina di dorong ke wilayah agama, sikap keras hati yang ditunjukan orang-orang yang menganggap komunitasnya paling suci dan komunitas yang menganggap diri sebagai umat pilihan, melanggengkan persetruan ini. Persoalan ini semakin keruh ketika Barat yang dianggap Kristen, ikut mengintervensi. Tidak mengherankan jika Amerika Serikat dan Bangsa Barat yang dianggap Kristen itu sering menjadi target pemboman kelompok-kelompok radikal muslim. Di pihak lain, kelompok Yudaisme fundamentalis, misalnya yang paling terkenal adalah kelompok yang dipimpin Gush Emunim, sering juga melakukan pemboman sebagai serangan balasan bagi orang-orang Arab. Menurut mereka, tidakan tersebut membuktikan ketaatan mereka kepada Yahwe.
Di India pernah juga dicatat, bagaimana sejumlah gerakan Hinduisme dan Buddhisme yang agresif dan merasa paling benar, melakukan berbagai tindakan kekerasan.  Salah satu contoh adalah perusakan Masjid Babri di Ayodhya oleh kelompok radikal Hindu. Hal tersebut kemudian memicu perselisihan berkepanjangan antara kelompok Hindu dan Muslim.  Sementara, di Sri Lanka, para pendeta Buddha bahkan menjadi pemimpin untuk melakukan kekerasan dan pembantaian bagi umat Hindu dengan  dalih untuk memperjuangkan agama mereka sebagai agama yang paling benar.
Di kalangan Kristen, tidak sedikit pula kelompok yang melakukan tindakan kekerasan karena alasan untuk menegakkan kebenaran dan karena merasa paling benar.  Salah satu contoh adalah gerakan yang dilakukan kelompok Christian Right di Amerika Serikat.
Apa yang bisa kita lihat dari potret ini ?  Steve Bruce dalam Fundamentalisme-nya melihat kalau gerakan-gerakan dalam beberapa potret ini bukan semata gerakan keagamaan tapi ideologi mereka agama. Yang menarik adalah, gerakan-gerakan tersebut mempunyai keinginan yang kuat untuk mengubah dunia secara keseluruhan agar bisa menjadi satu warna, yaitu warna kebenaran yang sesungguhnya seperti warna mereka. Kekerasan bisa dilakukan untuk mencapai tujuan itu dan agama biasanya dijadikan alasan pembenaran bagi  tindakan tersebut.
Kondisi dunia di globalisasi ketiga seperti kata Friedman, telah membuat dunia menjadi seperti sebuah kampung kecil. Artinya, masyarakat dunia yang plural semakin dimungkinkan untuk berjumpa dan bermain bersama. Dalam kondisi dunia seperti ini, jika masing-masing kelompok agama yang merasa paling benar kini maih hadir dan ngotot untuk memperjuangkan kebenarannya, apa yang akan terjadi dengan dunia kita ? Mungkinkah Tuhan yang disembah oleh setiap agama yang ada memang menghendaki adanya kekerasan dan kekacauan di bumi yang Ia ciptakan ini ?
Melihat kondisi ini, sepertinya untuk mencapai kedamaian yang sesungguhnya bagi dunia, agama-agama yang ada perlu mereview, merehermenutik dan merekonstruksi  paham keagamaan kita, terutama bagaimana kita melihat agama-agama lain yang kita jumpai sehingga kita mampu menemukan hakekat kebenaran agama kita yang sesungguhnya.
Menurut Paul F. Knitter, perjuangan berbagai agama yang semakin getol dan roda globalisasi yang semakin kencang, memang merupakan sebuah fenomena yang melahirkan sebuah tantangan baru bagi sebuah agama. Pluralitas agama sendiri menurutnya bukanlah sebuah fenomena baru, namun kemunculannya dalam berbagai cara menuntut pemikiran baru untuk menghadapinya.  Namun terkadang pendekatan baru yang kita upayakan tidak membuahkan hasil seperti yang diimpikan. Hal ini menurut Knitter disebabkan karena kuantitas informasi dan kualitas kesadaran baru kita tentang berbagai agama kini memunculkan sederetan pertanyaan penting yang tidak peranah dihadapi umat beragama di masa lampau karena mereka terisolasi dalam agama mereka masing-masing.
Kesadaran akan pluralitas dari agama-agama, barangkali merupakan kunci bagi agama-agama yang ada untuk berjumpa, bersentuhan dan kemudian menciptakan efek positif bagi upaya membagun kedamaian serta keutuhan dunia ciptaan Tuhan. Kenyataan konkrit membuktikan bahwa kesadaran akan adanya keragaman dan vitalitas berbagai agama telah mendorong banyak orang untuk mengatakan, “Tidak ada jalan satu-satunya bagi semua orang.” Edward Schillebeeckx dalam The Church: The Human Story of God, kepada umat Kristiani mengatakan “Keyakinan teguh yang terus dipegang seseorang sebagai kebenaran dimana yang lainnya salah tidak dimungkinkan lagi sekarang ini.”  Artinya, kalau ada yang mengatakan bahwa cara seseorang merupakan satu-satunya kemungkinan yang ada untuk memahami kebenaran agama, berarti ia hidup dalam “zaman yang sesat”.
Melihat pluralitas sebagai suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, Schillebeeckx menegaskan kalau pluralitas bukan hanya satu kenyataan tetapi satu prinsip.  Kalau kita menggodok yang “banyak” menjadi “satu”, berarti kita menyakiti diri sendiri dan mengebiri dunia ini. Menurutnya, secara logis dan praktis, multiplisitas lebih penting daripada kesatuan.
Memang ada pendapat bahwa kesadaran akan pluralisme tidak kemudian secara langsung membuat kita mengagungkan diversitas sebab pluraslisme patut kita sadari, bukan juga tanpa masalah. Suatu kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri, sekarang ini banyak persoalan baru muncul sebagai akibat dari usaha agama-agama untuk bekerja sama menyelesaikan masalah. Pertanyaan lain yang muncul, bisakah agama-agama yang banyak ini hidup berdampingan dalam tolerasi, atau justru lebih buruk lagi, berperang satu sama lain, bisakah masalah lingkungan dan kemanusiaan terselesikan ? Namun, konklusi tentang apa arti semua ini bagi umat beragama, telah dijawab Schillebeeckx. Menurutnya, keragaman agama bukan suatu keburukan yang harus dihilangkan, tetapi suatu kenyataan yang harus diterima dan dinikmati oleh semua…..Di dalam semua agama terdapat lebih banyak kebenaran agamis daripada di dalam satu agama.


