Sabtu, 26 Desember 2009


Menelisik Akar Perang Salib, Membangun Dunia Baru Islam-Kristen

Oleh Rikson Karundeng





Perang merupakan suatu hal yang menjadi tolak ukur kejayaan suatu bangsa dalam system politik kerajaan klasik, itu terjadi di semua daerah, dan hampir semua kerajaan, namun kepentingan kekuasaan seringkali berselingkuh dengan nilai-nilai ketuhanan, sehingga perang atas nama ideologi, membela Tuhan, dan sejuta sebutan lainnya tak pelak lagi menjadi sebuah instrument penting bagi kuasa untuk memotivasi para tentara dan pasukan perang.

Perang Salib (Crusade) salah satunya, perang turunan yang tak kunjung usai dalam beberapa abad, merupakan sebuah bentuk ekspansi yang berakar menjadi dendam ideologi, sudah tak terhitung berapa kali perang salib terjadi, karena pada masa itu pertempuran antara kekuasaan Muslim dan Kristen dimaknai sebagai perang suci. Sungguh luar biasa kontrapretasi dari Perang Salib, karena perang ini menyisakan banyak hal yang tak tuntas dalam hitungan abad, sebuah dendam agama. Sehingga efak yang ditimbulkan berbuah warisan jangka panjang yang tak ada habisnya, bagi orang barat, perang salib untuk membebaskan Yerusalem adalah momentum semangat keagamaan yang istimewa dalam membela Tuhan (baca;agama Kristen).
Bagi umat Islam, perang ini dikenal dengan istilah sendiri yaitu Perang Sabil yang berasal dari kata Perang Sabilillah atau Jihad Sabilillah (Perang atau Jihad di jalan Allah). Definisi umat Islam tentu saja adalah Perang di Jalan Allah untuk mempertahankan tanah suci Palestina dari serbuan kafir Harbi Kristian.
Kisah perang salib dapat digambarkan sejak tahun 600 M. Di masa itu, Kekaisaran Romawi Barat dan Kekasisaran Romawi Timur dengan Kristen sebagai agama negaranya, telah berhasil menguasai wilayah Eropa, sebagian Asia hingga Afrika. Keadaan itu berubah ketika bangsa Arab dengan Islam sebagai agama negaranya, berkembang dan berbalik menguasai wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai Kekaisaran Romawi.
Di bawah kepemimpinan empat kalifah Islam pertama (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali), Islam mengalami masa perluasan awalnya. Terkurasnya kekuatan Byzantium dan Sasanid-Persia membuka peluang bagi keberhasilan penetrasi Arab ke Mesopotamia (636 M) dan Syria-Palestina (636 M), bahkan lebih jauh dari itu Mesir (641), sebagian besar persia (650 M).
Ekspansi itu kemudaian di lanjutkan ke Barat, ke Afrika Utara dan kemudian menyeberang ke semenanjung Iberia (Spanyol) dan juga wilayah-wilayah lainnya di kawasan sebelah utara Laut Tengah (Mediteran). Selain itu, ekspansi Kerajaan Arab juga terjadi ke arah Timur. Pasukan Arab menembus Oxus, Jaxartes dan Indus. Di Oxus mereka berjumpa dengan orang-orang Turki, yang pada kesempatan yang lain bergerak ke arah Barat dan menjadi unsur yang penting dalam sejarah Islam dan secara khusus dalam periode Perang-Perang Salib.
Dalam proses penaklukkan ini, masyarakat yang dikuasai mengalami penganiayaan yang luar biasa, tidak terkecuali masyarakat yang sudah menganut Agama Kristen. Namun semua hal ini ternyata wajar saja terjadi dalam konteks perang dan penaklukan di antara bangsa-bangsa.
