Jumat, 04 Desember 2009

ANTHONY GIDDENS


KATA PENGANTAR

Menarik sebuah benang merah dari inti teori Struktur Anthony Giddens ke arah konsep pemikir-pemikir sebelumnya seputar teori tersebut bukanlah sebuah pekerjaan yang singkat. Gagasan yang plural tentang beberapa subjek, serta rentangan kurun waktu sejarah sampai pada zaman Comte misalnya -yang merupakan rentangan waktu yang cukup panjang- yang telah memuat daftar ratusan gagasan para sosiolog dan teoritisi lainnya, turut menambah rumit proses perunutan tersebut. Namun, untuk bisa memahami dengan jelas siapa Giddens dan bagaimana teori strukturnya, maka proses perunutan merupakan hal yang wajib dilakukan. Untunglah, peta perkembangan pemikiran teori Sosiologi yang dibuat Ritzer bisa membantu pekerjaan itu.
Tulisan ini berisi biografi singkat Anthony Giddens, teori struktur dan agennya, serta pembahasan singkat peta perkembangan pemikiran dari Auguste Comte sampai Giddens, ditambah dengan teori terpadu George Ritzer, sebagai perkembangan teori selanjutnya. Tulisan ini sengaja hanya difokuskan pada teori struktur dan agen dengan maksud agar bisa diperoleh gambaran lebih mendalam seputar teori tersebut.
Diakui bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, saran dan kritik sangat diperlukan untuk peningkatan kualitas tulisan ini. Terima kasih

Tomohon, 18 Juni 2009

Riane Elean
NIM. 0708165009

I. Biografi
Anthony Giddens adalah seorang teoritisi sosial Inggris. Ia lahir pada 18 Januari 1938. Karya awalnya bersifat empiris dan memusatkan perhatian pada masalah bunuh diri. Dalam karya-karyanya, Giddens membangun perspektifnya sendiri, yang terkenal sebagai teori strukturasi.

II. Teori Struktur dan Agen
Giddens mengemukakan teori strukturasi. Kunci pendekatan Giddens adalah bahwa ia melihat agen dan struktur sebagai dualitas, artinya keduanya dapat dipisahkan satu sama lain. Agen terlibat dalam struktur dan struktur melibatkan agen. Menurutnya, seluruh tindakan sosial memerlukan sturktur dan seluruh struktur memerlukan tindakan sosial. Giddens menolak untuk melihat struktur semata sebagai pemaksa terhadap agen (misalnya seperti Durkheim), tetapi melihat struktur baik sebagai pemaksa maupun penyedia peluang.
Inti konseptual teori strukturasi terletak pada pemikiran tentang struktur, sistem dan dwi rangkap struktur. Struktur didefinisikan sebagai “properti-properti yang berstruktur (aturan dan sumber daya), yang memungkinkan praktek sosial serupa yang dapat dijelaskan untuk eksis di sepanjang ruang dan waktu dan yang membuatnya menjadi bentuk sistemik. Struktur hanya akan terwujud Karena adanya aturan dan sumber daya. Struktur itu sendiri tidak berada dalam ruang dan waktu. Fenomena sosial mempunyai kapasitas yang cukup untuk menjadi struktur. Giddens berpendapat bahwa struktur hanya ada di dalam dan melalui aktivitas agen manusia. Jadi Giddens mengemukakan definisi struktur yang tak lazim, yang tak mengikuti pola Durkheimian dalam memandang struktur sebagai suatu yang berada di luar dan memaksa aktor. Menurutnya, struktur adalah apa yang membentuk dan menentukan terhadap kehidupan sosial, tetapi bukan struktur itu sendiri yang membentuk dan menentukan terhadap kehidupan sosial.
Giddens melihat modernitas sekarang sebagai “juggernaut” (panser raksasa) yang lepas kontrol.
kehidupan kolektif modern ibarat panser raksasa yang tengah melaju hingga taraf tertentu bisa dikemudikan, tetapi juga terancam akan lepas kendali hingga menyebabkan dirinya hancur-lebur. Panser raksasa ini akan menghancurkan orang yang menentangnya dan meski kadang-kadang menempuh jalur yang teratur, namun ia juga sewaktu-waktu dapat berbelok ke arah yang tak terbayangkan sebelumnya. Perjalanannya bukannya sama sekali tak menyenangkan atau tidak bermanfaat; adakalanya memang menyenangkan dan berubah sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi, sepanjang institusi modernitas ini terus berfungsi, kita takkan pernah mampu mengendalikan sepenuhnya baik arah maupun kecepatan perjalanannya. Kita pun takkan pernah merasa aman sama sekali karena kawasan yang dijelajahinya penuh dengan bahaya. (Giddens, 1990:139)

