Kamis, 03 Desember 2009

Mimpi Agung, Dunia Pendidikan Kita dan Realitas Kemiskinan




Oleh: Rikson Ch. Karundeng


 Kisah tentang kemiskinan di negeri ini tak akan pernah berakhir untuk diceritakan. Indonesia terancam jadi bangsa kuli di negeri sendiri lantaran pemerintah meyepelekan bidang pendidikan.


 Menikmati sebotol air mineral sambil menyaksikan mentari yang mulai merangkak ke pembaringannya, sungguh menyenangkan. Apalagi setelah seharian berjalan mengelilingi kota Manado yang semakin hari rasanya semakin panas. Saat angin laut mulai berhembus dan menyatu dengan hembusan Air Conditioner yang berasal dari Mall dan gedung-gedung megah milik kapitalis, Kota Manado mulai berubah. Yang tidak berubah hanyalah hiruk-pikuknya. “Manado memang so banya perkembangan !” gumam seorang pria beruban yang setia mengawasi gerak Kota Manado menjemput senja, yang begitu mempesonanya.


 Pesona kota Tinutuan yang dirasakan pria itu, ikut juga kurasakan, yang hari itu memang sengaja mengawasi setiap denyut jantung kota ini. Decakan kalbu terhenti sejenak tak kala sebuah suara mengusik, “Om kita jo kwa tu botol !” Ya, suara itu berasal dari mulut seorang bocah berusia 11 tahun yang sedang menggendong kantung berisi botol-botol mineral kosong.


Sapa dang ngana pe nama ?”


“Waraney Karundeng, Om ! Mar biasa kwa dorang cuma ja pangge Agung,” jawabnya dengan nada yanga santai.


Ucapan Agung benar-benar menendang kalbu. Sebab namanya terkesan sangat kontras dengan apa yang sedang ada di depan mata. Mendengar namanya barangkali kita bakal terpesona dan membayangkan sosok yang gagah, gesit dan ceria. Tapi jangan salah, si Agung justru terbalik 180 derajat. Agung bertubuh kerempeng, warna kulitnya kehitaman, pakaian lusuh dan benar-benar kremos. Pendeknya, penampilan Agung benar-benar tidak sesuai dengan namanya. Walaupun demikian, melihat semangat juangnya untuk survive menantang hidup, sepertinya nama Waraney (dalam masyarakat kuno Minahasa merupakan sosok pejuang yang gagah berani) masih cocok untuknya.


Di Indonesia khususnya di Kota Manado, bocah seperti itu bukan cuma Agung sendiri sebab masih banyak bocah lusuh lain yang bernasib sama dengan Agung. Menurut Agung, ia berasal dari sebuah desa di Kabupaten Minahasa. Ayah dan Ibunya yang bekerja sebagai buruh di sebuah perkebunan, tak sanggup membiayainya untuk sekolah. “Dulu kwa kita ja bajual pisang goreng di terminal Tondano. Lama-lama kita so ja iko tu bus-bus Tondano-Manado. Di terminal Karombasan, kita baku dapa deng kita pe tamang-tamang . Tiap hari kita ja manumpang bus Tondano-Manado dari terminal Tondano. Nanti malam, abis ba jual botol, kita ley ka Karombasan kong nae bus ka Tondano,” ujar Agung saat mengisahkan sejarah perjumpaannya dengan Kota Manado dan teman-temannya, anak jalanan lainnya.


Ironis memang, kisah membosankan tentang kemiskinan yang mendera Agung dan kawan-kawannya tak pernah ada habisnya. Selalu saja muncul berulang-ulang, entah di koran, majalah, radio atau televisi. Padahal, sejak negeri ini terbebas dari penjajahan, setiap pemimpinnya selalu menjanjikan untuk mengenyahkan kemiskinan. Berbagai program pemberantasan kemiskinan pun mulai digulirkan. Sebutlah, misalnya, program pengembangan desa tertinggal, perbaikan kampung, gerakan terpadu pengentasan kemiskinan, Kredit Usaha Kesejahtraan Rakyat (Kukesra), Jaringan Pengaman Sosial (JPS), dana Bantuan Oprasional Sekolah (BOS), Program Bantuan Langsung Tunai (BLT), serta ada pula yang disebut Raskin. Tapi, kenyataannya, memang jauh panggang dari api. Program-program tersebut hanyalah batuan yang bersifat penanganan masalah darurat dan bukan solusi jangka panjang. BLT contohnya, adalah program darurat untuk mengurangi dampak kenaikan bahan bakar minyak (BBM) tatkala subsidi pemerintah dikurangi. Belum lagi kendala di lapangan yang mengganggu terlaksananya program-program bantuan tersebut. Sebagai contoh, kurangnya sosialisasi program di kalangan masyarakat miskin, si miskin ternyata tak memiliki KTP agar bisa mendaftar sebagai penerima bantuan, tak ada petugas pencatat data warga miskin yang masuk dan keluar kampung guna “menjemput Bola”, serta tak adanya lembaga pengawas independen sehingga menyebabkan munculnya pungutan liar dan penyelewengan dana. Seperti kata Agung, “Mama bilang kata, orang-orang ja ba cirita tu orang susah ja dapa bras, mar kwa kalu mo badaftar musti babayar dulu kong tu bras ley kata mahal mobayar jadi torang nda dapa bli”.


Akibat dari kebijakan yang buruk, memang tak akan memberikan perubahan apapun. Agung dan keluarganya yang miskin tetap miskin. Bahkan, jumlah warga miskin punya kecendrungan bertambah. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukan bahwa pada Februari 2005 saja, jumlah warga miskin masih sebesar 35,10 juta jiwa (15,97 persen). Pada Maret 2006, angka itu malah bertambah menjadi 39,05 juta jiwa (17,75 persen). Ini menunjukkan adanya kenaikan 3,95 juta orang miskin di negeri ini. Belum lagi, bila melihat data Bank Dunia yang menyatakan jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 109 juta jiwa.


