This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 18 Agustus 2008

Perempuan dan Kekuasaan:

(Secuil Pemikiran Tentang Keterlibatan Perempuan Dalam Politik Praktis Indonesia)

Oleh Riane Elean


"Right to vote and right to be candidate". Siapapun warga negara itu memiliki hak yang sama untuk menjadi seorang kandidat atau wakil. Demikian antara lain sepenggal kalimat idealis yang turut memberi warna dunia politik dunia. Bagi Negara Republik Indonesia, idealisme yang menempatkan setiap warga negara dalam posisi yang sama dalam dunia politik, dinyatakan secara gamblang dalam UUD 1945 Pasal 28-D ayat (3): "Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan". “setiap warga negara” berarti siapa saja, tanpa ada pembedaan, termasuk pembedaan jenis kelamin. Perempuan maupun laki-laki memiliki peluang yang sama untuk berusaha mendapatkan wewenang atau otoritas dalam pemerintahan. Pertanyaan sekarang adalah: apakah idealisme yang tertuang dalam konstitusi itu mampu “mewajah” dalam praktek berpolitik masyarakat kita? Apakah laki-laki dan perempuan telah memperoleh porsi seimbang dalam “melakonkan” berbagai peran politik yang sementara dimainkan di negara ini? Mari kita lihat:
o Dalam sejarah politik Indonesia sejak pemilihan pertama tahun 1955. Pada pemilihan umum pertama tahun 1955 hanya ada 3,8 persen perempuan di parlemen Indonesia dan tahun 1960-an ada 6,3 persen. Angka tertinggi ada pada periode 1987-1992 yaitu 13 persen. Tetapi turun lagi menjadi 12,5 persen tahun 1992-1997, 10,8 persen menjelang Soeharto jatuh, dan hanya 9 persen pada periode 1999-2004.
o Dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Dari 36 jabatan yang ada, perempuan hanya menduduki empat posisi, yakni Dr. Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan), Marie Pangestu (Menteri Perdagangan), Meutia Hatta (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan), Siti Fadillah Supari (Menteri Kesehatan). Sisanya didominasi oleh kaum laki-laki.
o Di lembaga MPR, jumlah perempuan hanya 18 orang (9,2 persen), dan laki-laki 177 orang. Sedangkan di DPR ada 45 perempuan dan 455 laki-laki (9 persen), di lembaga MA hanya ada 7 perempuan dan 40 laki-laki (14,8 persen), di BPK sama sekali tidak ada perempuan dan laki-laki ada 7, di DPA hanya ada 2 perempuan sedang laki-laki ada 43 orang (4,4 persen), di lembaga KPU juga hanya 2 perempuan dan laki-laki 9 orang (18,1 persen).
o Di tingkat daerah. Tiga puluh gubernur yang ada di Indonesia saat ini di jabat oleh kaum laki-laki, sementara dari 336 Bupati yang ada di Indonesia, hanya lima di antara mereka atau 1,5 persen saja yang diduduki oleh perempuan.
Beberapa data di atas sungguh berbanding terbalik dengan hasil sensus penduduk terkini yang menunjukkan bahwa jumlah kaum perempuan di Indonesia lebih banyak dari kaum laki-laki, yakni 51 persen. Jika data-data di atas dipakai sebagai tolok ukur menilai seberapa besar keterlibatan perempuan dalam kancah politik praktis di Indonesia, barangkali dapat dengan mudah disimpulkan bahwa dari segi kuantitas, perempuan masih kalah dibanding laki-laki.