Istilah “juggernaut” (panser raksasa) digunakan Giddens untuk menggambarkan kehidupan modern sebagai sebuah “dunia yang tak terkendali” (runaway world). Citra panser raksasa dimaksudkan Giddens untuk menerangkan bahwa mekanisme modern jauh lebih besar kekuasaannya ketimbang agen yang mengemudikannya.
Giddens mendefinisikan modernitas dilihat dari sudut empat intitusi mendasar. Pertama, kapitalisme yang ditandai oleh produksi komoditi, pemilikan pribadi atas modal, tenaga kerja tanpa property, dan sistem kelas yang berasal dari ciri-ciri tersebut. Kedua adalah industrialisme yang melibatkan penggunaan sumber daya alam dan mesin untuk memproduksi barang.  Industrialisme tak terbatas pada tempat bekerja saja dan industrialisme mempengaruhi sederetan lingkungan lain, seperti transportasi, komunikasi, bahkan kehidupan rumah tangga. Ciri yang ketiga adalah kemampuan mengawasi. Hal ini mengacu pada pengawasan atas aktivitas warga Negara individual (terutama) dalam bidang politik. Dimensi institusional keempat dari modernitas adalah kekuatan militer atau pengendalian atas alat-alat kekerasaan, termasuk industrialisasi peralatan perang.
Modernitas menurut Giddens erat kaitannya dengan ruang dan waktu. Dengan datangnya modernitas, ruang makin lama makin dilepaskan dari tempat. Berhubungan dengan orang yang berjauhan jarak fisik makin lama makin besar peluangnya. Menurut Giddens, tempat semakin menjadi “phantasmagoric”, artinya “tempat terjadi peristiwa sepenuhnya ditembus dan ditentukan oleh pengaruh sosial yang jauh jaraknya dari tempat peristiwa itu.
Menurut Giddens, modernitas adalah kultur berisiko. Ini bukan berarti bahwa kehidupan sosial kini lebih berbahaya daripada dahulu. Konsep risiko menjadi masalah mendasar baik dalam cara menempatkan aktor biasa maupun aktor yang berkemampuan spesialis-teknis dalam organisasi kehidupan sosial. Modernitas mengurangi risiko menyeluruh bidang dan gaya hidup tertentu, tetapi pada waktu yang bersamaan memperkenalkan parameter risiko baru yang sebagian bersar atau seluruhnya tidak dikenal di era sebelumnya.
            Mengapa kita menderita akibat negatif di dalam panser raksasa modernitas? Giddens mengemukakan beberapa alasan: pertama, karena kesalahan rencana dalam dunia modern; orang yang merencanakan unsur-unsur dunia modern membuat kesalahan. Kedua, kegagalan operatornya; masalahnya bukan berasal dari perencana, tetapi dari mereka yang menjalankan dunia modern.

