Oleh: Rikson Karundeng
Dari mulut ke mulut tesiar kabar tentang wanua Wulauan yang dihuni para tukang besi yang hebat. Dari karya yang dihasilkan, terbukti kehebatan sentuhan tangan mereka yang laur biasa. Di wanua yang terletak di pinggir Kota Tondano inilah terukir sejarah para pembuat parang dan pisau yang masih terpinggirkan. Merajut hari demi hari dengan bertarung melawan besi, mencurahkan tenaga berbumbu keterampilan, demi masa depan keluarga.
Panas terik sengatan mentari tak mengurungkan niat untuk mengarahkan langkah ke wilayah utara kota Tondano. Sang surya berdiri tegak di atas kepala saat tapak kaki menginjak wanua Wulauan kecamatan Tondano Utara.
Suasana di wanua yang memiliki luas 32 Ha ini memang berbeda, apalagi di siang hari. Di wanua lain, siang hari biasanya begitu tenang sebab sebagian masyarakat beraktifitas di luar rumah sedangkan yang lain memanfaatkan waktu untuk beristirahat. Tapi, waktu yang sama di wanua ini, masyarakat ramai dengan aktifitasnya. Di sana-sini terdengar kebisingan seperti bunyi besi yang ditempa. Sesekali diselingi desingan bagaikan bunyi peluru para cowboy yang mengenai logam tertentu.
Saat mendekat ke salah satu sumber kebisingan itu, tampak dua orang bapak sedang asik bergelut dengan martil, kakatua (penjepit dari besi) dan besi tempaannya. Dari gerakan mereka dan dari irama yang dihasilkan sumber bunyi tersebut, tersirat kalau perkerjaan itu benar-benar membutuhkan tenaga dan ketelitian.
“Selamat siang. Boleh mo baganggu ini ?”
“Mari maso. Jang tarukira ne, bagini kasiang kalu bengkel,” ujar Fred Mantik, sembari menghentikan aktiktifitasnya.
Fred Mantik adalah salah satu dari ratusan pembuat pisau dan parang pada 42 unit bengkel yang ada di wanua Wulauan. Alkisah, aktifitas membuat pisau dan parang di wanua tersebut dimulai pada tahun 1950-an oleh Yan Sumampouw bersaudara.
“Dulu, waktu Om Yan pulang dari Amerika, dia so ja mulai biking piso deng peda. Tu ja baku tulung deng dia, depe sudara-sudara. Orang-orang di sini pertama cuma ja ba kenek pa Om Yan. Lama-lama, serta dorang so tau, dorang so ja ba buka bengkel sandiri,” kenang bapak tiga anak yang biasa di sapa Om Fred ini.
Tou Minahasa yang mengaku telah menggeluti profesinya sejak tahun1974 ini, mengisahkan kalau “dunia tukang besi” telah dimasukinya sejak berusia 14 tahun. Tidak heran, kuwalitas parang dan pisau hasil sentuhan Om Fred, benar-benar tajam, halus dan kuat, gambaran ketekunan dan kematangannya dalam dunia yang telah dijalaninya selama 36 tahun.
“Waktu umur 14 taong kita so ba kenek. Sampe skarang so umur lima puluh taong, masih tetap setia,” ujar Om Fred sembari bergurau kalau ia juga hingga kini masih setia dengan istrinya….dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang telah dijaganya selama 30 tahun.
Berkisah tentang suka dukanya, Om Fred berujar kalau luka lecet sudah tidak dianggap luka bagi mereka. Apalagi, ketika hasil kerajinan mereka terjual dengan harga yang pantas dan biaya kebutuhan hidup rumah tangga bisa terpenuhi.
“Karja bagini kasiang memang rawan kecelakaan mar kalu cuma luka kacili torang so biasa. So itu musti hati-hati kalu ba karja,” kata Om Fred dengan wajah senyum seraya mengatakan kalau setiap malam lelah selalu menjemputnya namun semua itu telah dinikmatinya sebagai bagian dari berkat Sang Khalik.
