AJARAN KEKERISTENAN PENYEBAB KERUSAKAN LINGKUNGAN ?
Oleh : Rikson Ch Karundeng
Perkembangan teknologi semakin membawa dunia ini kepada kemajuan. Berbagai fasilitas yang tersedia membuat manusia semakin memperoleh kemudahan, kenyamanan hidup dan berbagai hal yang menjadi persoalan di masa lampau, kini bukan merupakan suatu persoalan lagi. Apakah memang demikian ?
Pak Kristian Syalom yang tinggal disamping rumah saya, adalah seorang yang sangat sukses. Hal ini tidak mengherankan karena ia memang seorang pekerja keras dan mampu memanfaatkan berbagai hasil teknologi dengan baik. Tapi dilain pihak ada satu hal yang tidak disadari oleh Pak Kristian dan bahkan tidak disadari juga oleh kita yang hidup di dunia moderen yang terus berlari kencang mengejar berbagai kemajuan. Hal apa itu ? Seiring dengan peningkatan taraf hidup kita, lingkungan hidup kita juga ikut menjadi korban. Kalau memang demikian, So wahat gitu lho ?
Kendaraan bermotor merupakan hasil teknologi moderen yang sangat dirasakan manfaatnya. Kendaraan bermotor itu seperti virus yang terus berkembang dan mulai menyesaki bumi. Dampak yang kita rasakan sekarang ini adalah kadar gas CO2 di udara yang setiap hari kita hirup semakin tinggi. Akibat dari produksi gas CO2 yang terus meningkat itu, hidup di dunia seakan seperti di dalam oven yang semakin lama semakin panas.
Pertambahan penduduk yang terus melaju mengejar perputaran roda bumi, otomatis membuat rumah-rumah penduduk pun terus berkembang dengan pesat. Konsekwensi dari hal itu adalah daerah-daerah yang dulunya hijau kini disulap menjadi jalan-jalan, perum-perum dan berbagai pemukiman penduduk lainnya. Gunung-gunung yang dulunya hijau merekah, kini telah ditumbuhi villa-villa pemuas keinginan pribadi dari manusia-manusia yang meraih sukses di dunia moderen ini. Entah mereka sadari atau tidak, daerah pegunungan itu sebenarnya daerah peresapan air. Hingga tidak mengherankan kalau saat ini sumber air bersih sangat sulit ditemukan dan banjir mulai dinikmati sebagi suatu tradisi, khususnya di kota-kota besar.
Perekonomian yang semakin maju beriringan dengan bertambahnya jumlah sarana industri, seperti pabrik-pabrik. Dampaknya adalah banyak areal sawah serta ladang berubah menjadi pabrik dan saluran airnya berubah menjadi saluran pembungan limbah yang membuat banyak daerah tercemar.
Ulasan dan perbincangan tentang masalah lingkungan di berbagai media, sudah menjadi santapan kita sehari-hari. Hal ini sangat jelas, karena persoalan lingkungan hidup merupakan persoalan keseharian kita. Tetapi sering kali kita kurang menyadari bahwa persoalan ini sudah menjadi persoalan yang sangat serius dalam kehidupan kita. Seperti Pak Kristian Saylom yang setiap hari hanya disibukkan dengan usahanya dan cuek aja dengan persoalan ini. “Persoalan lingkungan itu urusan LSM-LSM. Bagi orang Kristen, kesejahteraan manusia tidak ada hubungannya dengan kelestarian alam atau lingkungan. Kan tidak ada salahnya kalau bumi ini dikorbankan demi kesejahteraan manusia ? Bukankah bumi ini diciptakan untuk manusia, demi kebahagiaan manusia ? Manusia telah diberi kuasa atas bumi ini, seperti tertulis dalam Kejadian 1:28.”
