Oleh: Rikson Karundeng
Waktu telah menunjukkan lepas pukul 09.00 WITA dan porsi terakhir nasi goreng istimewa racikan Chef Denni Pinontoan telah dituntaskan. Tim Ekspedisi Mawale Movement (Greenhill Weol, Rikson Karundeng, Denni Pinontoan, Fredi Wowor Bodewyn Talumewo dan Frisky Tandayu), dengan penuh semangat meninggalkan Steleng Mawale di Bukit Inspirasi Tomohon untuk memulai agenda touring bertajuk “Menelusuri Jejak-Jejak Peradaban Tou Minahasa“ Senin, 8 Maret 2010.
“Ado minta maaf ta lat ! Kita so pagi-pagi deri Pinabetengan mar pas singgah pa Fredi di Sonder, Tuama kote da asik ba browsing di warnet. Sonder memang cuma kacili, mar warnet di mana-mana, jadi nyaku bingo mo cari ka mana pa dia,” ujar Friski dengan nada low khasnya dan ekspresi “rasa bagitu” khas Tontemboan.
Ungkapan Frisky itu ditanggapi gelak tawa Tim Ekspedisi Mawale Movement (Selanjtnya disingkat Tim E Man) yang lain. Dan cerita itu berlalu seiring berkurangnya tetesan bensin dari tiga kendaraan roda dua yang ditumpangi enam Waraney Mawale Movement itu. Sebelum mengisi bahan bakar di Wanua Woloan, Tim E Man menyempatkan diri untuk melihat dari dekat Waruga Dotu Supit yang berdiri kokoh tepat di depan gedung Gereja GMIM Eben Heazer Woloan. “Dulu waktu ini greja da bangun tahun 90-an, pernah ada rencana mo se pindah tu waruga. Mar, banya jemaat nda setuju termasuk kita. Karna itu kan nyanda menggangu apapun,” terang Om Poluan, yang sehari-hari ditugaskan sebagai Kostor di gereja tersebut.
“Depe cerita jelas tentang ini waruga nanti torang baca kong dikusikan di steleng. Soalnya kita pe mahasiswa bimbingan skripsi, baru-baru da biking penelitian tentang itu waruga,” kata Denni sambil mengajak Tim E Man untuk segera melanjutkan perjalanan.
Setelah melewati Wanua Taratara, Ranotongkor, Lolah dan Lemo, 35 menit kemudian Tim E Man telah memasuki Wanua Sarani Matani Kecamatan Tombariri. Udara panas yang tak biasa dinikmati di Tomohon, seakan membungkus erat tubuh, hingga memaksa Tim E Man untuk berhenti sejenak melepas lelah. Jembatan tua yang diperkirakan dibangun sejak zaman Belanda yang terletak di ujung Wanua Sarani Matani menjadi tempat pilihan Tim untuk beristirahat sambil menatap dengan decakan kagum jembatan kayu yang masih berdiri kokoh itu.
Baru saja starter motor dihentakkan, mesin kendaraan harus berhenti kembali tat kala mata Denni Pinontoan menangkap sebuah batu yang direspons otaknya sebagai sebuah waruga. Ternyata benar itu sebuah waruga, sayang terkesan tidak pernah diindahkan sehingga tumpukan pasir dan sampah yang ada di sekitarnya lebih mudah dikenali ketimbang waruga itu. “Itu kwa waruga deri sebelah utara kampung, kong tahun 90-an ada kase pindah di muka kantor kuntua ini Menurut cerita, waruga itu da kubur akang torang pe dotu yang pertama kali buka ini kampung. Torang so nda tau depe nama, mar ini waruga da kase pindah di sini supaya torang boleh mo inga trus pa dia yang ada jasa besar da buka ini kampung,” jelas Feri yang kebetulan sedang mencucui kendaraan di samping waruga tersebut.
