This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 22 Juni 2010

Dari Foro, Sungai Yordan sampai Maesa Tondano

Catatan 22 April 2010 (Waktu Hari Bumi)

Oleh Rikson Ch. Karundeng

Ayampun masih enggan turun dari peraduannya, namun para ibu dan anak-anak sudah memulai sebuah gerakan perjuangan demi kehidupan. Perjalanan selama beberapa jam sambil menerjang bukit-bukit berbatu adalah rutinitas yang biasa mereka jalani hingga 3 kali sehari. Antrian panjang adalah sebuah tahap selanjutnya yang harus dinikmati untuk bisa mengambil air dari Sungai Toiro yang semakin hari semakin sedikit dan semakin kecoklatan.

Salah satu potret kehidupan masyarakat Afrika. Foto National Geographic Edisi April 2010

Pemandangan ini adalah sesuatu yang sepertinya tak pantas bagi manusia, namun itulah kenyataan yang harus dialami masyarakat Desa Foro, di distrik Konso di barat daya Etiopia. Pemandangan ini hanyalah satu potret dari begitu banyak tempat di dunia ini yang kini menyajikan pemandangan serupa.

Sementara masyarakat di Afrika melawan ganasnya gurun agar dapat mengantri untuk mendapatkan setetes air kotor, masyarakat di wilayah Israel, Yordania dan Palestina harus melewati “ritual bertikai” demi menyentuh Sungai Yordan. “Dari jendela depan kami dapat memandang bahwa kami bisa melintasi lembah cokelat kering itu hingga ke barisan tumbuhan hijau kelabu yang menandai aliran Sungai Yordan. Ya, untuk sesaat airnya tampak bisa dijangkau. Tapi untuk sampai ke tempat itu aku harus melompati pagar listrik, menyeberangi ladang ranjau, dan melawan tentara Israel," ujar Salamah. 
Sungai Yordan tempat Yesus Dibaptis. "Sungai ini sepertinya tak lagi damai seperti yang dikisahkan dalam Alkitab"

Pandangan mata anak-anak Waleta Minahasa harus tiba-tiba teralih sejenak dari layar kaca tatkala Greenhill Weol jatuh saat berlarian untuk mendapatkan air di ruang belakang Sekretariat Gerakan Minahasa Muda. “Gila lei ini, sedangkan satu tetes so nda ada apa lei satu ember for di WC”, teriak Green dengan wajah terlihat sedikit panik.

“Bos, menurut warga di Perum Maesa UNIMA ini, so deng taong dorang da alami ini. Tiap hari bataria pa PDAM cuma nda ada hasil. Dulu kata boleh ja pi lari ambe aer di bawah mar skarang tu mata aer itu so kurang depe aer kong dorang so tutu lei. Jadi bukang cuma satu kali dorang da kawowoian kong nda ada aer sama deng angko da peragakan ini,” kata Rikson, disambut gelak tawa anak-anak Waleta Minahasa yang sebuk di meja redeaksi sambil menyaksikan tayangan televisi.

Beberapa menit berselang, seorang lelaki dengan kemeja biru muda masuk sambil menggenggam beberapa lembar kertas. “Mo ba tagih. Napa tu rekening aer,” katanya dengan nada enteng.

“Sebagai masyarakat yang hidop di negara hukum, torang tau atoran. Torang tau mana hak deng mana tu kewajiban. Mar bagimana lei ini, selama satu bulan ini torang nda pernah ada aer biar cuma satu tetes. Torang pe hak nda dapa mar torang pe kewajiban bayar aer torang tetap laksanakan. Cuma tu kewajiban itu kurang ja kase pa Tanta Nel di muka, deri biar saribu satu ember, tetap torang ja dapa aer pa dia,” terang Rikson.

“Oh, nda ja dapa aer dang di sini ? Nanti kita kase tau di kantor,” jawab orang berseragam itu, mengulang kata-katanya bulan sebelumnya, sambil berlalu begitu saja.

Masalah air ternyata bukan bukan cuma soal sulit mendapatkannya, ketersediaan air tidak sebanding dengan jumlah penduduk, masalah pencemaran air, tapi barangkali juga terkait dengan kebijakan pemerintah, seperti yang terjadi di Kota Air Tondano. Biarpun air melimpah namun kenyataannya banyak masyarakat yang masih sulit mendapatkan air bersih. Ironis memang, tapi itulah yang dialami masyarakat, diantaranya di Perum Maesa Tondano. 

Masalah air terus menerus menjadi problematika yang sulit dipecahkan. Penghematan air pun sulit dilakukan karena merasa bahwa air adalah sesuatu yang terus menerus ada dan tidak akan habis. Faktanya adalah jumlah total air yang ada di bumi saat ini relatif sama dengan saat bumi ini tercipta. Yang berubah hanyalah bentuk dari air tersebut dalam siklus air yang berlangsung terus menerus. “Jadi air yang dipakai mandi oleh Lumimuut dan Toar, boleh jadi sama dengan aer yang samantara Chandra Rooroh da pake for minum di Tonsea sana,” Sela Green, saat mendengar Ompi yang begitu asik membaca dengan suara nyaring buku bejudul Bumi Kita.