Mengapa keterlibatan perempuan dalam kancah politik praktis menarik untuk dipercakapkan panjang lebar? Mengapa keterlibatan perempuan dalam pemerintahan “ngotot” diperjuangkan oleh sejumlah pihak? Apakah ada korelasi antara angka keterwakilan perempuan dalam pemerintahan dengan kebijakan yang berpihak kepada perempuan? Untuk bisa menjawab pertanyaan ini, barangkali kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa yang menjadi tujuan orang berpolitik. Menurut para teoritisi, yang mendorong seseorang memainkan peran aktif dalam politik ialah karena ada dorongan kemanusiaan yang tidak dapat diabaikan, yakni untuk memperoleh kekuasaan. “Politik” menurut mereka merupakan permainan kekuasaan, termasuk siapa, kapan dan bagaimana mendapatkan kekuasaan itu. Dalam kaitan dengan hal tersebut, J. Leibu dalam bukunya yang berjudul “Sosiologi Pedesaan: Mencari Suatu Strategi Pembangunan Masyarakat” mengaitkan antara “kekuasaan” (power) dengan “kewenangan”(authority). Kekuasaan didefinisikannya sebagai kemampuan untuk mempengaruhi dan mengendalikan pemikiran dan tingkah laku orang lain, sedangkan kewenangan adalah hak untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain. Pada prinsipnya, kekuasaan itu menunjuk pada potensi, sedangkan wewenang menunjuk pada hak. Dengan demikian, pengaruh kaum perempuan dalam mengendalikan situasi sosial, termasuk di dalamnya pengambilan kebijakan yang berpihak pada perempuan, sangat ditentukan oleh seberapa besar keterlibatan mereka pada posisi-posisi strategis pembuat kebijakan. Singkatnya, seberapa besar posisi tawar perempuan dalam sebuah sistem sosial tergantung pada seberapa besar pula kekuasaan yang dimilikinya untuk meyakinkan atau bahkan memaksa pihak lain melakukan sesuatu.

Pemaparan di atas memunculkan sebuah hipotesis bahwa rendahnya tingkat keterlibatan perempuan dalam lembaga publik tidak mungkin mewakili kepentingan-kepentingan perempuan yang diharapkan, karena jumlahnya yang berada dibawah Critical mass. Apakah hipotesis tersebut bisa diuji? Barangkali penelitian yang pernah dilakukan sebuah institut di negeri “Paman Sam” bisa merepresentasi hipotesis ini. Sebuah penelitian yang dilakukan Institute for Women’s Policy Research yang dilakukan di seluruh negara bagian yang ada di Amerika Serikat menunjukkan bahwa di negara bagian yang mempunyai keterwakilan perempuan lebih tinggi memiliki kebijakan yang lebih responsif terhadap pemenuhan sumber daya dan hak-hak perempuan. Dengan demikian bisa jadi bahwa akan sangat sulit mendapatkan berbagai kebijakan yang memperjuangkan dan memproteksi hak-hak perempuan, seperti: perlindungan perempuan dari kekerasan, sampai pada perluasan akses terhadap ekonomi dan pendidikan, jika keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan tersebut kecil.

Masih adanya pembagian kerja berbasis jenis kelamin (gender based division of labor) di mana perempuan hanya bekerja di wilayah domestik, sementara wilayah publik dianggap tempatnya laki-laki, kebutuhan perempuan yang masih banyak ditentukan oleh laki-laki sebagai pihak yang mendominasi kekuasaan, merupakan dua hal yang dinilai beberapa pihak merupakan dampak dari pembagian kekuasaan yang belum berimbang. Akar dari kecenderungan ini entah karena sistem budaya masyarakat kita yang cenderung patriakal, sebagian besar perempuan masih dikungkung kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan, ataukah karena keengganan perempuan itu sendiri untuk membangun kekuatan penyeimbang dengan cara terjun langsung ke dunia politik praktis. Untuk hal itu, penelitian yang lebih mendalam masih diperlukan. Namun satu hal yang pasti, porsi kekuasaan yang dimiliki akan sangat menentukan posisi dan kemudahan hidup perempuan di tengah masyarakat.