Salah satu yang terprogram di otak personil Tim E Man hari itu adalah menemukan parigi (sumur) Pingkan. Hasrat itu kemudian mendorong Tim untuk menelusuri lorong-lorong di Wanua Ranowangko Kecamatan Tombariri. Di salah satu lorong, mata Tim E Man terhenti pada sebuah waruga yang tampak bagian atasnya telah diperindah dengan semen dan telah dimanfaatkan sebagai pampele angin untuk dodika oleh pemilik kios makanan di tempat itu. “Itu kwa waruga dotu Lokon. Salah satu yang bilang pa torang itu dotu Lokon punya, Gubernur Worang. Dia kan dulu ja kampetan. Dulu depe model memang so bagitu mar lantaran so ja ancor depe atas kong dan tahang deng semen sadiki. Di seblah ini lei ada waruga mar waktu saman Worang, dorang da se pindah di puncak Tasik Ria. Waktu itu, Gubernur Worang da tata samua ini waruga di sini. Dia lei yang biking kase bagus tu lokasi di parigi Pingkan yang ada di blakang sana,” terang Om Yan Rengkung, sambil mengarahkan telunjuk ke arah Timur untuk menunjuk lokasi Sumur Pingkan yang dicari Tim E Man.
Om Yan pun langsung mengajak Tim E Man untuk menuju lokasi Sumur Pingkan yang jaraknya hanya sekitar 30 meter dari waruga tersebut. “Menurut cerita, itu Pingkan asli sini. Dulu waktu nona-nona, dia pernah se tanang depe keris di sini. Waktu dia cabu, kaluar aer kong nda pernah brenti sampe skarang. Biar musim panas panjang, deri dulu nda pernah brenti ini aer, malahan ada orang-orang deri Tomohon ja datang ambe aer di sini kalu musim panas. Tahun 1972, ini tampa lei Gubernur Worang da tata. Kebetulan kita salah satu pengerja waktu itu,” tutur Om Yan dengan wajah serius.
Saat hendak beranjak dari Sumur Pingkan, Green Weol melempar senyum sekaligus tanya ke Rikson Karundeng, “Con, ngana da ba cuci muka tadi ? Fredi, Kiki, Deni, Bode deng kita kwa da cuci muka. Soalnya, menurut cerita masyarakat itu aer di Sumur Pingkan ja biking pasung deng awet muda”.
“He..he..he…kita so nda cuci muka deri kalu mo cuci muka, kita somo lebe bahaya. So itu kita kurang da se basah tu kapala supaya tu otak mo lebeh pasung,” jawab Rikson.
Kira-kira 40 meter dari Sumur Pingkan, Tim E Man menyaksikan secara langsung batu Sumanti yang sudah sering didiskusikan di Mawale Movement. Menurut cerita, lima batu yang berdiri kokoh itu merupakan salah satu tempat ritual Tou Minahasa zaman dulu. “Ini batu kwa so lama. Deri kita pe nenek tua lei so ada ini batu. Mar yang biking ini tampa kwa, Gubernur Worang. Dulu ini di blakang pa torang pe rumah kong akhirnya tu rumah yang se pindah ka blakang,“ terang Om Kaunang, yang selanjutnya menjelaskan kalau tanah itu memang milik keluarga Kaunang sejak dahulu kala.
Waktu teleh menunjukkan pukul 12.30 dan Tim E Man memutuskan untuk segera meninggalkan lokasi dan menuju ke Wanua Lelema Kecamatan Tumpaan Kabupaten Minahasa Selatan. Saat berada di ujung sebeah Selatan Wanua Senduk, Bodewyn Talumewo meminta untuk istirahat sejenak sembari melihat 30-an makam Pejuang Permesta yang terletak di samping jalan raya. “Ini kubur ada 30-an. De pe cerita, waktu tanggal 14 Februari tahun 1960, tetara Permesta menghadang konvoi tentara pusat di sepanjang jalur ini. Dalam pertempuran itu, banyak tentara pusat yang meninggal namun di pihak Permesta, ada 30-an korban. Dorang ini satu Batalion. Lantara di lokasi sini tu paling banya da korban, tu korban di beberapa tempat lain dorang kumpul kong kubur di sini,” kata Bode dengan gaya bertuturnya yang halus namun meyakinkan.
Sebelum memasuki Wanua Lelema,Tim E Man berhenti sejenak di lokasi resting area yang dibangun pemerintah Kabupaten MInahasa selatan. Sembari melepas lelah, Tim E Man menikmati menu makan siang berupa dua bungkus kue Pia yang sempat dibeli Mner Fredy di Wanua Woloan. “Sungguh besar kasih Opo Empung, sehingga kita boleh menikmati Pia deng aer Mineral ini siang,” kata Frisky dengan wajah yang tampak bangga.