Akan tetapi dari semua air tersebut, hanya 3% saja yang merupakan air tawar dimana 97% lagi adalah air asin. Dari 3% ini juga terbagi-bagi lagi dengan es, air tanah dan air permukaan. “Depe masalah adalah bagimana dengan jumlah air yang konstan ini, barangkali torang harus benar-benar menyayangi penggunaannya dan tidak membuang percuma. Torang banya buang aer percuma for cuci tangan, mencukur, minum yang tidak dihabiskan, mandi, deng laeng-laeng. Ini aer tantu musti trus ada for torang pe anak dan cucu supaya dorang boleh dapa kehidupan yang sama deng kita sekarang,” terang Ompi.

“Mar Bos, baru-baru Kepala Bagian Pengendalian Pencemaran Badan Pengelolah Lingkungan Hidup (BPLH) Sulut, Olvie Ateng, da bilang kalau Danau Tondano yang memiliki luas sekitar 4.278 hektar yang berlokasi di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut), mengalami degradasi daerah tangkapan air akibat kerusakan lingkungan. Angko tau apa depe maksud deng depe hubungan deng tong pe cirita ?” tanya Green, sembari melanjutkan informasinya “Danau Tondano itu sumber kehidupan di Minahasa. Itu ukuran. Sedangkan Danau Tondano pe basar boleh kring depe aer, bagimana tu sumber aer laeng ?”

Sesuai dengan data resmi dari BPLH sulut, kerusakan lingkungan di seputaran danau Tondano terjadi akibat dampak pemanasan global, illegal loging, kebakaran, konversi hutan, pertambangan golongan C, sehingga berdampak pada erosi dan sedimentasi. Akibat adanya degradasi lingkungan di danau itu, kondisi kedalaman danau kini tinggal 20 meter dari permukaan, dibanding tahun 1934 sekitar 40 meter dan tahun 1983 sekitar 27 meter. Berarti dalam setahun telah terjadi pendangkalan sekitar 25-30 sentimeter.
Danau Tondano dilihat dari puncak tampusu. "Masa Depan Tou Minahasa"

Menurut Green, bila kerusakan lingkungan tidak dihentikan, diperkirakan sebelum 50 tahun kedepan danau tersebut sudah mengalami kekeringan. "Ini kalu mo ambe dasar deri perhitungan BPLH, so nda lama danau Tondano kring. Mo lia ini soal, musti ada peran multi stakeholder, nda boleh cuma mo berharap pa satu pihak. Kalu soal program konkrit, mantap lei sto sama deng Om Bert Polii da bilang, tanang seho banya-banaya di seputaran danau. Depe manfaat ganda," jelas Green, mengkritisi data BPLH Sulut yang sedang didiskusikan.

“Butul itu bos, apalagi Daerah Aliran Sungai (DAS) Danau Tondano memiliki manfaat besar pada upaya pemenuhan kebutuhan manusia, seperti sumber air bersih melalui PDAM ke Kota Manado sebanyak 25.296 pelanggan. Kemudian sumber distribusi listrik PLTA Tonsea Lama sekitar 14,4 Megawatt (MW), PLTA Tanggari Satu 18 MW, PLTA Tanggari II 19 MW, PLTA Sawangan 16 MW. Di sektor perikanan ada produksi ikan sekitar 534 ton. Bahkan bisa menyuplai air ke 3.000 hektar sawah padi di seputaran danau. Blung lagi depe prospek di sektor wisata," sambung Rikson.


Kepala Badan Pengelolah Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Tondano, Widiasmoro Sigit, pernah menegaskan kalau Danau Tondano terancam dangkal atau kekeringan, karena kurangnya penanggulangan lingkungan dari pemerintah dan masyarakat. Menurutnya, masyarakat terkesan kurang serius menangani persoalan di Danau Tondano yang bisa berakibat penurunan debit air secara signifikan.

“Guna menanggulangi masalah di Danau Tondano, perlu ada konservasi secara berkesinambungan dengan meminimalisir terjadinya erosi dan sedimentasi sungai dan danau, menurunkan nilai parameter Total Suspensi Solid (TSS) dari 433-534 mg/lt menjadi <50mg/lt. Meningkatkan luasan daerah resapan dengan melakukan reboisasi lahan-lahan terbuka/kritis, merevitalisasi lahan-lahan kritis pada kawasan lindung,” kata Sigit ke salah satu media masa di Sulawesi Utara beberapa waktu lalu.

Air merupakan unsur utama bagi hidup di planet yang bernama bumi. Manusia mampu bertahan hidup tanpa makan dalam beberapa minggu, namun tanpa air ia akan mati dalam beberapa hari saja. Dalam bidang kehidupan ekonomi modern, air juga merupakan hal utama untuk budidaya pertanian, industri, pembangkit tenaga listrik, dan transportasi.