Menurut Agung, ia pernah bersekolah sampai kelas 4 Sekolah Dasar, namun ia terhenti di tengah jalan karena tidak sanggup lagi membayar berbagai tuntutan sekolah. Walaupun demikian, Agung sepertinya masih punya kerinduan untuk bersekolah lagi. “Mama da bilang kalu mama pamarentah mo bantu, mama somo bajual, kong kita somo skolah ulang, mar nda jo dapa kata dari mama blung ba urus KTP. Mama bilang, mahal ley kwa kata ja urus tu KTP, kata Agung dengan suara lirih.


Melihat kenyataan hidup Agung dan keluarganya serta melihat berbagai persoalan di atas, kira-kira apa yang salah ?  “Kebijakan pemerintah yang menyepelekan pendidikan di negeri inilah biang keladinya. Konstitusi negeri ini sebenarnya sudah mengamanatkan agar pemerintah menganggarkan 20 persen dari APBN/APBD, tapi kenyataannya hingga sekarang belum pernah terwujud. Berbagai ketentuan internasional yang meminta agar negara memprioritaskan bidang pendidikan telah diratifikasi oleh negeri ini, tetapi pemerintah tampaknya masih setengah hati merealisasikannya. Persoalan pokok lain, adalah sitem pendidikan kita yang memang tidak menjawab kebutuhan,” terang Denni Pinontoan dalam sebuah diskusi yang digelar Mawale Cultural Center, bebarapa waktu yang lalu.


Pemerintah Indonesia sebetulnya telah mengupayakan kucuran dana Biaya Oprasional Sekolah (BOS) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) buat sekolah-sekolah, dalam rangka menyukseskan program wajib belajar 9 tahun. Tapi, fakta di lapangan menunjukkan program BOS dan DAK sekolah masih banyak yang belum mengena sasaran.  Kenyataan lain, hingga sekarang para orang tua siswa antara lain masih sering mendapat tuntutan ini itu dari pihak sekolah, masih harus membeli buku, seragam, dan mengeluarkan biaya transportasi untuk anaknya ke sekolah.


Keraguan pemerintah untuk memprioritaskan bidang pendidikan sebagai solusi untuk menanggulangi kemiskinan kini menuai kritikan tajam dari berbagai kalangan. Ini wajar, sebab terbukti pendidikan memiliki korelasi signifikan dengan upaya penanggulangan kemiskinan. Kenyataannya,  semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin jauh orang itu dari kemiskinan. Dengan memiliki pendidikan yang baik, orang itu tentu akan lebih mudah memperoleh pekerjaan, baik untuk menafkahi diri maupun keluarganya.


Orang yang terdidik dengan baik atau terlatih, juga akan memiliki kreativitas lebih baik dalam memperjuangkan hidupnya. Jadi, manakala lapangan pekerjaan sulit, ia bisa menciptakan pekerjaan sendiri. Hasil penelitian Institute of Development Studies University of Sussex, Inggris, menyatakan bahwa pemenuhan hak atas pendidikan adalah penting karena mampu mengurangi angka kemiskinan melalui multiplier effect-nya dalam meningkatkan pendapatan, keterampilan dan produktifitas masyarakat miskin.


Bukti paling gampang bisa dilihat di Cina. Pemerintah Cina secara serius menerapkan kebijakan penanaman modal yang bijaksana dalam bidang pendidikan. Kebijakan ini dibarengi upaya menyebarluaskan keterampilan teknik dan kejuruan pada sebagian besar tenaga kerjanya serta pemerataan pendidikan dasar di hampir seluruh rakyatnya.


Sekarang, Cina telah mengubah jumlah penduduknya yang besar menjadi keunggulan kompetitif. Atau, dalam istilah Mahbub ul Haq, ekonom Pakistan yang mengkaji kebangkitan Cina itu dalam buku The Proverty Curtain, negara itu telah melakukan shifting from burden to competitive advantage.


“Om pe baju gagah no, berarti om da karja kang ? Mar om da dapa karja tantu lantaran om da skolah to ? Kita ley mo suka karja rupa om, so itu kita mo skolah. Mar nati jo kalu mama so dapa doi !” Penuh semangat Agung berujar, walaupun ia tak pernah tahu kapan mimpi itu bisa terwujud.


Malam yang semakin larut memaksa Agung untuk beranjak sebab sesuai pengalamannya, tinggal beberapa teng lagi, kendaraan dari Manado ke Tondano akan sulit dijumpai.  


“Om somo pigi ne, mo pi bajual dulu kwa kong somo ka Karombasan,” kata Agung sembari merapikan kantung berisi botol air mineral yang berhasil ia kais hari itu.


Tentu tidak salah kalau Agung bermimpi indah tentang masa depannya kelak. Tidak juga bisa disalahkan orang tuanya yang miskin hingga tidak bisa membiayainya untuk sekolah. Lantas, siapa yang salah kalau Agung dan keluarganya terbenam dalam kubangan kemiskinan ? Siapa yang salah kalau anak-anak seperti Agung tidak bisa menikmati bangku pendidikan ? Satu saja mimpi anak seperti Agung dapat terwujud, pasti bisa merobah angka statistik kemiskinan di negeri ini kelak, apalagi masa depan negeri ini. Tapi kapan itu terwujud, barangkali sangat tergantung dari kapan sistem pendidikan di negeri ini ditata dengan baik, kapan upaya pengentasan kemiskinan secara serius diperhatikan, kapan………..


Ya, mudah-mudahan jo Agung pe mimpi mo tercapai kang ?





0 komentar:

Posting Komentar