Waktu sudah menunjukkan pukul 13.30 WITA saat kami menginjakkan kaki di Wanua Lelema, tepat di ujung sebelah Utara Wanua dimana batu menhir berdiri tegak. Setelah mengamati secara cermat dan mendiskusikan batu yang sering dibicarakan sebagai “batu bertumbuh” itu, Tim E Man memutuskan untuk mencari tua-tua wanua agar bisa mengorek informasi lebih banyak mengenai keberadaan batu tersebut.
“Menurut cerita orang tua, batu itu sebenarnya berasal dari daerah Tombariri. Salah seorang dotu di sana pernah mengadakan sayembara, sapa yang boleh mo dapa angka itu batu, dia boleh kaweng deng tu dotu pe putri. Dan yang berhasil mengangkat batu itu torang pe dotu. Ada lagu yang dikenal masyarakat yaitu lagu “Burung Putih di Laut Biru” yang menceritakan tentang pesan torang pe dotu pa burung putih supaya kase tau di Lelema bahwa dia so berhasil angka itu batu kong dapa putri,” terang Opa Festus Rompis, sembari menegaskan keyakinannya bahwa tidak benar kalu batu itu bertumbuh. “Jadi, ini batu sebenarnya batu Tumotowa. Ini Lelema depe cerita, tiga kali pindah tampa. Waktu Tumani pertama kali di sini. Setelah itu pindah di daerah kobong pece skarang di daerah Selatan kampung skarang. Mar, karna sering dapa gangguan deri ketang (Kepiting), para dotu memutuskan untuk pindah lagi di daerah tenga kampung yang skarang. De pe Batu Tumotowa katiga skarang masih ada. Itu batu baku sei deng dua waruga yang menurut cerita adalah waruga dotu yang meninggal waktu perang melawan Mangindanau”.
Opa Rompis menjelaskan kalau kata Lelema itu sebenarnya berasal dari bahasa Tombulu palemaan yang artinya tempat makan pinang. Diikisahkannya, dahulu ketika perang Minahasa degan Bolaang Mongondouw begelora,termasuk saat perang dengan Mangindanau, daerah tersebut merupakan tempat persinggahan para dotu untuk beristirahat sambil makan pinang. Mereka yang singgah dan beristirahat itu, ada yang akhirnya menetap. Makanya, daerah Lelema dihuni oleh turunan para dotu dari Tolour, Tombulu, termasuk Tontemboan yang lebih dahulu berada di wilayah itu.
Mengapa para dotu sering bertarung melawan para Mangindanau di wilayah ini ? Menurut Opa Rompis, dahulu sungai yang melewati Wanua Lelema adalah jalur masuk para Mangindanau ke daerah pegunungan Minahasa. Makanya para dotu Minahasa menjadikan Lelema sebagai daerah untuk mengahadang mereka. Salah satu bukti, adalah dengan ditanaminya beberapa wilayah di sekitar sungai dengan tanaman Bambu berduri yang dikenal masyarakat dengan Bulu Tutunean, untuk menghambat perahu para Mangindanau.
Berdasarkan petunjuk yang diperoleh dari Opa Rompis, Tim E Man melanjutkan pencaharian waruga dan batu Tumotowa yang katanya berada di tengah Wanua Lelema kini. Waruga yang berjumlah dua buah dengan batu Tomotowa dimaksud ternyata mudah ditemukan karena tepat berada di samping jalan raya. “Dulu katu ada nenek Sorongan yang ja urus tu Tumotowa itu. Dia kwa kata dulu sering ja dapa mimpi kong dapa suru mo jaga tu batu. Karna kalu nda mo jaga, torang di Lelema mo susah dapa berkat deng gampang mo dapa macam-macam kesusahan. Mar tu nenek kwa so mati dua taong lalu. Kalu tu dotu yang se badiri ini kampung, de pe waruga ada di seblah rumah sini. Tu dotu Mapaliey ini yang menurut cerita dia yang angka tu batu di ujung Lelema,” kata Om Sinyo Mira, salah seorang warga yang tinggal di samping waruga-waruga tersebut.
Dari info Om Mira, Tim E Man kemudian melihat secara langsung waruga Dotu Mapaliey yang terletak di depan rumah Om Max Rembang. Menurut cerita warga, dotu Mapaliey juga adalah dotu yang mendirikan Wanua Tumpaan.