A.E. Schumaher mensiyalir bahwa penyebab terdalam krisis ekologi lebih disebabkan oleh gaya hidup dunia moderen yang berakar pada pandangan (falsafah) hidup dan sikap religius
Lebih jelas lagi Lynn White, Jr. mengatakan dalam tulisannya yang berjudul The Historical Roots of Our Ecological Crisis, bahwa akar (pangkal penyebab) dari kerusakan lingkungan salah satunya adalah ajaran Kekristenan tentang hubungan manusia dan alam.
Jika Linn berbicara langsung pada kita tentang hal itu, pasti kita akan langsung menyanggah pernyataan itu. Karena yang kita ketahui, penyebab langsung dari kerusakan lingkungan adalah pemakaian berbagai hasil teknologi, seperti: mesin-mesin yang menggunakan bahan bakar minyak, bahan-bahan kimiawi yang berbahaya, dan lain-lain. Kita boleh menolak pernyataan Lynn, tapi ketika ia membuat pernyataan itu tentu bukan tidak ada alasan. Bagi Lynn, pandangannya tentang persoalan di atas di tunjang oleh ajaran Kekristenan yang mengatakan bahwa manusia adalah mahkota ciptaan, diciptakan menurut citra Allah. Dan karena itu manusia diberi wewenang untuk menguasai bumi demi kepentingannya. Atas dasar itu, perbuatan manusia yang sewenang-wenang terhadap alam tetap mendapat dukungan. Jadi secara tidak langsung ajaran itu ikut menyebabkan kerusakan lingkungan.
Anda boleh menyangkal tuduhan yang dilontarkan sejarawan ini. Tapi dalam kenyataan ajaran tersebut di atas ikut mendukung atau setidaknya bersesuaian dengan tindakan manusia yang mengeksploitasi alam demi kebahagiaan dirinya.
Kenyataan yang kita hadapi sekarang ini telah membuat banyak mata manusia terbuka. Penebangan hutan yang membabi buta, penggunaan pestisida yang berlebihan dan pembuangan limbah industri ke sungai-sungai, memang mengancam kehidupan manusia. Kini banyak orang mulai siuman bahwa dirinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari alam.
Kita sudah mengetahui apa yang menjadi alasan Lynn White, Jr., ketika ia memberi pernyataan di atas, tapi apakah kita sudah mengetahui apa yang sedang berkecamuk di otak mereka yang menyangkal pernyataan itu ? Mungkin kita perlu juga mendengarkan alasan mereka.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Karel Phil Erari, Doktor asli tanah Papua yang mendalami tentang persoalan Ekologi khususnya di Indonesia, Pendeta di jemaat saya berkata: “Gereja sebenarnya memahami bahwa manusia dibuat oleh Tuhan untuk maksud tertentu, yaitu untuk mengusahakan dan memelihara taman ciptaan Tuhan (Kejadian 2:15). Pada ayat 5 dikatakan bahwa pada mulanya bumi belum ditumbuhi apapun, karena Tuhan Allah belum menurunkan hujan ke bumi dan belum ada orang untuk mengusahakan tanah itu. Jadi perlu ada yang mengelola bumi milik Tuhan, dan manusia diciptakan untuk tugas itu. Dan manusia boleh memakan segala buah dari taman itu, kecuali dari pohon pengetahuan baik dan jahat. Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dikehendaki oleh Tuhan Sang pencipta adalah adanya hubungan timbal balik, yang harmonis, antara manusia dengan bumi atau alam semesta. Manusia dibuat dari bumi (Adam berasal dari bahasa Ibrani Adamah, artinya tanah) dan manusia dibuat untuk mengelolah bumi. Manusia bekerja untuk bumi dan manusia boleh menikmati hasil dari bumi itu. Inilah kondisi yang ideal bagi hubungan manusia dengan alam. Di sini tidak ada pemahaman bahwa alam diciptakan untuk kepentingan manusia saja dan manusia boleh berbuat sewenang-wenang atas alam. Ada batas tertentu yang tidak boleh dilanggar, dan pelanggaran batas itu mendatangkan celaka atas manusia sendiri.”