Istilah Perang Salib dipersepsikan sebagai sesuatu yang luhur oleh kalangan Kristen tertentu, tetapi juga sebagai aib oleh kalangan Kristen yang lain. Istilah croisé dan croisade belum dikenal pada akhir abad XI (ketika Urbanus II mengkotbahkan ekspedisi ke Timur), baru pada akhir abad XII (dalam Perang-Perang Salib ketiga) istilah ini baru dikenal. Di kalangan Islam, istilah yang digunakan untuk menyebut orang-orang dari Barat ini adalah al Ifranj (orang-orang Franka) atau sebutan-sebutan lainnya dengan konotasi merendahkan. Mengenai istilah bahasa Inggris crusade sendiri baru ditemukan dan digunakan pada abad XVIII oleh sejarawan modern.
Perang salib merupakan suatu peperangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Romawi Kristen terhadap Kerajaan Arab Islam di Asia barat dan mesir, yang di mulai pada akhir abad XI sampai akhir abad XIII . Peperangan ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya:
1.    Karena reaksi dunia Kristen di Eropa terhadap dunia Islam di Asia, yang sejak tahun 632 M melakukan ekpansi, bukan saja ke Syiria dan Asia kecil; tetapi juga ke Spanyol dan Sicilia.
2.    Keinginan mengembara dan bakat kemiliteran suku Teutonia yang telah mengubah peta Eropa sejak mereka memasuki lembaran sejarah penghancuran gereja, Holy Sepulchre adalah sebuah gereja yang didirikan di atas makam Yesus dikubur, pembangunanya dilakukan oleh Khalifah Tathimiyyah al-hakim pada tahun 1009, sedangkan gereja tersebut merupakan tujuan dari beribu-ribu jema’ah Kristen Eropa, perlakuan tidak wajar terhadap jema’ah Kristen yang akan ke Palestina melalui Asia kecil oleh penguasa Saljuk (Salah satu suku bangsa Turki).
3.    Tahun 1095 terulang permintaan bantuan kepada Pope Urban II (paus Urban II) oleh kaisar Bizantyum, Alexius Commenus yang daerah-daerahnya di Asia sampai ke Panai Marmora telah ditaklukan oleh bangsa Saljuk. Bahkan Konstatinopel ikut terancam. Dengan permintaan ini, Paus melihat kemungkinan untuk mempersatukan kembali gereja Yunani dan romawi yang terpecah, sekitar tahun 1009-1054 M.
Rentetan alasan itulah yang menjadikan Paus Urban II pada tanggal 26 November 1095 M bertempat di Clermot (Prancis tenggara), berpidato dihadapan 225 pendeta dan tokoh masyarakat di Eropa Barat. Karena sebenarnya terjadi banyak peperangan antar sesama Bangsa Eropa dan pada pertemuan yang diadakan di tempat terbuka tersebut, Paus mendorong mereka untuk berdamai satu sama lain dan memusatkan kekuatan militer mereka untuk tujuan yang konstruktif - membela Kekristenan dari agresi Muslim, membantu Kristen Timur, dan mengambil alih kembali Kubur Kristus. Dia juga menekankan perlunya pertobatan dan motif spiritual dalam melakukan kampanye ini, menawarkan indulgensia total bagi mereka yang berkaul untuk melakukan tugas ini. Jawaban dari para hadirin sangat antusias, para hadirin berteriak “Deus Vult!” (Tuhan menghendakinya!).
Paus juga menegaskan bahwa orang-orang yang mengikuti perang suci, maka harta dan keluarganya ada dalam lindungan gereja, serta bagaimanapun besarnya dosa seorang pahlawan akan diampuni. Mati dalam peperangan atau akibat perang adalah mati suci, dan pasti masuk surga. Sehingga pada Tahun 1097 berkumpul di Konstantinopel sebanyak 150.000 orang dalam tulisan lain dikatan 100.000 orang, sebagain besar dari mereka adalah berasal dari Prancis dan Normandia. Teriakan Deus Vult menggema dan menimbulkan ketularan psikologi di kalangan Kristen Eropa. Maka, berduyun-duyunlah raja Kristen di Eropa mendaftarkan diri, kemudian diikuti oleh rakyat jelata, bahkan perampok, pembegal dan penyamun karena ingin membebaskan dosanya dan masuk surga. Di sinilah babak pertama perang salib di mulai.
