Aku terpaku. Lilin 22 dihadapanku masih menyisakan segores asap putih di udara. Dia baru saja habis ku tiup. Bising suara “Happy Birthday To You” dan tepukan dua pasang tangan bagai serangga mengusik telingaku. Aku masih terpaku ketika tiba-tiba aku tersadar aku berada di sebuah ruang yang tidak biasa. Ada tenaga kuat mendorong diriku. Kuat… kuat sekali tapi bukan tenagaku. Ada jeritan yang menyodorkanku dua pilihan. Tinggallah atau lihatlah dunia. Sebenarnya, aku punya kuasa terhadap pilihan itu, yang ku genggam dalam kepalan jari-jari merahku. Namun jeritan itu berkali-kali mendesakku untuk mengambil keputusan yang sebenarnya aku enggan.
Dan… aku pun terlanjur membuat suatu keputusan. Ku terobos jaring-jaring pekat dihadapanku. Ku abaikan itu, walaupun ada begitu banyak yang rusak terkena jejalan tubuhku. Suatu ujung terang hampir dekat dengan rambutku ketika ku mendengar nafas sengal di belakangku. Aku tak peduli. Langkahku tinggal sejengkal. Aku memilih untuk bebas dari kubangan yang selama ini aku tinggali. Aku ingin melihat dunia yang hanya ku tebak-tebak bagaimana bentuk rupanya. Ku rasa angin dingin menghembus kepalaku. Rasa pengap dalam ruangan lamaku tak tercium lagi. Mungkin aku telah bebas kataku pada diriku sendiri. Aku mulai memuji diriku karena kemenangan itu, ketika ada ratap tangis pilu beberapa orang bertalu-talu di sekitarku. Aku berbalik, dan kulihat seonggok tubuh perempuan terkulai dan mati. Dan kata mereka, itulah ibuku.
Aku mengutuk diriku sendiri atas keputusan bodohku. Mengapa aku harus memilih menatap dunia ini kalau aku harus kehilangan orang yang katanya adalah ibuku? Aku teriak. Namun suaraku tak mampu melumuri hatiku yang remuk redam menelan kekalahanku. Yah… tadinya ku pikir aku telah menang ketika keluar dari kubangan itu. Namun ternyata yang ku dapat itu adalah kemenangan semu yang tercipta akibat keterbatasan nalarku. Ah… bodoh benar aku ini. Namun semua telah terlanjur. Aku sudah terlanjur lahir.
Aku mengutuk diriku sendiri ketika aku mengingat kisah sesudah kepergian ibuku. Ketika aku mengabaikan pesan ayahku untuk mengikat si tua Doggy. Aku asyik dengan obsesi terbaruku, tanpa sadar kalau ada lengkingan anjing tua di depan rumah dan suara mobil tak bertanggung jawab yang lari tak terkejar lagi. Doggyku mati. Teman tuaku mati. Saksi deritaku mati bersama dengan penyesalanku dan makian ayahku.
Aku mengutuk diriku sendiri ketika ku teringat kisah sesudah kepergian ibuku. Orang banyak menitipkan makanan kesayangan mereka kepadaku. “Simpanlah sampai kami merasa lapar dan pulang memakannya”. Aku mengangguk. Tugas yang sangat ringan kataku dalam hati. Ku ambil nampan berisi makanan yang kata leluhurku namanya adalah “Kue Harapan” itu. Ku letakkan sebagian isi nampan itu di bawah tempat tidurku. Yang lainnya di atas TV kesayanganku, sebagian lagi di keranjang “make-up” ku, dan sisanya ku biarkan saja berdebu dan tumpa tidak sengaja. Ku terlena dengan hayalku ketika orang banyak mengedor-gedor pintu kamarku meminta yang mereka punya kembali dengan utuh dan tak berdebu. Ku ambil Kue harapan yang ada di bawah tempat tidurku. Ah… sebagian sudah di makan tikus. Aku cemas. Ku cari kue harapan di atas TV kesayanganku. Ah sialan… ! Tinggal remah-remahnya saja. Ku tergesa menarik keranjang “make-up” ku. Ah… sudah basi. Ku cari sisa kue itu di pelosok-pelosok rumahku. Semuanya telah kotor dan berdebu. Aku menggigil. Mata mereka membara menahan marah sambil teriak “Kamu telah menyia-nyiakan kepercayaan kami”. Mataku berair kecewa. Aku telah mati seiring dengan hujatan dan bisik-bisik mereka di belakang punggungku. Aku telah mati bersama dengan berbagai bentuk kemudahan dari orang-orang itu.