Tak terasa, mentari semakin menghampiri pembaringannya di ufuk barat. Tim E Man pun memutuskan untuk mengahiri ekspedisi kali ini dan kembali ke steleng di Tomohon. Jalur terdekat yang kemudian dipilih untuk menjadi jalan pulang adalah jalur Tangkuney, Timbukar, Tincep, Sonder, Tomohon. Jalur ini memang paling dekat namun merupakan jalur yang paling menantang untuk dilalui. Sebab, selain kondisi jalan yang sangat memperihatinkan, jalur ini juga terkenal dengan tanjakan yang berkelok-kelok dan himpitan dinding batu dengan jurang yang terjal. Disamping itu, Tim E Man juga bisa menikmati keindahan air terjun Timbukar dan Tincep yang memang luar biasa namun belum dikelolah dengan baik, termasuk nikmatnya kopi dan kukis apang yang memang sudah menanti di rumah keluarga Wowor yang ada di Sonder.
Situs-situs yang dijumpai Tim E Man, barangkali hanyalah benda mati berwujud batu. Namun, seperti kata Fredi Wowor, itu adalah penanda tentang banyak hal mengenai To Minahasa. Batu-batu dengan bentuk dan goresannya telah memberi gambaran bahwa jauh sebelum sekarang, Tou Minahasa telah memiliki kebudayaan yang luar biasa. Dari penanda-penanda inilah bisa ditemukan kisah-kisah heroik, keperkasaan, kecerdikan, serta kereligiusan Tou Minahasa yang tak pernah di catat dalam sejarah Indonesia dan kini mulai hilang dari memori Si pemilik.
Salah satu nama yang sering di dengar dalam ekspedisi kali ini adalah Gubernur Worang. Sosok ini brangkali adalah sosok yang kontrofersial dan sebagai manusia barangkali memiliki banyak kekurangan. Namun, apa pun yang mau dikatakan Tou Minahasa saat ini, tak bisa dibantah bahwa dia adalah slah satu Tou Minahasa yang berjasa dalam dalam upaya untuk menemukan dan menjaga situs-situs budaya Tou Minahasa. Ini tentu berbeda dengan Gubernur Sulut lainnya yang terkesan lebih menyukai membangun situs-situs baru ketimbang menemukan, menjaga dan mengangkat situs-situs budaya yang pernah ada.
Waktu telah menunjukkan lepas pukul 09.00 WITA dan porsi terakhir nasi goreng istimewa racikan Chef Denni Pinontoan telah dituntaskan. Tim Ekspedisi Mawale Movement (Greenhill Weol, Rikson Karundeng, Denni Pinontoan, Fredi Wowor Bodewyn Talumewo dan Frisky Tandayu), dengan penuh semangat meninggalkan Steleng Mawale di Bukit Inspirasi Tomohon untuk memulai agenda touring bertajuk “Menelusuri Jejak-Jejak Peradaban Tou Minahasa“ Senin, 8 Maret 2010.
“Ado minta maaf ta lat ! Kita so pagi-pagi deri Pinabetengan mar pas singgah pa Fredi di Sonder, Tuama kote da asik ba browsing di warnet. Sonder memang cuma kacili, mar warnet di mana-mana, jadi nyaku bingo mo cari ka mana pa dia,” ujar Friski dengan nada low khasnya dan ekspresi “rasa bagitu” khas Tontemboan.
Ungkapan Frisky itu ditanggapi gelak tawa Tim Ekspedisi Mawale Movement (Selanjtnya disingkat Tim E Man) yang lain. Dan cerita itu berlalu seiring berkurangnya tetesan bensin dari tiga kendaraan roda dua yang ditumpangi enam Waraney Mawale Movement itu. Sebelum mengisi bahan bakar di Wanua Woloan, Tim E Man menyempatkan diri untuk melihat dari dekat Waruga Dotu Supit yang berdiri kokoh tepat di depan gedung Gereja GMIM Eben Heazer Woloan. “Dulu waktu ini greja da bangun tahun 90-an, pernah ada rencana mo se pindah tu waruga. Mar, banya jemaat nda setuju termasuk kita. Karna itu kan nyanda menggangu apapun,” terang Om Poluan, yang sehari-hari ditugaskan sebagai Kostor di gereja tersebut.
“Depe cerita jelas tentang ini waruga nanti torang baca kong dikusikan di steleng. Soalnya kita pe mahasiswa bimbingan skripsi, baru-baru da biking penelitian tentang itu waruga,” kata Denni sambil mengajak Tim E Man untuk segera melanjutkan perjalanan.
