Rabu, 02 Desember 2009

Dunia Indah Sang Pemulung Sampah

Oleh: Riane Elean




Seorang bocah lelaki tanggung berdiri terpaku di tempatnya ketika awan gelap semakin berat bergelantungan di langit sore itu. Tatapannya lurus ke depan, ke arah tumpukan sampah yang bertebaran dihadapannya bak memandang indahnya deburan air laut di pantai. Hanya sesaat pandangan yang sedikit sulit ditafsirkan itu menghiasi mata polosnya. Sebuah helaan nafas berat menutup sebuah pikiran yang entah apa itu.

Dengan sedikit terpaksa ia meraih sepatu boot cokelat yang mulai kehitaman karena sering dikerumuni Lumpur dan debu di TPA Sumompo. Bocah itu menepuk-nepukkan bootnya sambil sesekali melongok ke dalam untuk memastikan kalau-kalau ada secuil kotoran yang nantinya akan menggelitik kaki ketika ia bekerja. Selepas itu tuntas, ia meraih sepasang kaos kaki lusuh yang nampaknya kebesaran untuk melengkapi pakaian kerjanya, plus sebatang galah berujung bengkok sebagai senjata. Lengkaplah sudah. Di hadapan saya saat itu berdiri tegap seorang pendekar dengan seragam lengkap yang telah siap tempur. Bertempur melawan rasa lapar yang akan menyerang kalau tak dapat cukup kertas atau plastik untuk ditimbang kilo. Sekilo kertas lusuh di pembuangan Sumompo sama dengan beberapa lembar ratusan, sama dengan sejumput nasi yang akan disuapnya hari itu.

Sehela nafas dibuang keras dari mulut kecil sang bocah tanggung. Matanya masih lurus ke depan memandang “lahan garapannya” yang terbentang luas, sambil berharap belum ada tangan sang pemulung lain yang mendahuluinya mematuk-matuk rejeki di tanah itu. Sejurus kemudian langkah gontainya mulai menjelajahi tumpukan sampah yang seolah lebih busuk dari biasanya.

Awal musim penghujan tahun ini sempat membuat sang bocah meringis. Kertas yang menjadi tumpuan harapannya banyak yang tak bisa dipakai lagi. Pendapatan pastilah berkurang. Di tengah ringisan yang memiriskan itu dia semakin berharap mobil-mobil sampah semakin rajin mengapeli ladang bisnisnya. Mobil sampah datang, rejeki pasti meningkat pikirnya. Menunggulah ia sambil terus mengayuhkan galah, mengait apa saja yang bisa jadi duit. Karung plastik di tangannya seolah juga turut merasakan kekhawatiran sang bocah. Sang karung terus menganga meminta untuk diisi. Semakin padat isinya, sang tuan pasti senang.

Bukan salah ibu mengandung. Sang bocah tak memilih untuk dilahirkan dalam kondisi kehidupan seperti itu. Sementara di tempat lain anak-anak dengan gembira bisa piknik di pantai atau gunung, sang bocah hanya bisa bersyukur memandang indahnya tumpukan sampah yang seolah turut menjadi penentu hidup dan matinya. Sementara di tempat lain anak-anak seusianya tak perlu pusing tujuh keliling memikirkan makan apa hari ini, sang bocah terpaksa harus berjuang, membanting tulang, paling tidaklah dia bisa menyumbat perut yang terus memaksa minta diisi walau Cuma sekali sehari. Sementara di tempat lain anak-anak seusianya sibuk dengan play station, sang bocah harus bersyukur dengan bola plastik setengah gepeng yang ia temukan ditengah tumpukan sampah, atau mobil-mobilan lusuh tanpa bola yang telah dibuang pemiliknya. Sementara ditempat lain anak-anak seusianya sibuk belajar di sekolah elit yang mahal, yang tinggal dipilih-pilih sesuai dengan kenyamanan, sang bocah harus puas dengan pelajaran yang diterima dari alam tanpa punya kesempatan untuk memilih. Ia diajari bagaimana cara bertarung memperjuangkan nasi sepiring.ya, tak perlu baju baru atau tempat tidur enak. Pakai apa saja dan tidur di mana saja yang penting sang perut tidak meronta karena lapar. Dan untuk semua itu, ia mengorbankan waktu untuk belajar di sekolah, dan bermain bersama dengan anak-anak sebayanya.

Entah sampai kapan pertarungan seperti ini akan berlangsung, dan entah ada berapa banyak bocah-bocah seperti itu yang menghiasi negeri kita. Negeri yang katanya kaya dengan sumber daya ini, negeri yang kata orang berada di posisi yang strategis. Negeri yang kata Koes Plus, lempar kayu jadi tanaman dan yang ada hanyalah kolam susu. Apakah ini mungkin karena pembagian kue ekonomi yang tidak adil sehingga di satu sisi ada orang yang hidup enak dan punya duit banyak yang takkan habis tujuh turunan, namun di tempat lain ada orang yang mati-matian berusaha untuk hidup dari sampah buangannya? Barangkali bagitu!!!!!!!!!!

0 komentar:

Posting Komentar