Perang ini disebut Perang Salib karena pasukan Romawi menggunakan Salib sebagai simbol pemersatu. Oleh sejumlah penulis, Perang Salib terbesar dikisahkan terjadi selama 8 kali. Sementara beberapa penulis juga menjelaskan kalau Perang Salib terjadi lebih dari 10 kali. Namun Philip K. Hitti dalam The History Of Arabs, membaginya dalam tiga periode. Periode pertama disebut periode penaklukan (1096-1144) di mana Paus Urbanus II bisa membangkitkan semangat kaum Kristen untuk bersiap melaksanakan penyerbuan. Mereka menaklukkan Anatolia Selatan, Tarsus, Antiokia, Aleppo dan Edessa. Kemenangan pasukan Salib ini telah mengubah peta dunia Islam karena dari kemenangan ini berdirilah beberapa kerajaan di bawah pemerintahan Kristen di Timur.
Periode kedua adalah reaksi umat Islam (1144-1192). Jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan Islam ke tangan kaum Salib membangkitkan kesadaran kaum Muslim untuk menghimpun kekuatan guna menghadapi mereka. Dibawah kepemimpinan Imaduddin Zangi, Nuruddin Zangi, dan Shalahuddin al-Ayyubi, kaum Muslim bisa menundukkan wilayah yang sebelumnya dikuasai pasukan Salib, seperti Edessa, Aleppo, Damascus, Antikoia, dan Mesir.
Periode ketiga adalah berlangsung dari 1193-1291 yang lebih dikenal dengan perang saudara atau periode kehancuran dalam Perang Salib. Tindakan tentara Salib untuk membebaskan Baitul Makdis beralih menjadi ambisi politik dan sesuatu yang bersifat material.
Perang salib merupakan sebuah episode kelam sejarah peperangan atas nama Tuhan bagi sejarah peradaban manusia, khususnya antara Islam dan Kristen. Seruan Paus Urban II untuk merebut wilayah suci umat nasrani yang kala itu telah dikuasai oleh kaum Muslimin, dijawab dengan bersatunya kerajaan Kristen di Eropa dan barat, sehingga perang besarpun tak terelakkan.
Perang Salib sebenarnya adalah sebuah perang yang ditunjukan pada kepentingan keagamaan dan diserukan oleh para Paus dan pimpinan gereja, namun makna itupun bergeser, dan dipahami juga sebagai perang yang penuh dengan ambisi politik dan kekuasaan, sehingga dalam sejarah Perang Salib terdapat peperangan yang terjadi internal agama Kristen.
Perang Salib dalam sudut pandang Islam dan Kristen tentu punya makna yang berbeda, dan masing-masing kelompok mempunyai pembenaran yang subjektif namun jika kita lihat dari sudut pandang humanitas, moral, dan etika, dunia tentu akan berkata jujur bahwa perang salib mengindikasikan runtuhnya nilai humanitas manusia, karena kebejatan berperang yang dipraktekan oleh para tentara dengan cara-cara yang biadab.
Perang selama 2 abad tentu sangat mengganggu kehidupan masyarakat. Sejarah perang manapun mencatat kalau situasi perang membuat kondisi masyarakat memperihatinkan. Seperti kata pepatah, kalah jadi abu, menang jadi arang. Sebagaimana yang diindikasikan oleh namanya, hal yang dominan dalam Perang-Perang Salib adalah Perang yang membawa kehancuran.