Setelah melewati Wanua Taratara, Ranotongkor, Lolah dan Lemo, 35 menit kemudian Tim E Man telah memasuki Wanua Sarani Matani Kecamatan Tombariri. Udara panas yang tak biasa dinikmati di Tomohon, seakan membungkus erat tubuh, hingga memaksa Tim E Man untuk berhenti sejenak melepas lelah. Jembatan tua yang diperkirakan dibangun sejak zaman Belanda yang terletak di ujung Wanua Sarani Matani menjadi tempat pilihan Tim untuk beristirahat sambil menatap dengan decakan kagum jembatan kayu yang masih berdiri kokoh itu.
Baru saja starter motor dihentakkan, mesin kendaraan harus berhenti kembali tat kala mata Denni Pinontoan menangkap sebuah batu yang direspons otaknya sebagai sebuah waruga. Ternyata benar itu sebuah waruga, sayang terkesan tidak pernah diindahkan sehingga tumpukan pasir dan sampah yang ada di sekitarnya lebih mudah dikenali ketimbang waruga itu. “Itu kwa waruga deri sebelah utara kampung, kong tahun 90-an ada kase pindah di muka kantor kuntua ini Menurut cerita, waruga itu da kubur akang torang pe dotu yang pertama kali buka ini kampung. Torang so nda tau depe nama, mar ini waruga da kase pindah di sini supaya torang boleh mo inga trus pa dia yang ada jasa besar da buka ini kampung,” jelas Feri yang kebetulan sedang mencucui kendaraan di samping waruga tersebut.
Salah satu yang terprogram di otak personil Tim E Man hari itu adalah menemukan parigi (sumur) Pingkan. Hasrat itu kemudian mendorong Tim untuk menelusuri lorong-lorong di Wanua Ranowangko Kecamatan Tombariri. Di salah satu lorong, mata Tim E Man terhenti pada sebuah waruga yang tampak bagian atasnya telah diperindah dengan semen dan telah dimanfaatkan sebagai pampele angin untuk dodika oleh pemilik kios makanan di tempat itu. “Itu kwa waruga dotu Lokon. Salah satu yang bilang pa torang itu dotu Lokon punya, Gubernur Worang. Dia kan dulu ja kampetan. Dulu depe model memang so bagitu mar lantaran so ja ancor depe atas kong dan tahang deng semen sadiki. Di seblah ini lei ada waruga mar waktu saman Worang, dorang da se pindah di puncak Tasik Ria. Waktu itu, Gubernur Worang da tata samua ini waruga di sini. Dia lei yang biking kase bagus tu lokasi di parigi Pingkan yang ada di blakang sana,” terang Om Yan Rengkung, sambil mengarahkan telunjuk ke arah Timur untuk menunjuk lokasi Sumur Pingkan yang dicari Tim E Man.
Om Yan pun langsung mengajak Tim E Man untuk menuju lokasi Sumur Pingkan yang jaraknya hanya sekitar 30 meter dari waruga tersebut. “Menurut cerita, itu Pingkan asli sini. Dulu waktu nona-nona, dia pernah se tanang depe keris di sini. Waktu dia cabu, kaluar aer kong nda pernah brenti sampe skarang. Biar musim panas panjang, deri dulu nda pernah brenti ini aer, malahan ada orang-orang deri Tomohon ja datang ambe aer di sini kalu musim panas. Tahun 1972, ini tampa lei Gubernur Worang da tata. Kebetulan kita salah satu pengerja waktu itu,” tutur Om Yan dengan wajah serius.
Saat hendak beranjak dari Sumur Pingkan, Green Weol melempar senyum sekaligus tanya ke Rikson Karundeng, “Con, ngana da ba cuci muka tadi ? Fredi, Kiki, Deni, Bode deng kita kwa da cuci muka. Soalnya, menurut cerita masyarakat itu aer di Sumur Pingkan ja biking pasung deng awet muda”.
“He..he..he…kita so nda cuci muka deri kalu mo cuci muka, kita somo lebe bahaya. So itu kita kurang da se basah tu kapala supaya tu otak mo lebeh pasung,” jawab Rikson.