III. Kritik Teori
Giddens mengemukakan definisi struktur yang tak lazim, yang tak mengikuti pola Durkheimian dalam memandang struktur sebagai suatu yang berada di luar dan memaksa aktor. Menurutnya, struktur adalah apa yang membentuk dan menentukan terhadap kehidupan sosial, tetapi bukan struktur itu sendiri yang membentuk dan menentukan terhadap kehidupan sosial.                                   
Giddens menolak pendapat pakar yang menyatakan bahwa kita telah memasuki era post-modern, meski ia menyatakan kemungkinan munculnya tipe post-modernisme di masa datang. Namun demikian, menurutnya kita masih masih hidup di era modern.
Giddens  menolak sebagian besar pendirian yang biasanya dikaitkan dengan post-modernisme. Sebagai contoh, bagian pemikiran post-modernisme yang menyatakan tak mungkinnya menciptakan pengetahuan sistematis. Menurut Giddens, pandangan seperti itu membawa kita kepada penolakan aktivitas intelektual sama sekali.

IV. Peta Pemikiran (Dari Comte – Giddens)
            Auguste Comte (1798) berpendapat bahwa keteraturan sosial tergantung pada pembagian pekerjaan dan kerjasama ekonomi. Individu-individu menjalankan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi begitu pembagian kerja muncul, partisipasi individu dalam kegiatan ekonomi menghasilkan kerjasama, kesadaran akan ketergantungan juga bertambah.
Pendapat Comte ini dimentahkan oleh Karl Marx (1818-1883), terutama ketika dia menganalisis bahwa potensi konflik akan lebih besar ketika ada perbedaan pekerjaan, karena perbedaan ini kemudian akan mengakibatkan munculnya perbedaan kelas dalam masyarakat. Menurut Marx, masyarakat terbentuk atas struktur dalam bentuk pembagian kelas masyarakat, yang terdiri dari kelompok kapitalis dan kelompok buruh/ pekerja. Ada dua macam kelas yang ditemukan Marx ketika menganalisis kapitalisme, yakni borjuis dan proletar. Kelas borjuis merupakan nama khusus untuk para kapitalis dalam ekonomi modern. Mereka memiliki alat-alat produksi dan mempekerjakan pekerja upahan. Struktur dalam masyarakat terbentuk karena ada perbedaan penguasaan aset-aset ekonomi. Dimana kelompok kapitalis menguasai berbagai komoditas, alat-alat produksi, dan bahkan waktu kerja para pekerja karena mereka membeli para pekerja tersebut dengan gaji, sedangkan para pekerja hanya memiliki sedikit hak milik dan mereka harus memproduksi komoditas-komoditas demi keuntungan sejumlah kecil kapitalis. Dari sini dapat dilihat bahwa orang dalam masyarkat kapitalis dilihat juga sebagai penghasil berbagai produk dan komoditas. Marx berpendapat bahwa kekuasaan-kekuasaan politis telah diubah menjadi relasi-relasi ekonomi. Di samping itu, struktur ekonomi kapitalisme turut menentukan pemikiran dan tindakan individu.
            Marx berpikir bahwa eksistensi kelas-kelas dalam masyarakat berpotensi menimbulkan konflik. Konflik ini terjadi manakala muncul konfik kepentingan antara orang yang memberi upah para buruh dan para buruh yang bekerja. Misalnya: orang yang memberi upah berharap memberikan upah sekecil-kecilnya, sedangkan para buruh menghendaki yang sebaliknya.
            Marx berpikir bahwa perbedaan kelas dan konflik yang menyertainya hanya bisa diatasi dengan menciptakan dunia sosialis, dimana tidak ada penguasaan aset-aset produksi oleh salah satu pihak. Jadi aset-aset produksi harus dimiliki bersama.
Dari sini Marx kemudian mendambakan sebuah masyarkat komunis dalam mana terjadi revolusi ekonomi besar-besaran. Sementara gerakan massa kaum buruh yang tidak puas dengan perlakuan yang mereka terima dari kaum kapitalis merupakan kekuatan revolusioner yang sewaktu-waktu bisa bangkit dan meruntuhkan kekuatan kapitalisme.
            Namun, teori Marx ini disanggah oleh Vilfredo Pareto (1848-1923). Pareto justru berpikir bahwa tidak realistis berharap akan tercapainya perubahan sosial yang dramatis melalui revolusi ekonomi. Menurut Pareto, masyarakat akan didominasi oleh sejumlah kecil elite yang memerintah berdasarkan kepentingan diri sendiri. Elite kecil ini memerintah massa rakyat yang didominasi oleh faktor non-rasional. Menurut Pareto, karena kapasitas rasional terbatas, maka mereka bukanlah kekuatan revolusioner. Pareto berpikir bahwa perubahan sosial terjadi manakalah elite mulai mengalami kemerosotan moral dan digantikan oleh elite baru yang berasal dari elite yang tak memerintah atau unsur yang lebih tinggi dari massa. Segera setelah elite baru berkuasa, proses yang baru pun terjadi. Jadi, Pareto menyodorkan teori perubahan sosial melingkar, sedangkan Marx menyodorkan teori perubahan sosial linear.