Aku mengutuk diriku sendiri ketika aku mengingat kisah sesudah kepergian ibuku. Ketika penat itu datang mengusai mataku, aku terlena. Padahal tungku di hadapanku sedang memasakkan makan malam bagi kami sekeluarga. Sudah tugasku seharusnya untuk menjaga apinya tetap menyala atau tidak merajalela membakar yang seharusnya tidak perlu dibakar. Namun aku memilih untuk bercumbu dengan tidurku yang menggairahkan itu, sampai ku merasakan panas yang amat sangat menerpa sekujur tubuhku. Dapur kami terbakar, rumah kami terbakar, perpustakaan hidup kami terbakar, foto-foto keluarga kami terbakar, gaji bulan terakhir ayahku terbakar dan ayahku terbakar juga. Aduh… ampun! Aku meringis tak terkendali. Aduh… ampun! Aku kehilangan segalanya yang tak harus hilang apabila ku tak menggenggam mimpi kelabu yang tadi itu. Akhirnya, semuanya mati, sirna, musnah, tak berbekas lagi.
Aku masih meringis tak terkendali ketika dua pasang tangan yang tadi bertepuk terjulur di hadapanku. Aku terkejut. Tangan-tangan itu rindu memberi selamat atas umur baruku. Sambil tertawa getir ku balas uluran itu, ditambah kecupan bagi mereka masing-masing. Dua pasang tangan itu adalah teman dan penghibur hidupku.
Ku tatap dua wajah pemilik tangan-tangan itu. Wajah mereka lugu dan polos. Ada selumbar kegembiraan dan harapan di mata mereka. Kegembiraan dan harapan itu bertuliskan namaku. Wajahku terpampang di sana dengan hiasan kenangan-kenangan indah sewaktu aku bercumbu dengan mereka. Kini mereka ada pada hari ini. Hari ini yang adalah milikku utuh. Mereka bersama denganku pada saat sebelum ku teringat kenangan-kenangan pahitku, dan mereka masih di sana sampai aku kembali ke dunia nyata ini lagi.
Ku tatap dua wajah kekasih hatiku itu. Mulut bisu mereka seolah membisikan kata-kata pembangkit semangat hidupku. Kata mereka “kamu harus hidup dalam hidup kehidupanmu”. Aku mencoba merumuskan kata-kata itu dalam definisiku sendiri. Ketika ku temukan artinya, aku tersenyum, dan senyumku terus melebar. Dalam tautan senyum itu aku berpikir. Masih ada dua buah jiwa yang menjadi milikku utuh pada hari milikku ini. Aku tak mau kehilangan mereka seperti ketika aku ditinggal mati oleh ibuku, si tua Doggy, ayahku, atau diriku sendiri.
Aku mengutuk diriku sendiri ketika mengingat kisah pada saat ulang tahunku. Aku memilih terkubur dalam hayal-hayal sepi ku. Aku memilih terperangkap dalam jurang “tak berkepercayaan diri”. Aku memilih menetap dalam selokan kemalasan dan pikiran tanpa nalarku. Ku biarkan dua pasang tangan polos itu menggelepar-gelepar antara hidup dan mati ketika aku tidak lagi memberi mereka makanan dan minuman untuk hidup. Aku tidak lagi memberi mereka uang jajan untuk bekal mereka setiap pergi kerja. Aku tidak lagi memberi mereka kasur yang empuk dan nyaman untuk mereka beristirahat. Aku terpekur tak percaya. Apa aku kehilangan lagi?
Kecupan di kedua belahan pipiku memecah lamunanku kali ini. Ku lihat dua wajah polos itu masih berdiri di depanku. Mereka kini telah berpakaian lebih rapi dari yang tadi. Mereka mengajakku makan di luar merayakan ulang tahunku. Oh Tuhan… syukurlah. Ternyata yang tadi itu hanya lamunan ku saja. Pemberi semangat jiwaku belum terkubur dalam kebodohan di saat aku mengambil keputusan.
Aku tersenyum. Dua wajah polos tadi kini tertidur dengan lelap setelah perut mereka kenyang dengan santapan malam kami. Ku selimuti mereka dengan selimut yang paling hangat. Ku bersujud di samping ranjang mereka. Dan sambil terpejam, aku berdoa “Terima kasih Tuhan atas segala yang Kau berikan padaku. Terima kasih atas segala kenangan-kenangan sedihku yang Kau sodorkan untuk ku ingat kembali. Semua itu membuatku memahami untuk secara bijaksana mengambil keputusan dalam hari-hari hidupku. Terimakasih juga untuk masa kini yang aku miliki, dengan kedua belahan jiwaku, pemberi semangat hidupku. Aku tak ingin karena keputusan-keputusan bodoh dan terburu-buruku aku mengubur mereka mati. Tuhan, aku tahu bahwa antara keputusan yang benar dan salah hanya terpisah oleh suatu sekat yang amat sangat tipis. Hidup dan matiku tergantung pada kebebasan keputusanku itu. Aku menjadi sesuatu atau tidak menjadi apapun juga tergantung pada satu detik keputusanku. Tuhan, bimbinglah aku dengan kebijaksanaan-Mu untuk selalu mengambil keputusan yang terbaik dalam hidupku, untuk menjadi, atau tidak menjadi sama sekali. Amin.”
0 komentar:
Posting Komentar