Bahan baku para tukang besi untuk membuat parang dan pisau adalah beragam besih tua atau besi bekas yang biasanya diperoleh mereka diberbagai tempat dengan harga Rp.5000 per Kg. “Biasa kwa torang ja cari besi fer oto. Tu besi itu torang masih mo toki deng betel selama satu hari. Serta dia so kuat, torang kurang mo panggal sesuai kebutuhan,” jelas Om Fred dengan wajah serius yang menggambarkan kalau proses ini benar-benar menguras tenaga. “Kalu mo beli besi baru di toko kwa mahal. Mo jual brapa kasiang tu peda deng piso ? Mo besi tua ato baru nda talalu soal ley kwa, yang penting tu depe cara mo ba biking.”
Bicara soal pendapatan, para tukang besi di wanua Wulauan ternyata menikmati hasil bervariasi setiap harinya. “Kalu dua orang kenek, kita boleh dapa biking lima belas buah piso ato peda satu hari. Kenek itu, biasa torang ja kase gaji hari limah puluh ribu rupiah. Potong ongkos bahan baku, depe sisa itu no tu for kita. Ya, pokoknya cukuplah for makang keluarga,” ujar Om Fred diiringi desahan nafas yang cukup panjang.
Seorang bapak yang sejak tadi setia menyimak percakapan antara Om Fred dan Kultur, tiba-tiba menyambung. “Dorang pe pendapatan kwa memang beda-beda. Kalu tu peda deng piso dorang mo jual sandiri, paling kurang itu depe harga lima puluh ribu rupiah mar, kalu mo kase pa penampung, cuma dua puluh lima ribu rupiah dorang ja ambe,” sela Om Ari Tombokan, yang mengaku sebagai pedagang keliling hasil kerajinan para tukan besi di wanua tersebut.
“Kita pe umur skarang lima puluh empat tahun. So puluan taong kita ja ba baron jual peda deng piso. Kalu torang so se jalang, biasa piso sampe lima puluh ribu rupiah. Kalu peda, ja sampe seratus ribu rupiah,” ujar Om Ari sembari menjelaskan kalau biasanya ia berdagang parang dan pisau mengelilingi seluruh tanah adat Minahasa bahkan sampai wilayah Bolaang Mongondouw dan Gorontalo.
Menurut masyarakat setempat, hasil kerja para pengrajin biasanya diambil oleh para pedagang keliling seperti Om Ari Tombokan, untuk dipasarkan dengan cara berkeliling ke satu tempat ke tempat lainnya.. Selain itu, di Wanua Wulawan sekarang ini terdapat 6 orang penampung besar. Hasil kerajinan tukang besi yang dikumpulkan para penampung ini, kemudian dipasarkan ke berbagai daerah.
Wanua Wulauan memang sejak lama dikenal sebagai daerah tempat memproduksi pisau dan parang yang berkualitas. Ratusan keluarga dari 376 KK yang ada di wanua ini menggantungkan hidupnya dari usaha tersebut. Sayang, menurut mereka hingga kini tak ada perhatian serius yang diberikan oleh pemerintah bagi para tukang besi di tempat ini.
“Para tukang besi di wanua Wulauan, sebenarnya bisa jauh lebih baik dari kondisi mereka saat ini. Persoalannya, hingga sekarang tak ada yang bisa membantu mereka untuk mengembangkan usaha. Kalau usaha mereka berkembang, mereka tidak akan hanya menikmati hasil kerja mereka untuk makan sehari saja, tapi bisa juga menabung untuk menyekolahkan anak-anak mereka,” ujar Frets Walelang, yang selama ini prihatin dengan kondisi para tukang besi di Wanua Wulauan.
“Kalau bantun pemerintah secara langsung , hingga sekarang ini belum pernah ada. Waktu lalu, PLN pernah memberikan bantuan untuk menunjang para pengrajin. Namun sangat mengherankan, bantuan hanya diberikan kepada orang-orang tertentu yang kebanyakan bukan tukang besi. Sudah bisa ditebak, kalau bantuan yang tidak tepat sasaran ini tidak memberi dampak apapun bagi masyarakat khususnya para tukang besi,” kata Walelang dengan nada kecewa. “Kami masyarakat Wulauan berharap kalau ke depan, pemerintah Kabupaten Minahasa dapat memberikan perhatian serius bagi para tukang besi dan pengusaha kecil lain yang bergerak di bidang ini. Saya percaya, sedikit saja perhatian serius yang diberikan pemerintah, akan memberi dampak yang luar bisa bagi kami”.
0 komentar:
Posting Komentar