            Pareto membayangkan masyarakat sebagai sebuah sistem yang berada dalam keseimbangan, sebagai kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung. Perubahan satu bagian dipandang menyebabkan perubahan bagian lain dalam sistem. Dari sini dapat dilihat Pareto menganut teori sistem dalam pemikirannya tentang masyarakat.  Dalam mana setiap sub-sistem dalam kesatuan sistemnya akan dipengaruhi dan turut mempengaruhi sub-sistem lainnya.
Berbeda dengan Pareto yang menekankan masyarakat yang terikat dalam sistem, George Simmel (1858-1918) meninjau masyarakat lebih dari sudut interaksi sosial yang tercipta di dalamnya. Ia berpendapat bahwa masyarakat merupakan serangkaian interaksi. Menurutnya, struktur yang terbentuk dalam masyarakat, seperti: Negara, marga, keluarga, kota atau serikat pekerja, merupakan kristalisasi dari interaksi tersebut.
Dalam kaitan dengan kelompok yang muncul dalam masyarakat, Simmel mengungkapkan pemikirannya tentang dyad (kelompok yang terdiri dari dua orang) dan triad (kelompok yang terdiri dari tiga orang). Dyad tidak memperoleh makna di luar individu yang terlibat di dalamnya, dan masing-masing anggota dyad  akan mempertahankan tingginya level individualis. Sebaliknya, triad  -yang memiliki kemungkinan besar memperoleh makna di luar individu yang terlibat- berpotensi melairkan struktur kelompok. Hal inilah yang menjadi ancaman bagi individualitas anggotanya.
Lain halnya dengan pandangan Max Webber (1864-1920) seputar struktur sosial. Berbeda dari Karl Marx yang melihat stratifikasi yang tercipta dalam masyarakat diakibatkan semata karena faktor ekonomi, Weber menilai bahwa stratifikasi tersebut terbentuk karena hal-hal yang bersifat multidimensional, yakni basis ekonomi, status dan kekuasaan. Implikasinya adalah orang dapat menempati peringkat yang tinggi di satu atau dua dimensi stratifikasi tersebut sementara berada pada posisi yang lebih rendah di dimensi lainnya. Teori Weber ini merupakan kritik teori Marx sekaligus merupakan perkembangan teori yang melihat bahwa faktor ekonomi bukanlah faktor tunggal penentu struktur sosial masyarakat.
Eksistensi George Lukacs sebagai seorang teoritisi yang menganut paham Marxisme-Hegelian tak dapat diabaikan dalam perkembangan teori sturktur. Lukacs mengkritik teori Marx yang mengungkapkan bahwa orang dalam masyarakat kapitalis merupakan penghasil produk atau komoditas, sehingga nilai dilihat sebagai sesuatu yang dihasilkan pasar dan bukan oleh aktor itu sendiri. Menurut Lukacs, oranglah yang menghasilkan komoditas dan sekaligus memberi nilai kepadanya.
Perbedaan kelas dalam masyarakat yang menurut Marx disebabkan karena dampak dari distribusi faktor ekonomi yang tidak merata dinilai berbeda oleh Lucaks. Justru menurutnya, manusia dalam masyarakat kapitalis berhadapan dengan realitas yang diciptakannya sendiri (sebagai kelas) yang baginya tampak sebagai fenomena alamiah yang asing bagi dirinya sendiri. Dengan demikian, kaum proletar bukan teralienasi karena sistem, tapi karena diri mereka sendiri yang menganggap demikian. Hal tersebut karena mereka tunduk pada hukum-hukum yang mereka buat sendiri.
Konsep Lukacs inilah yang dikemudian dikenal dengan konsepnya mengenai kelas dan kesadaran palsu. Kesadaran kelas ini merujuk pada sistem kepercayaan yang dimiliki bersama oleh mereka yang menempati posisi kelas yang sama dalam masyarakat. Jadi, pada umumnya, masyarakat kapitalisme tidak memiliki pengertian yang jelas tentang kesadaran kelas mereka sebenarnya. Kesadaran kelas mereka berarti ketidaksadaran atas kondisi ekonomi dan sosio-historis seseorang yang dikondisikan kelasnya oleh kelas kepalsuan.
            Jika menurut Marx, perbedaan kelas dalam masyarakat menyebabkan rusaknya harmoni masyarakat, para penganut teori fungsionalisme struktural justru berpikir sebaliknya. Para penganut teori ini beranggapan bahwa perbedaan aktifitas dalam masyarakat merupakan hal yang harus diperlihara untuk mempertahankan kehidupan masyarakat. Perbedaan posisi dan aktifitas berarti juga perbedaan fungsi. Fungsi-fungsi yang berbeda dalam sistem ini, jika dipelihara dengan baik sangat produktif untuk mencapai tujuan masyarakat. Gugusan aktivitas justru harus diciptakan sesuai dengan kebutuhan sistem. Talcot Parson, salah seorang tokoh fungsionalisme struktural mengemukakan sistem yang disebut AGIL, yakni adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latensi (pemeliharaan pola). Sistem inilah yang harus dijalankan agar masyarakat bisa harmonis.