Mendengar perkataan Pak Pendeta di atas, saya sangat yakin bahwa dia benar-benar memahami dengan jelas ajaran Kristen tentang hubungan manusia dengan alam. Tapi saya berpikir akan lebih baik jika hal itu disampaikan pada semua jemaatnya, sebab seingat saya, sekian kali ia berdiri di atas mimbar, tidak sekalipun ia mengkhotbahkan tentang hal ini.
Kalau begitu, sudah saatnya gereja lebih giat untuk mengajarkan kepada jemaatnya untuk mengadakan pemulihan dengan alam semesta ciptaan Tuhan. Hal ini tentunya bukan dalam rangka ikut-ikutan dengan gerakan pencinta lingkungan, tapi karena keyakinan akan kehendak Allah. Bukan hal yang tidak mungkin jika anggota jemaat kita adalah pelaku-pelaku kejahatan dilingkungannya, hingga kondisi lingkungan kita semakin hari semakin buruk.
Hubungan yang rusak dengan Alam harus dipulihkan kembali. Misi gereja bukan hanya pemulihan hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan Allah, tetapi juga hubungan manusia dengan alam. Karena itu tugas gereja untuk terlibat bahkan menjadi pelopor gerakan cinta lingkungan.
Pernyataan-pernyataan yang mengusik ajaran gereja tentang hubungan manusia dengan alam, tidak perlu kita tolak karena memang demikianlah kenyataan saat ini. Minimal hal itu boleh menjadi cambuk bagi gereja untuk lebih berusaha meluruskan ajaran gereja tentang hal itu, bukan cuma melalui perkataan tetapi tindakan kita yang nyata. Gereja tidak perlu menunggu untuk melakukan hal itu sampai berbagai penyakit aneh telah menghangatkan tubuh segenap umat manusia. Atau harus menunggu sengatan sinar ultra violet menyirami kita, karena menipisnya lapisan ozon dalam atmosfir yang adalah filter bagi bumi. Atau mungkin kita benar-benar harus menunggu Pemilik Bumi ini, memanggil kita untuk mempertanggungjawabkan tugas kita kepada-Nya.
* Pernah dimuat di Majalah Inspirator tahun 2007
Oleh : Rikson Ch Karundeng
Perkembangan teknologi semakin membawa dunia ini kepada kemajuan. Berbagai fasilitas yang tersedia membuat manusia semakin memperoleh kemudahan, kenyamanan hidup dan berbagai hal yang menjadi persoalan di masa lampau, kini bukan merupakan suatu persoalan lagi. Apakah memang demikian ?
Pak Kristian Syalom yang tinggal disamping rumah saya, adalah seorang yang sangat sukses. Hal ini tidak mengherankan karena ia memang seorang pekerja keras dan mampu memanfaatkan berbagai hasil teknologi dengan baik. Tapi dilain pihak ada satu hal yang tidak disadari oleh Pak Kristian dan bahkan tidak disadari juga oleh kita yang hidup di dunia moderen yang terus berlari kencang mengejar berbagai kemajuan. Hal apa itu ? Seiring dengan peningkatan taraf hidup kita, lingkungan hidup kita juga ikut menjadi korban. Kalau memang demikian, So wahat gitu lho ?
Kendaraan bermotor merupakan hasil teknologi moderen yang sangat dirasakan manfaatnya. Kendaraan bermotor itu seperti virus yang terus berkembang dan mulai menyesaki bumi. Dampak yang kita rasakan sekarang ini adalah kadar gas CO2 di udara yang setiap hari kita hirup semakin tinggi. Akibat dari produksi gas CO2 yang terus meningkat itu, hidup di dunia seakan seperti di dalam oven yang semakin lama semakin panas.
Pertambahan penduduk yang terus melaju mengejar perputaran roda bumi, otomatis membuat rumah-rumah penduduk pun terus berkembang dengan pesat. Konsekwensi dari hal itu adalah daerah-daerah yang dulunya hijau kini disulap menjadi jalan-jalan, perum-perum dan berbagai pemukiman penduduk lainnya. Gunung-gunung yang dulunya hijau merekah, kini telah ditumbuhi villa-villa pemuas keinginan pribadi dari manusia-manusia yang meraih sukses di dunia moderen ini. Entah mereka sadari atau tidak, daerah pegunungan itu sebenarnya daerah peresapan air. Hingga tidak mengherankan kalau saat ini sumber air bersih sangat sulit ditemukan dan banjir mulai dinikmati sebagi suatu tradisi, khususnya di kota-kota besar.