Jika kemudian telah muncul kesadaran bahwa porsi kekuasaan turut menentukan posisi tawar perempuan dalam suatu sistem sosial, pasti kemudian pertanyaan yang muncul adalah bagaimana memperoleh kekuasaan itu. Kekayaan material, kedudukan, birokrasi, dan kemampuan khusus di bidang ilmu pengetahuan, secara sosiologis merupakan sumber kekuasaan. Namun, yang paling umum kekuasaan tertinggi berada pada negara. posisi tawar perempuan harus bisa merambah sampai pada ranah tersebut agar mampu mendapatkan posisi tawar yang kuat dan bisa menghasilkan pengaruh yang signifikan.

Ada beberapa hal yang barangkali bisa menjadi referensi bagi kaum perempuan untuk menancapkan pengaruhnya di tengah masyarakat. Pertama, perempuan harus bisa menunjukkan kelebihan dalam pengetahuan maupun kemampuan-kemampuan konstruktif lainnya. Termasuk dalam hal ini adalah bagaimana perempuan secara cerdik (bukan secara licik) memanfaatkan peluang sekecil apapun. Dengan demikian, luasnya wawasan yang diperoleh dari pendidikan secara formal maupun non-formal merupakan sebuah kemutlakan. Hal ini penting agar semua strategi yang dipakai untuk mendapatkan kekuasaan maupun aplikasinya dalam wujud penentuan kebijakan, di dasarkan pada pertimbangan multi ilmu. Kedua, perempuan harus bisa menunjukkan sifat dan sikap yang diharapkan dan dapat dijadikan pedoman prilaku. Pada bagian inilah moral dan prinsip hidup turut menentukan kharisma sang perempuan. Hal selanjutnya yang perlu diperhatikan dan bahkan barangkali merupakan faktor penentu berhasil tidaknya perempuan mendapatkan posisi strategis dalam masyarakat, yakni kemauan untuk tampil atau menjadi pemain aktif dalam politik praktis. Jangan hanya menjadi the mute voice dan sekedar penggembira dalam sistem sosial kita. Karena harapan tanpa usaha hanyalah akan menghasilkan mimpi belaka.

Selain hal-hal di atas, apakah ada hal lain lagi yang perlu dibahas terkait dengan topik “perempuan dan kekuasaan”? Tentu masih ada, bahkan masih sangat banyak lagi. Namun cukup secuil inilah dulu -dari bahan yang panjang lebar itu- untuk bagian ini. Untuk perempuan, selamat berpolitik! Mudah-mudahan yang secuil ini bisa berarti.

Produk Gagal Pemilu 2004


Oleh Rikson Karundeng


“Jadi anggota DPR RI itu ternyata sangat enak. Sekali sidang mendapat bayaran sebesar Rp 1,5 juta. Belum lagi gaji, segala tetek-bengek tunjangan yang diperoleh, plus "angpoa-anggpoa" yang diterima dari berbagai pihak. Pokoknya sedap benar jadi anggota Dewan. Nikmat," kata seorang asisten pribadi salah seorang anggota DPR RI asal sulut.

Tidak mengherankan, jika banyak orang benar-benar tertarik menjadi anggota Dewan. Dana miliaran rupiah berani mereka keluarkan untuk bisa memperoleh kursi empuk di DPR RI. Seringkali partai politik pun lebih memilih mengambil orang di luar partai dari pada kadernya sendiri, untuk menempatkan seseorang menjadi calon anggota DPR. Asal, calon tersebut mampu memberikan sejumlah dana tertentu untuk kepentingan kegiatan Parpol. Alhasil, pada saat terpilih kerap beberapa anggota DPR RI pun berusaha keras mengembalikan modal yang dikeluarkan.

Secara sederhana, sesungguhnya gaji anggota Dewan sudah sangat memadai karena di atas kisaran Rp 20 juta lebih. Bila dikalkulasi dengan sejumlah tunjangan dan "angpao-angpao" yang mereka terima, maka ada yang menyebut anggota Dewan minimal menerima Rp 50 juta per bulan. Jadi, secara finansial anggota DPR RI memang luar biasa. Dalam setahun diperkirakan paling rendah penghasilan anggota Dewan sebesar Rp 600 juta.