Sejarah mencatat kalau sebelum Perang Salib meletus, antara para pemeluk agama Kristen dan Islam tidak ada pemusuhan dan bisa hidup berdampingan secara damai. Namun kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, baik umat Kristen maupun Islam, adalah orang-orang yang paling menderita ketika perang perebutan kursi kekuasaan itu terjadi dan kursinya diduduki secara bergantian. Maksudnya, ketika kekaisaran Romawi mengusai sebuah wilayah, umat Islam menjadi yang teraniaya. Di satu pihak, ketika penguasa Arab Islam berkuasa, banyak gereja yang telah lama tumbuh akhirnya terhambat atau terberangus.
Hal penting lain yang patut di catat adalah ketika Perang Salib berkecamuk, makna crusaide dan jihad mengalami distorsi dan makna-makna yang telah terdistorsi itu kemudian dibawa hingga sekarang ini oleh sebagian umat Kristen dan Islam. Pemaknaan Cruside dan Jihad pada masa inilah yang barangkali patut dipertanyakan dan didiskusikan kembali.
Guru besar Studi Islam dan bahasa Arab dari Universitas Eidinburgh, Carole Hillenbrand dalam bukunya “Perang Salib: Sudut Pandang Islam” mengungkapkan mengenai konsep jihad yang mengalami beberapa tahap evolusi. Tahap pertama evolusi jihad dimulai pada masa khulafa al-rasyidun (Empat Kahlifah Islam pertama) dan pada masa bani Umayyah. Pada masa ini jihad dimaknai sebagai perjuangan menyebarkan agama Islam yang merupakan rahmat bagi seluruh alam. Tahap kedua dari rangkaian evolusi jihad ini terjadi pada masa dinasti Abbasiyah. Jihad lebih didasarkan pada konsep damai, bukan perang atau yang dikenal dengan nama wilayah perdamaian (dar al-shulh). Tahap selanjutnya dari evolusi jihad terjadi pada masa Perang Salib. Pada masa ini jihad terbagi menjadi dua tujuan. Pertama, jihad dengan tujuan menaklukkan kembali kota suci Yarussalem. Puncaknya adalah ketika Yarussalem jatuh ketangan Sultan Saladdin (Salahuddin Al-Ayyubi). Kedua, jihad dengan tujuan sebagai pertahanan dari kehadiran orang kafir dan kaum bid'ah. Puncaknya adalah jatuhnya Acre ke tangan umat Islam yang berarti pengusiran kaum Frank (tentara Salib).
Perjumpaan yang intensif di medan pertempuran tersebut menyebabkan sulit berkembangnya komunikasi dan pengetahuan yang memadai di antara berbagai pihak. H. Berkhof dan I.H. Enklaar mencatat kalau Perang Salib telah memberi dampak positif bagi Eropa dengan berkembangnya kesenian dan ilmu pengetahuan hingga menjadi benih bagi gerakan humanisme (Renaisace dan Reformasi). Namun kekayaan itu tentu tidak diperoleh bangsa-bangsa Eropa dengan cara berperang tapi melalui diskursus dua kebudayaan yang berbeda dalam proses perjumpaan yang damai.
Munculnya mitos kebencian religius dari agama Kristen terhadap Islam dan juga sebaliknya, adalah salah satu hal yang dihasilkan Perang Salib. Padahal, jika kita mengkritisi sejarah Perang Salib, konflik bersenjata di antara orang-orang Kristen dan Islam, pertama-tama ternyata bukan karena soal agama, tetapi soal pertarungan perebutan wilayah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada masa ketika Perang-Perang Salib berlangsung, terjadi persekutuan-persekutuan Muslim-Kristen melawan Muslim-Kristen yang lainnya. Karena mitos tersebut memang dipakai sebagai bahasa propaganda. Baik penguasa-penguasa Barat yang Kristen maupun penguasa Arab yang Islam benar-benar memainkan proganda Crusaide dan Jihad selama perang itu berlangsung. Mereka tahu betul bagaimana memanfaatkan simbol-simbol keagamaan untuk memperkuat klaimnya sebagai pejuang Salib dan Jihad demi mempertahankan kekuasaan.