Perekonomian yang semakin maju beriringan dengan bertambahnya jumlah sarana industri, seperti pabrik-pabrik. Dampaknya adalah banyak areal sawah serta ladang berubah menjadi pabrik dan saluran airnya berubah menjadi saluran pembungan limbah yang membuat banyak daerah tercemar.
Ulasan dan perbincangan tentang masalah lingkungan di berbagai media, sudah menjadi santapan kita sehari-hari. Hal ini sangat jelas, karena persoalan lingkungan hidup merupakan persoalan keseharian kita. Tetapi sering kali kita kurang menyadari bahwa persoalan ini sudah menjadi persoalan yang sangat serius dalam kehidupan kita. Seperti Pak Kristian Saylom yang setiap hari hanya disibukkan dengan usahanya dan cuek aja dengan persoalan ini. “Persoalan lingkungan itu urusan LSM-LSM. Bagi orang Kristen, kesejahteraan manusia tidak ada hubungannya dengan kelestarian alam atau lingkungan. Kan tidak ada salahnya kalau bumi ini dikorbankan demi kesejahteraan manusia ? Bukankah bumi ini diciptakan untuk manusia, demi kebahagiaan manusia ? Manusia telah diberi kuasa atas bumi ini, seperti tertulis dalam Kejadian 1:28.”
A.E. Schumaher mensiyalir bahwa penyebab terdalam krisis ekologi lebih disebabkan oleh gaya hidup dunia moderen yang berakar pada pandangan (falsafah) hidup dan sikap religius
Lebih jelas lagi Lynn White, Jr. mengatakan dalam tulisannya yang berjudul The Historical Roots of Our Ecological Crisis, bahwa akar (pangkal penyebab) dari kerusakan lingkungan salah satunya adalah ajaran Kekristenan tentang hubungan manusia dan alam.
Jika Linn berbicara langsung pada kita tentang hal itu, pasti kita akan langsung menyanggah pernyataan itu. Karena yang kita ketahui, penyebab langsung dari kerusakan lingkungan adalah pemakaian berbagai hasil teknologi, seperti: mesin-mesin yang menggunakan bahan bakar minyak, bahan-bahan kimiawi yang berbahaya, dan lain-lain. Kita boleh menolak pernyataan Lynn, tapi ketika ia membuat pernyataan itu tentu bukan tidak ada alasan. Bagi Lynn, pandangannya tentang persoalan di atas di tunjang oleh ajaran Kekristenan yang mengatakan bahwa manusia adalah mahkota ciptaan, diciptakan menurut citra Allah. Dan karena itu manusia diberi wewenang untuk menguasai bumi demi kepentingannya. Atas dasar itu, perbuatan manusia yang sewenang-wenang terhadap alam tetap mendapat dukungan. Jadi secara tidak langsung ajaran itu ikut menyebabkan kerusakan lingkungan.
Anda boleh menyangkal tuduhan yang dilontarkan sejarawan ini. Tapi dalam kenyataan ajaran tersebut di atas ikut mendukung atau setidaknya bersesuaian dengan tindakan manusia yang mengeksploitasi alam demi kebahagiaan dirinya.
Kenyataan yang kita hadapi sekarang ini telah membuat banyak mata manusia terbuka. Penebangan hutan yang membabi buta, penggunaan pestisida yang berlebihan dan pembuangan limbah industri ke sungai-sungai, memang mengancam kehidupan manusia. Kini banyak orang mulai siuman bahwa dirinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari alam.