Agama-agama di dunia sepertinya harus bersatu. Maksudnya tentu bukan dalam rangka membentuk suatu agama tunggal tetapi lebih pada komunitas dialogis dari antara berbagai komunitas. Artinya, ke depan kita tidak lagi sebatas mencitrakan agama pada foto-foto kegiatan umat beragama dalam rumah-rumah ibadah tetapi lebih pada upaya untuk memperteguh sikap dan praktek saling mengemukakan pendapat dan saling mendengar. Di tingkat internasional, suasana seperti ini telah diperagakan oleh ribuan orang di Parlemen Agama-Agama Sedunia di Chicago tahun 1993, di Cape Town tahun 1999 dan di Barcelona pada tahun 2004. Namun, kesadaran seperti yang dibangun komunitas dialogis di tingkat internasional ini tentu bisa menjadi citra yang dapat dilakukan di tingkat lokal atau di lingkungan terkecil dalam komunitas umat beragama.
Knitter mengungkapkan kalau mewujudkan satu komunitas dialogis dari antara berbagai komunitas agama-agama dunia masih merupakan impian daripada sebuah konsep yang jelas. Namun, ketika memaknai lebih jauh impian ini, banyak pemikiran yang kemudian berendapat bahwa hal ini justru bukan hanya mungkin terwujud tetapi juga dibutuhkan. Salah satu contoh, perspektif filosofis yang diungkapkan Knitter dalam bukunya Pengantar Teologi Agama-Agama.
Perspektif filosofis memahami multiplisitas atau pluralitas, penciptaan seagai satu potensi menuju persatuan yang lebih kokoh – walaupun tidak bisa dikatakan dimana potensi ini akan berakhir. Yang banyak diimbau menjadi satu. Namun yang satu ini tidak menghilangkan yang banyak. Yang banyak menjadi satu dengan tetap menjadi banyak, dan yang satu dibawa oleh setiap yang banyak sehingga terdapat kontribusi khusus untuk yang lainnya dan keseluruhannya. Terjadilah satu proses yang mengarah ke konsentrasi yang dapat diserap oleh yang banyak dalam tiap-tiap dan karena itu dalam keseluruhan yang lebih besar juga. Saat individualisme melemah, personalisasi diintensifkan; individu menemukan jati dirinya sebagai bagian dari diri yang banyak lainnya. Jadi ada satu gerakan, bukan menuju kesatuan absolut atau monistik tetapi menuju apa yang bisa disebut “pluralisme yang menyatukan”: pluralitas yang membentuk persatuan. Atau, secara sederhana dan lebih menarik: gerakan itu menuju suatu komunitas dialogis yang sungguh-sunguh, dimana tiap anggota hidup dan berada dalam dialog dengan sesama. Menurut Knitter, visi filosofis ini barangkali bisa berfungsi sebagai satu lensa untuk menfsirkan pengalaman baru pluralisme.
Saat ini, agama-agama di dunia sedang merasakan berbagai kemungkinan terjadinya satu persatuan yang bisa dinikmati bersama melalui hubungan yang lebih baik satu sama lain. Banyak umat beragama kini sadar akan adanya suatu cara yang dinamis dan dialogis dalam usaha memahami diri mereka. Umat berbagai agama terus merasakan adanya tantangan untuk menemukan dan mengembangkan identitas individu mereka dalam komunitas agama yang lebih luas. Kalau begitu apa yang harus dilakukan?
Untuk menciptakan komunitas dialogis antar agama seperti yang diimpikan, barangkali harus kita mulai dengan melihat kebenaran lebih daripada apa yang bisa dilihat menurut perspektif budaya dan agama kita. Artinya bagaimana kita bisa juga melihat kebenaran menurut perspektif agama lain. Kalau kita bisa melihat menurut perspektif sesama kita, walaupun agak janggal dan sulit disesuaikan, kita akan mampu melihat apa yang tidak bisa kita lihat dari perspektif kita sendiri. Semakin berbeda kacamata yang coba kita gunakan, tentu semakin banyak hal baru yang bisa kita lihat. Maksudnya, semakin banyak perspektif yang kita gunakan, semakin banyak visi dan pemahaman terhadap kebenaran yang bisa dikembangkan. Menurut Knitter, kita perlu berbicara kepada mereka yang memiliki teleskop yang lain untuk melihat kebenaran universal dan mendengar dari mereka bukan hanya bagaimana pendapat mereka tentang kebenaran kita, tetapi juga bagaimana pemberitaan tentang kebenaran kita itu mempengaruhi mereka. Mungkin mereka akan memberitahukan bagaimana mereka telah dikucilkan, direndahkan, atau dieksploitasi oleh kebenaran kita.

* Pernah Dimuat di Majalah Inspirator tahun 2009





0 komentar:

Posting Komentar