Kira-kira 40 meter dari Sumur Pingkan, Tim E Man menyaksikan secara langsung batu Sumanti yang sudah sering didiskusikan di Mawale Movement. Menurut cerita, lima batu yang berdiri kokoh itu merupakan salah satu tempat ritual Tou Minahasa zaman dulu. “Ini batu kwa so lama. Deri kita pe nenek tua lei so ada ini batu. Mar yang biking ini tampa kwa, Gubernur Worang. Dulu ini di blakang pa torang pe rumah kong akhirnya tu rumah yang se pindah ka blakang,“ terang Om Kaunang, yang selanjutnya menjelaskan kalau tanah itu memang milik keluarga Kaunang sejak dahulu kala.
Waktu teleh menunjukkan pukul 12.30 dan Tim E Man memutuskan untuk segera meninggalkan lokasi dan menuju ke Wanua Lelema Kecamatan Tumpaan Kabupaten Minahasa Selatan. Saat berada di ujung sebeah Selatan Wanua Senduk, Bodewyn Talumewo meminta untuk istirahat sejenak sembari melihat 30-an makam Pejuang Permesta yang terletak di samping jalan raya. “Ini kubur ada 30-an. De pe cerita, waktu tanggal 14 Februari tahun 1960, tetara Permesta menghadang konvoi tentara pusat di sepanjang jalur ini. Dalam pertempuran itu, banyak tentara pusat yang meninggal namun di pihak Permesta, ada 30-an korban. Dorang ini satu Batalion. Lantara di lokasi sini tu paling banya da korban, tu korban di beberapa tempat lain dorang kumpul kong kubur di sini,” kata Bode dengan gaya bertuturnya yang halus namun meyakinkan.
Sebelum memasuki Wanua Lelema,Tim E Man berhenti sejenak di lokasi resting area yang dibangun pemerintah Kabupaten MInahasa selatan. Sembari melepas lelah, Tim E Man menikmati menu makan siang berupa dua bungkus kue Pia yang sempat dibeli Mner Fredy di Wanua Woloan. “Sungguh besar kasih Opo Empung, sehingga kita boleh menikmati Pia deng aer Mineral ini siang,” kata Frisky dengan wajah yang tampak bangga.
Waktu sudah menunjukkan pukul 13.30 WITA saat kami menginjakkan kaki di Wanua Lelema, tepat di ujung sebelah Utara Wanua dimana batu menhir berdiri tegak. Setelah mengamati secara cermat dan mendiskusikan batu yang sering dibicarakan sebagai “batu bertumbuh” itu, Tim E Man memutuskan untuk mencari tua-tua wanua agar bisa mengorek informasi lebih banyak mengenai keberadaan batu tersebut.
“Menurut cerita orang tua, batu itu sebenarnya berasal dari daerah Tombariri. Salah seorang dotu di sana pernah mengadakan sayembara, sapa yang boleh mo dapa angka itu batu, dia boleh kaweng deng tu dotu pe putri. Dan yang berhasil mengangkat batu itu torang pe dotu. Ada lagu yang dikenal masyarakat yaitu lagu “Burung Putih di Laut Biru” yang menceritakan tentang pesan torang pe dotu pa burung putih supaya kase tau di Lelema bahwa dia so berhasil angka itu batu kong dapa putri,” terang Opa Festus Rompis, sembari menegaskan keyakinannya bahwa tidak benar kalu batu itu bertumbuh. “Jadi, ini batu sebenarnya batu Tumotowa. Ini Lelema depe cerita, tiga kali pindah tampa. Waktu Tumani pertama kali di sini. Setelah itu pindah di daerah kobong pece skarang di daerah Selatan kampung skarang. Mar, karna sering dapa gangguan deri ketang (Kepiting), para dotu memutuskan untuk pindah lagi di daerah tenga kampung yang skarang. De pe Batu Tumotowa katiga skarang masih ada. Itu batu baku sei deng dua waruga yang menurut cerita adalah waruga dotu yang meninggal waktu perang melawan Mangindanau”.
Opa Rompis menjelaskan kalau kata Lelema itu sebenarnya berasal dari bahasa Tombulu palemaan yang artinya tempat makan pinang. Diikisahkannya, dahulu ketika perang Minahasa degan Bolaang Mongondouw begelora,termasuk saat perang dengan Mangindanau, daerah tersebut merupakan tempat persinggahan para dotu untuk beristirahat sambil makan pinang. Mereka yang singgah dan beristirahat itu, ada yang akhirnya menetap. Makanya, daerah Lelema dihuni oleh turunan para dotu dari Tolour, Tombulu, termasuk Tontemboan yang lebih dahulu berada di wilayah itu.