Kita sudah mengetahui apa yang menjadi alasan Lynn White, Jr., ketika ia memberi pernyataan di atas, tapi apakah kita sudah mengetahui apa yang sedang berkecamuk di otak mereka yang menyangkal pernyataan itu ? Mungkin kita perlu juga mendengarkan alasan mereka.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Karel Phil Erari, Doktor asli tanah Papua yang mendalami tentang persoalan Ekologi khususnya di Indonesia, Pendeta di jemaat saya berkata: “Gereja sebenarnya memahami bahwa manusia dibuat oleh Tuhan untuk maksud tertentu, yaitu untuk mengusahakan dan memelihara taman ciptaan Tuhan (Kejadian 2:15). Pada ayat 5 dikatakan bahwa pada mulanya bumi belum ditumbuhi apapun, karena Tuhan Allah belum menurunkan hujan ke bumi dan belum ada orang untuk mengusahakan tanah itu. Jadi perlu ada yang mengelola bumi milik Tuhan, dan manusia diciptakan untuk tugas itu. Dan manusia boleh memakan segala buah dari taman itu, kecuali dari pohon pengetahuan baik dan jahat. Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dikehendaki oleh Tuhan Sang pencipta adalah adanya hubungan timbal balik, yang harmonis, antara manusia dengan bumi atau alam semesta. Manusia dibuat dari bumi (Adam berasal dari bahasa Ibrani Adamah, artinya tanah) dan manusia dibuat untuk mengelolah bumi. Manusia bekerja untuk bumi dan manusia boleh menikmati hasil dari bumi itu. Inilah kondisi yang ideal bagi hubungan manusia dengan alam. Di sini tidak ada pemahaman bahwa alam diciptakan untuk kepentingan manusia saja dan manusia boleh berbuat sewenang-wenang atas alam. Ada batas tertentu yang tidak boleh dilanggar, dan pelanggaran batas itu mendatangkan celaka atas manusia sendiri.”
Mendengar perkataan Pak Pendeta di atas, saya sangat yakin bahwa dia benar-benar memahami dengan jelas ajaran Kristen tentang hubungan manusia dengan alam. Tapi saya berpikir akan lebih baik jika hal itu disampaikan pada semua jemaatnya, sebab seingat saya, sekian kali ia berdiri di atas mimbar, tidak sekalipun ia mengkhotbahkan tentang hal ini.
Kalau begitu, sudah saatnya gereja lebih giat untuk mengajarkan kepada jemaatnya untuk mengadakan pemulihan dengan alam semesta ciptaan Tuhan. Hal ini tentunya bukan dalam rangka ikut-ikutan dengan gerakan pencinta lingkungan, tapi karena keyakinan akan kehendak Allah. Bukan hal yang tidak mungkin jika anggota jemaat kita adalah pelaku-pelaku kejahatan dilingkungannya, hingga kondisi lingkungan kita semakin hari semakin buruk.
Hubungan yang rusak dengan Alam harus dipulihkan kembali. Misi gereja bukan hanya pemulihan hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan Allah, tetapi juga hubungan manusia dengan alam. Karena itu tugas gereja untuk terlibat bahkan menjadi pelopor gerakan cinta lingkungan.
Pernyataan-pernyataan yang mengusik ajaran gereja tentang hubungan manusia dengan alam, tidak perlu kita tolak karena memang demikianlah kenyataan saat ini. Minimal hal itu boleh menjadi cambuk bagi gereja untuk lebih berusaha meluruskan ajaran gereja tentang hal itu, bukan cuma melalui perkataan tetapi tindakan kita yang nyata. Gereja tidak perlu menunggu untuk melakukan hal itu sampai berbagai penyakit aneh telah menghangatkan tubuh segenap umat manusia. Atau harus menunggu sengatan sinar ultra violet menyirami kita, karena menipisnya lapisan ozon dalam atmosfir yang adalah filter bagi bumi. Atau mungkin kita benar-benar harus menunggu Pemilik Bumi ini, memanggil kita untuk mempertanggungjawabkan tugas kita kepada-Nya.
* Pernah dimuat di Majalah Inspirator tahun 2007
0 komentar:
Posting Komentar