Penghasilan yang sedemikian besar ternyata belum cukup bagi sebagian anggota Dewan. Sejumlah kasus yang mencuat beberapa waktu terakhir ini sepertinya bisa menjadi bukti kerakusan para wakil rakyat kita. Misalnya, kasus Buyan Royan yang ditangkap KPK karena upeti dari pembelian kapal patroli, Sejumlah kasus serupa yang dilakukan para anggota dewan terhormat seperti kasus anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan Al Amin Nur Nasution terkait dugaan menerima suap pengalihan fungsi hutan lindung di Bintan yang diiringi dengan mencuatnya kasus suap anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Sarjan Tahir, terkait pembebasan lahan hutan mangrove untuk pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-api di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan beberapa waktu lalu yang diduga turut juga melibatkan 10 anggota Komisi IV DPR RI lainnya.

Selain suka memeras, para anggota DPR kita ternyata gemar juga berfoya-foya walau harus menghabiskan uang rakyat. Pada tanggal 14-20 Desember 2006 lalu misalnya, pada saat melakukan kunjungan ke London, Inggris, sebagian anggota DPR RI diduga berpesta sambil berjudi di Hardrock Casino London, tempat perjudian mewah di Inggris. Selain itu, sejumlah kasus amoral lain yang melibatkan anggota DPR RI, sempat juga mencuat ke permukaan. Sebut saja kasus video porno yang melibatkan anggota DPR RI dari partai Golkar, Yahya Zaini dan kasus foto syur dan pelecehan seksual yang dilakukan Max Moein dari PDIP.

Awal tahun ini juga masyarakat Indonesia dihebohkan dengan informasi yang dibeberkan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai 40-an anggota DPR RI periode 2004 - 2009 yang diduga terlibat korupsi. Sebagian besar berasal dari PDI Perjuangan (15 orang), Partai Golkar (10 orang) dan Partai Persatuan Pembangunan (8 orang). Sisanya dari Partai Demokrat (3 orang), Partai Amanat nasional (3 orang) dan Partai Keadilan Sejahtera (1 orang). Dalam laporannya, ICW juga menyebut nama-nama anggota dewan yang diduga terlibat korupsi serta jenis dan besaran korupsi yang mereka lakukan.

Selain kasus-kasus ini, banyak juga kasus dugaan korupsi dan kasus amoral lain yang melibatkan anggota Dewan tidak diusut seperti keterlibatan dalam perjalanan dinas ke Hongkong dan Korea Selatan. Bahkan ada juga yang sudah dibebaskan atau dihentikan perkaranya. Ya, boleh jadi persoalan-persoalan di DPR RI yang menunjukkan rakusnya anggota Dewan tersebut dengan uang, gaya hidup bermewah-mewah: mobil mewah, rumah mewah, telepon selular mewah, dan seterusnya yang menunjukkan tidak adanya sense of crisis para anggota Dewan, boleh jadi kalau ditelusuri lebih mendalam, kasus-kasus yang terungkap hanyalah sebagian kecil dari "keculasan" para anggota DPR RI.