Mengapa para dotu sering bertarung melawan para Mangindanau di wilayah ini ? Menurut Opa Rompis, dahulu sungai yang melewati Wanua Lelema adalah jalur masuk para Mangindanau ke daerah pegunungan Minahasa. Makanya para dotu Minahasa menjadikan Lelema sebagai daerah untuk mengahadang mereka. Salah satu bukti, adalah dengan ditanaminya beberapa wilayah di sekitar sungai dengan tanaman Bambu berduri yang dikenal masyarakat dengan Bulu Tutunean, untuk menghambat perahu para Mangindanau.
Berdasarkan petunjuk yang diperoleh dari Opa Rompis, Tim E Man melanjutkan pencaharian waruga dan batu Tumotowa yang katanya berada di tengah Wanua Lelema kini. Waruga yang berjumlah dua buah dengan batu Tomotowa dimaksud ternyata mudah ditemukan karena tepat berada di samping jalan raya. “Dulu katu ada nenek Sorongan yang ja urus tu Tumotowa itu. Dia kwa kata dulu sering ja dapa mimpi kong dapa suru mo jaga tu batu. Karna kalu nda mo jaga, torang di Lelema mo susah dapa berkat deng gampang mo dapa macam-macam kesusahan. Mar tu nenek kwa so mati dua taong lalu. Kalu tu dotu yang se badiri ini kampung, de pe waruga ada di seblah rumah sini. Tu dotu Mapaliey ini yang menurut cerita dia yang angka tu batu di ujung Lelema,” kata Om Sinyo Mira, salah seorang warga yang tinggal di samping waruga-waruga tersebut.
Dari info Om Mira, Tim E Man kemudian melihat secara langsung waruga Dotu Mapaliey yang terletak di depan rumah Om Max Rembang. Menurut cerita warga, dotu Mapaliey juga adalah dotu yang mendirikan Wanua Tumpaan.
Tak terasa, mentari semakin menghampiri pembaringannya di ufuk barat. Tim E Man pun memutuskan untuk mengahiri ekspedisi kali ini dan kembali ke steleng di Tomohon. Jalur terdekat yang kemudian dipilih untuk menjadi jalan pulang adalah jalur Tangkuney, Timbukar, Tincep, Sonder, Tomohon. Jalur ini memang paling dekat namun merupakan jalur yang paling menantang untuk dilalui. Sebab, selain kondisi jalan yang sangat memperihatinkan, jalur ini juga terkenal dengan tanjakan yang berkelok-kelok dan himpitan dinding batu dengan jurang yang terjal. Disamping itu, Tim E Man juga bisa menikmati keindahan air terjun Timbukar dan Tincep yang memang luar biasa namun belum dikelolah dengan baik, termasuk nikmatnya kopi dan kukis apang yang memang sudah menanti di rumah keluarga Wowor yang ada di Sonder.
Situs-situs yang dijumpai Tim E Man, barangkali hanyalah benda mati berwujud batu. Namun, seperti kata Fredi Wowor, itu adalah penanda tentang banyak hal mengenai To Minahasa. Batu-batu dengan bentuk dan goresannya telah memberi gambaran bahwa jauh sebelum sekarang, Tou Minahasa telah memiliki kebudayaan yang luar biasa. Dari penanda-penanda inilah bisa ditemukan kisah-kisah heroik, keperkasaan, kecerdikan, serta kereligiusan Tou Minahasa yang tak pernah di catat dalam sejarah Indonesia dan kini mulai hilang dari memori Si pemilik.
Salah satu nama yang sering di dengar dalam ekspedisi kali ini adalah Gubernur Worang. Sosok ini brangkali adalah sosok yang kontrofersial dan sebagai manusia barangkali memiliki banyak kekurangan. Namun, apa pun yang mau dikatakan Tou Minahasa saat ini, tak bisa dibantah bahwa dia adalah slah satu Tou Minahasa yang berjasa dalam dalam upaya untuk menemukan dan menjaga situs-situs budaya Tou Minahasa. Ini tentu berbeda dengan Gubernur Sulut lainnya yang terkesan lebih menyukai membangun situs-situs baru ketimbang menemukan, menjaga dan mengangkat situs-situs budaya yang pernah ada.
0 komentar:
Posting Komentar