            Menurut para fungsionalis, masyarakat adalah statis atau masyarakat selalu berada dalam keadaan berubah secara seimbang. Masyarakat hidup dalam suatu sistem yang teratur, karena mereka secara formal diikat oleh norma, nilai dan moral. Setiap elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas.
Robert Merton (1910-2003), salah seorang teoritisi fungsionalisme-sturktural agak berbeda pendapat dengan pendahulunya. Menurutnya, tidak setiap struktur, adat-istiadat, gagasan, keyakinan dan lain sebagainya memiliki fungsi positif. Menurutnya, suatu fakta sosial dapat mengandung konsekuensi negatif bagi fakta sosial lain. Untuk itulah maka Merton mengembangkan teorinya mengenai disfungsi. Ketika struktur atau institusi dapat memberikan kontribusi pada terpeliharanya bagian lain sistem sosial, mereka pun dapat mengantung konsekuensi negatif bagi bagian-bagian lain tersebut.
Dalam kaitan dengan disfungsi di atas, Merton mengembangkan konsep fungsi manifest dan fungsi laten. Dimana fungsi manifest adalah fungsi yang dikehendaki, sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang tidak dikehendaki.
Dalam perkembangannya, teori struktur-fungsional diperhadapkan dengan kritik yang muncul dari teoritisi lainnya. Konsep Herbert Blumer (1900-1987) tentang interaksionisme simbolik merupakan salah satu bentuk kritik terhadap teori fungsionalisme struktural. Menurut Blumer, teori fungsionalisme struktural cenderung memusatkan perhatiannya kepada beberapa faktor, misalnya norma, yang menyebabkan perilaku manusia. Menurutnya, teori ini mengabaikan proses krusial ketika para aktor menopang kekuatan yang bertindak padanya dan pada perilaku mereka sendiri dengan makna.
            Blumer juga menolak teori fungsionalisme struktural yang mengemukakan bahwa perilaku individu ditentukan oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Ia menolak anggapan bahwa perilaku aktor ditentukan oleh faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh aktor itu sendiri. Karena yang terpenting menurut Blumer adalah proses pendefinisian ketika aktor melakukan perbuatannya.
Kritik terhadap teori Struktur-fungsional datang juga dari Ralf Dahrendorf (1929) dengan teori konfliknya. Ia menolak pandangan para fungsionalis yang menganggap bahwa masyarakat adalah statis, atau kalaupun berubah maka perubahan tersebut secara seimbang. Menurutnya, masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan. Jika para fungsionalis menekankan keteraturan masyarakat, para teoritisi konfliki melihat apa pun tatanan yang ada di tengah masyarakat tumbuh dari tekanan yang dilancarkan segelintir anggota yang berada di puncak. Kalau para fungsionalis memusatkan perhatiannya pada kohesi yang diciptakan oleh nilai masyarakat yang dimiliki bersama, para teoritisi konflik menitikberatkan pada peran kekuasaan dalam memelihara tatanan di tengah-tengah masyarakat.
Dahrendorf mengemukakan gagasannya bahwa masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan konsensus. Teori konsensus merupakan teori yang membahas tentang integrasi nilai di tengah-tengah masyarakat, sedangkan teori konflik membahas tentang konflik kepentingan dan hal-hal yang menyatukan masyarakat di bawah tekanan-tekanan tersebut. Menurut Dahrendorf, masyarakat tak mungkin ada tanpa konflik dan konsensus. Pendapat Dahrendorf ini semakin memperjelas perbedaan antara dirinya dengan para penganut teori fungsional-struktural.
Dalam kaitan dengan struktur yang terbentuk dalam masyarakat, menurut Dahrendorf, kelompok mana yang berada di atas dan mana yang berada di bawah ditentukan oleh kepentingan bersama. Dalam setiap asosiasi, kelompok yang berada di atas berusaha mempertahankan posisi mereka, sementara kelompok yang berada dibawah akan berusaha melakukan perubahan. Dalam hal inilah kemudian konflik terjadi. Sehingga konflik dalam kelompok-kelompok tersebut akan berlangsung sepanjang waktu.