Kerakusan, Nafsu Kekuasaan, Keegoisan, ...... dengan mengatasnamakan agama. Membunuh, merampas, memperkosa,.......sesama manusia, benarkah perintah agama ???



Jika mengkritisi Perang Salib dengan berbagai motif (seperti politik dan ekonomi) yang melatarbelakanginya, kita barangkali sepakat untuk menyatakan kalau gagasan perang suci yang terbentuk pada masa itu tak perlu terlalu dibesar-besarkan sebagai perang (antar) agama, sebagaimana yang sering ditafsirkan orang terhadap Jihad dan Perang Salib. Kenyataan memperlihatkan bahwa ketika proses institusionalisasi terhadap perang suci ini terjadi, orang-orang yang berusaha meletakan legitimasi dari perang-perang suci ini lebih menekankan perang sebagai tugas keagamaan untuk merebut kembali dan mempertahankan tanah suci. Dasarnya adalah pola pikir feodalistik. Tanah suci sebagai warisan Kristus bagi umat Kristen. Oleh sebab itu tidak ada anjuran untuk menyerang orang-orang Muslim di luar wilayah Asia Kecil, Syria, dan (terutama) Palestina (kemudian juga Mesir dan Afrika Utara, sebagai pusat kekuasaan Muslim) yang sebelumnya adalah wilayah Kristen. Orang-orang Muslim diserang karena mereka dianggap terlebih dahulu telah merampas hak orang-orang Kristen. Dengan cara ini mereka berusaha memberikan pembenaran atas perang suci. Dan ini berarti bahwa perang ini bukanlah perang agama sebagaimana yang sering diartikan orang di kemudian hari.
Nuansa permusuhan antar agama yang muncul dalam kronik, kotbah, pidato, dan sebagainya dari pihak Kristen maupun Islam pada masa Perang Salib, bisa dimengerti sebagai produk propaganda yang muncul selama masa konfrontasi. Saling menghina dan merendahkan identitas etnis maupun keagamaan pihak lain merupakan bahasa propaganda untuk menonjolkan superioritas dan kemurnian diri sendiri.
Kalau begitu, pertanyaan sekali lagi bagi kita saat ini, apakah Crusaide dan Jihad dalam Perang-Perang Salib benar-benar perang suci ?
Perang Agama adalah istilah yang sering digunakan untuk menunjuk pada pertarungan di antara dua atau lebih kelompok agama. Faktanya faktor agama ternyata bukan satu-satunya alasan terjadinya pertarungan di antara dua atau lebih kelompok agama. Dan istilah ini sendiri sangat menyesatkan, bahkan ketika digunakan untuk menyebut fenomena peperangan di antara berbagai bangsa pada masa lampau.
Baik di pihak Muslim maupun Kristen, perang bukanlah satu-satunya cara dalam mendefinisikan hubungan di antara mereka. Di kedua belah pihak memang selalu ada orang-orang dengan fanatisme sempitnya dan sangat bersemangat memerangi yang lain. Tapi sangat banyak orang yang memilih cara hidup yang lain, yang lebih damai, saling menguntungkan dan bersahabat.
Perang suci merupakan satu bentuk ekstrem dari agama, ketika otoritas agama dibiarkan untuk menjadi satu-satunya unsur penentu. Perang suci muncul ketika orang tidak sanggup berbagi kehidupan dan ingin menguasai yang lain. Jadi, adakah perang (yang sedemikian) Suci ?
Bahasa perang betapapun religiusnya, dan bahasa agama dengan simbolisasi perang sama-sama berbahayanya. Keduanya memelihara paradigma dunia lama yang tidak mau hidup berdampingan (bukan saja secara damai tetapi juga ) di dalam kesetaraan.
Ketika surga menjadi ganjaran bagi para pembunuh umat beragama lain, masih maukah kita masuk ke dalam surga seperti itu? Jika keselamatanku menjadi kebinasaan orang lain, Tuhan seperti apakah yang menawarkan keselamatan seperti itu ?
Perang-Perang Salib telah melahirkan berbagai mitos yang terus mewarnai memori kolektif begitu banyak orang. Peristiwa tersebut bukan saja mempengaruhi pola hubungan antara umat beragama (Kristen dan Islam ataupun Yahudi) saja, tetapi juga pola hubungan antara bangsa hingga kini. Perang Salib telah melahirkan mitos yang berlebihan (sehingga menjadi ideologi perang agama/perang suci) dan de-trauma-tisasi terhadap hubungan yang penuh curiga di antara Islam – Kristen. Pada titik itulah konsep crusade dan atau jihad kemudian mengalami distorsi.
Dari sini barangkali dapat kita sadari bahwa memahami perang salib secara objektif sangatlah penting, terutama untuk memberikan pencerahan dan menumbuhkan kembali rasa saling pengertian antara umat Muslim, Kristen, termasuk Yahudi. Dengan demikian, kita dapat bersikap lebih kritis terhadap mitos-mitos yang selama ini dipelihara oleh masing-masing pihak untuk kepentingan kelompoknya sendiri dan untuk memojokkan pihak yang lain. Proses ini juga dapat menjadi salah satu pendorong bagi upaya-upaya mencari dunia baru atau ruang yang lebih lapang dalam masyarakat ber-(beda) agama untuk hidup bersama dengan lebih baik.

* Pernah dimuat di Majalah Inspirator Tahun 2009

0 komentar:

Posting Komentar