Di tengah tekanan ekonomi yang masih luar biasa bagi sebagian besar masyarakat, adanya krisis energi dan krisis pangan di Indonesia, seharusnya "sebagai wakil rakyat", para anggota Dewan memiliki kepedulian terhadap penderitaan masyarakat. Tidak sebaliknya, justru berpesta-pora di atas penderitaan masyarakat kita. Sungguh merupakan tindakan amoral-apa yang dilakukan anggota Dewan dengan menikmati "uang-uang suap, upeti" atas keberhasilan mereka memperjuangkan sebuah proyek dan peraturan bahkan perundang-undangan. Kita patut mengatakan, itulah bentuk keserakahan dari para wakil rakyat. Kita memang bisa mengatakan lengkap sudah tindakan amoral para wakil rakyat itu : terlibat perselingkuhan wanita, video porno, baku hantam, koruptif, dan manipulatif. Sungguh memprihatinkan.
Sudah berulang kali terungkap kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR. Namun, hingga saat ini, kesadaran guna membenahi citra bopeng tersebut masih belum juga digalakkan. Tertangkapnya Al Amin Nasution, Bulyan Royan, Hamka Yandhu, Antony Zeidra Abidin, Noor Adenan Razak dan Sarjan Tahir, merupakan bukti kebenaran asumsi bahwa gedung DPR adalah sarang korupsi, kasus suap dan segala bentuk varian tindakan amoral, antietika lainnya.
Mereka yang tertangkap hanya bagian kecil dari fenomena’’ gunung es’’ karena untuk menggolkan satu perundangan dan keinginan dari pemerintah daerah atau instansi terkait terlebih dahulu meminta persetujuan DPR dan ini dijadikan kesempatan untuk memeras. Sudah terlalu banyak kasus yang menodai lembaga terhormat DPR-RI sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif tentu merosot tajam. Walaupun hingga saat ini lembaga tersebut belum terbukti melakukan pelanggaran hukum.

Kondisi DPR di tigkat propinsi dan Kabupaten/Kota juga tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di DPR RI. Sebab para wakil rakyat yang amoral banyak juga yang bercokol di sana. Kalau mau melihat bukti, barangkali lembaran putih yang tersedia untuk tulisan ini tidak akan sanggup menampung dertan kasus anggota DPRD yang sudah terbukti, dalam proses penyelidikan maupun yang belum disentuh sama sekali atau memang telah sengaja dimentahkan.
Kasus-kasus yang melibatkan para wakil rakyat ini memang merupakan persoalan klasik di lembaga tersebut. Namun, setelah reformasi dan masyarakat diberi peran untuk menentukan siapa wakilnya di parlemen, barangkali sangat realistis jika para wakil rakyat yang dihasilkan benar-benar figure yang bermoral dan mampu pemperjuangkan aspirasi masyarakat yang sesungguhnya. Tapi kenyataannya, produk pemilu 1999 tidak berbeda jauh dengan produk pemilu sebelumnya dan produk pemilu 2004 yang masih bercokol hingga saat ini ternyata lebih parah lagi. Kenyataan ini tentu bisa menjadi bahan refleksi bagi lembaga legislatif dan bagi masyarakat Indonesia secara khusus yang akan berpartisipasi dalam pemilu 2009 nanti. Para pemilih barangali perlu lebih cerdas lagi memilih figure yang ideal sehingga tidak mudah ditipu dan tidak akan mengalami kekecewaan dikemudian hari.

Pemilu 2004 dan produk yang dihasilkannya pasti akan menjadi pelanjaran penting bagi rakyat ke depan. Menghadapi rakyat yang semakin cerdas, maka partai-partai peserta pemilu 2009 tentu harus juga lebih cerdas. Artinya, lebih cerdas dalam menentukan figure yang akan dicalonkan sebagai wakil rakyat dan bukan lagi sekedar mencari kader yang bisa mendanai kepentingan partai dengan nafsu kekuasaannya. Sebab bisa dipastikan, partai-partai yang tidak mampu memenuhi keinginan rakyat, tidak bisa memberikan pendidikan politik yang sesungguhnya bagi rakyat, serta partai yang hanya mau menampung sederet kriminil di negeri ini, tidak akan laku di hati rakyat dan akan terdegradasi dengan sendirinya.Masyarakat Indonesia juga tentu berharap ke depan, Badan Kehormatan DPR bisa lebih jeli serta objektif dan lembaga-lembaga hukum di Indonesia bisa lebih konsisten menegakkan hukum di negeri ini agar para wakil rakyat produk pemilu selanjutnya bisa mengingat bahwa berbagai sangsi dan tindakan hukum akan menanti para anggota dewan yang amoral.