Rabu, 02 Desember 2009

Hukuman mati: noda di wajah hukum Indonesia?


Oleh: Riane Elean

(Tulisan ini dibuat  hari ketiga setelah Tibo CS didepopulasi)


Dalam sebuah dialog yang digelar oleh salah satu televisi swasta, duduk bersanding dua orang tokoh yang sengaja diundang untuk beradu debat tentang pro-kontra hukuman mati di Indonesia. Tokoh yang satu seorang aktifis HAM sedangkan lawan bicaranya adalah seorang anggota komisi III wakil sebuah fraksi di DPR-RI. Dialog ini berlangsung seru akibat perbedaan pendapat mereka masing-masing tentang hukuman mati.
Sama-sama bicara tentang manusia, namun apabila berpijak pada orientasi yang berbeda maka pokok yang sama ini kedengarannya begitu sengit dipertentangkan. Seorang aktifis HAM, yang kontra dengan hukuman mati, yang mungkin saja bicara mewakili kaum yang sependapat dengannya di negeri ini mengatakan secara jelas dan tegas bahwa ia menolak hukuman mati. Untuk mendukung argumen itu, ia memberi alasan sebagai berikut: hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia. Hak hidup seseorang tidak dapat tidak, harus diberikan, dan tidak seorang pun yang berhak mencabut kehidupan, si yang bersangkutan sekalipun, karena hidup bukanlah milik manusia.
Argumen ini sangat kontras dengan apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya, yang anggota DPR itu. Menurutnya, hukuman mati itu sah-sah saja jika ditinjau dari kacamata hukum. Selain untuk memunculkan efek jera pada pelaku kejahatan, hukum juga memiliki fungsi Recovery, atau pemulihan keadaan, dan fungsi selanjutnya adalah fungsi pembalasan. Hukum akan melegalkan hukuman mati apabila dalam proses proseduralnya kemudian ditemukan hal-hal yang memberatkan pelaku kejahatan. Prosedur ini sesuai dengan teori hukum yang ada yang sekarang berlaku di Indonesia.
Coomaraswami pernah mengatakan bahwa: “tidak ada monopoli dalam gagasan atau ide. Suatu gagasan atau ide adalah milik mereka yang menghayatinya”. Saya setuju dengannya. Jadi, saat ini saya hendak memanfaatkan salah satu hak asasi saya, yakni mengutarakan beberapa gagasan, selama itu belum dilarang di negeri ini. Pasti ada yang pro bahkan pun kontra. Tapi tak mengapa. Itu hak asasi mereka. Mau mengkritik? Silahkan kritik saya melalui tulisan.
Pertama, sebagai manusia yang memiliki kepercayaan adanya sebuah kuasa transenden yang dimiliki oleh Sang Pencipta, saya setuju mengatakan bahwa kehidupan manusia bahkan seluruh yang hidup di jagad ini adalah milik Tuhan. Tidak ada pihak yang dapat mengaku diri berhak untuk mencabut nyawa seseorang, dengan alasan apapun.
Kedua, ketika ada orang yang mengatakan bahwa hukum melegalkan hukuman mati dengan alasan memberi efek jera. Saya lantas bertanya, apakah dengan penerapan hukuman mati selama ini telah bisa mencapai efek tujuan serupa itu. Dengan melihat kenyataan yang ada, masih banyak saja kejahatan-kejahatan yang dilakukan manusia yang kemudian terjerat dengan hukuman mati. Tidakkah ini mengindikasikan bahwa hukuman mati bukan merupakan cara yang tepat yang merangsang orang untuk tidak berbuat kejahatan lain.
Ketiga, salah satu fungsi hukuman mati adalah Recovery atau fungsi pemulihan. Apakah dengan depopulasi manusia bisa turut mengembalikan stabilitas yang diharapkan. Bukankah ini justru akan memunculkan gejolak baru dari pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan hukum itu? Bukankah ini akan lebih menjauhkan kita dari idealisme harapan pemulihan itu?
Keempat, salah satu fungsi hukuman mati yang lain adalah fungsi pembalasan. Dalam bagian ini posisi korban sangat diperhitungkan, selanjutnya mungkin dipertimbangkan bahwa dengan memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku kejahatan akan bisa menghasilkan suatu political balancing atau keseimbangan politik bagi rakyat. Tetapi, tidakkah ini berarti bahwa negara , sadar atau tidak, dalam hukumnya telah melegalkan dan melestarikan perilaku balas dendam kepada warganya? Bukankah ini merupakan pendidikan hukum yang keliru?
Selanjutnya, apakah negara, lebih khusus pihak-pihak yang berkompeten dalam dunia peradilan sudah bisa menjamin bahwa prosedur hukum sudah bisa berjalan dengan baik dan sebenar-benarnya sesuai fakta atau kenyataan yang sebenarnya terjadi? Tidakkah selama ini kita melihat bahwa hukum di negara kita masih bisa dibeli? Tidak menutup kemungkinan ada yang bersedia menjadi saksi-saksi dusta demi segepok uang atau interest-interset pihak yang mem-back-upnya? Ini berarti bahwa prosedur hukum belum bisa dijamin 100% berjalan dengan benar sesuai dengan realitas. Kalau demikian tidakkah merupakan hal yang tragis apabila ada orang yang ditembak mati dalam sebuah kesalahan prosedur hukum. Siapakah yang akan bertanggung jawab terhadap nyawa yang sudah terlanjur melayang?
Yang terakhir. Sejauh mana keberhakan hukum terhadap kehidupan. Apakah hukum juga turut merasa berhak terhadap hidup, sama seperti Tuhan? Siapakah pembuat hukum itu? Manusia bukan? Apakah ini menunjukkan kemarukkan manusia untuk turut menguasai sesuatu yang diluar kendali dan haknya?.........................
Mudah-mudahan pertanyaan reflektif ini bisa menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi pewajahan hukum yang lebih segar dan tanpa noda di negara ini.


Tomohon, 26 September 2006
Hari ketiga setelah Tibo Cs didepopulasi

0 komentar:

Posting Komentar