V. Perkembangan Teori Setelah Giddens (Teori Terpadu Ritzer)
Dalam kaitan dengan perdebatan yang panjang antara para teoritisi dengan kekuatan teori-teori masing-masing, yang mengkritik dan kritik, seputar struktur yang terbentuk dalam masyarakat, George Ritzer mencoba mengemukakan sebuah paradigma terpadu. Paradigma terpadu Ritzer ini merupakan salah satu bentuk kritik terhadap tiga paradigma lainnya. Yakni kritik terhadap paradigma fakta sosial yang hanya memusatkan perhatian pada struktur dan institusi skala besar; kritik terhadap paradigma definisi sosial yang memusatkan perhatian pada situasi sosial dan pengaruhnya tindakan dan interaksi; kritik terhadap paradigma perilaku sosial yang memusatkan perhatian pada imbalan yang mendorong perilaku yang diharapkan dan hukuma yang mengekang perilaku yang tidak dikehendaki.
Ide kunci Ritzer ialah “tingkatan realitas sosial”. Ini bukan berarti bahwa realitas sosial benar-benar terbagi dalam beberapa tingkat. Namun, menurut Ritzer, realitas sosial paling tepat dipandang sebagai kesatuan sosial yang berskala luas yang mengalami perubahan secara terus-menerus. Untuk itu dia mengungkapkan gagasan perlu adanya perpaduan antara hal-hal yang mikroskopis dan makroskopis, serta dimensi objektif dan subjektif.
Dalam kaitan dengan perpaduan mikro-makro, Ritzer memahami bahwa dunia sosial dibangun atas serangkaian entitas yang berskala kecil sampai yang berskala besar, karena itu merupakan hal yang lazim. Sementara dalam pemahamannya seputar dimensi subjektif-objektif, menurut Ritzer pada level mikro atau individu, terdapat proses mental subjektif aktor dan pola objektif tindakan dan interaksi yang ia ikuti.

0 komentar:

Posting Komentar