Semua orang berharap bahwa seharusnya air diperlakukan sebagai bahan yang sangat bernilai, dimanfaatkan secara bijak, dan dijaga terhadap pencemaran. Namun kenyataannya air selalu dihamburkan, dicemari, dan disia-siakan. Hampir separo penduduk dunia, hampir seluruhnya di negara-negara berkembang, menderita berbagai penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan air, atau oleh air yang tercemar. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, 2 miliar orang kini menyandang risiko menderita penyakit murus yang disebabkan oleh air dan makanan. Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian lebih dari 5 juta anak-anak setiap tahun.

“Sumber-sumber air semakin dicemari oleh limbah industri yang tidak diolah atau tercemar karena penggunaanya yang melebihi kapasitasnya untuk dapat diperbaharui. Kalau torang nyanda mengadakan perubahan radikal dalam cara memanfaatkan air, mungkin saja suatu ketika air tidak lagi dapat digunakan tanpa pengolahan khusus yang biayanya melewati jangkauan sumber daya ekonomi bagi kebanyakan negara,” terang Green.

Banyak orang memang memahami masalah-masalah pencemaran dan lingkungan yang biasanya merupakan akibat perindustrian, tetapi tetap saja tidak menyadari implikasi penting yang dapat terjadi. Sebagian besar penduduk bumi berada di negara-negara berkembang; kalau orang-orang ini harus mendapatkan sumber air yang layak, dan kalau mereka menginginkan ekonomi mereka berkembang dan berindustrialisasi, maka masalah-masalah yang kini ada harus disembuhkan. Namun bagaimanapun masalah persediaan air tidak dapat ditangani secara terpisah dari masalah lain. Buangan air yang tak layak dapat mencemari sumber air, dan sering kali tak teratasi. Ketidaksempurnaan dalam layanan pokok sistem saluran hujan yang kurang baik, pembuangan limbah padat yang jelek juga dapat menyebabkan hidup orang sengsara.

Siapa yang akan menyelamatkan Bumi Kita ???

Tayangan televisi soal bumi, air dan segala persoalannya, telah berakhir. Namun hal tersebut bukan pertanda bahwa penderitaan masyarakat di Foro, sekitar Sungai Yordan sampai di Perum Maesa Tondano, sudah berakhir. Bagi, anak-anak Waleta Minahasa, barangkali ini sebuah kesempatan baru untuk memulai perhatian dan tindak nyata perlindungan bagi air demi masa depan anak-cucu mereka.

“Ini aer di bumi memang banya mar depe soal lei banya. Danau Tondano banya depe potensi mar depe soal lei banya. Kong sapa mo atasi ini soal ?” Tanya Ompi yang direspons dengan ekpresi ‘baku haga’ anak-anak Waleta Minahasa. “Mudah-mudahan tu manusia di dunia nda cuma baku haga sama deng ngoni waktu lia ini persoalan”.


Selamat Hari Bumi !!!

Tempo

Oleh Rikson Karundeng

Deri Nyaku
Voor se karoong…..
Voor Denni, Chandra deng Andre......

Dapa inga waktu dulu eeee....


Brapa pulu taong lalu, masih ja dapa dengar gilingan milu
Brapa puluh taong lalu masih ja dapa lia cukuran kalapa
Barapa puluh taong lalu amper siang tambor mapalus kase bangong orang
Tanta-tanta pagi-pagi baku minta api voor mo momasa di dodika
Kalu abis beras samua baku kase


Dua taong datang, dodika bagini kurang mo cari di museum

Skarang samua itu kurang sadap ja inga…..
Skarang dong bilang itu so kuno
Dunia kata so ba putar


Dong bilang kata ini oma deng opa punya. Kalu torang so break dance,,,


Skarang so jam ampa amper siang Alo masih di Warnet da ba OL
Utu masih da kongko-kongko di leput sama-sama deng cap tikus stenga
Deri tu dua puluh botol stengah so rubu
Kong napa keke' baru pulang deri depe tampa karja


Dapa inga, ja ba kost mar tetap blanja di Super Market. Biar mama so susah, tetap jaga gengsi kata...

Tu tambor skarang kurang Fredi ja pake. Hehehe...


Tambor so nda ja dapa dengar
Yang ada piring pica tanta Unggu da banting
deri om Kale' baru ta sopu
Kong tanta Mien so nimbole pi minta api
deri samua birman pe pagar so lima meter
kong di atas botol pica deng kawa duri ta hias gagah
Skarang lei kalu mo minta bras dong kase mar tetap tulis di nota bon

Skarang memang so nda rupa dulu……

Napa no dorang tu Alo-Alo. Siang malang Ol trus.



Sepenggal kisah dari perjalanan Ziarah Kultura Waleta Minahasa

Oleh: Rikson Karundeng

Setelah melewati Gerbang Besar, kita akan memasuki pintu khusus menuju makam.

Sedikit info ini untuk membayar hutang kepada Bung Teddy Kholiludin (Sahabat saya yang keturunan KH Hasan Maulani). Sory baru bisa dikirim skarang. Kebetulan baru-baru ini saya dan Denni Pinontoan memandu sejumlah sejarahwan, antropolog, sosiolog, budayawan, pekerja seni dan sejumlah mahasiswa Pariwisata UNIMA, dalam rangka Ziarah Kultura Majalah Waleta Minahasa ke sejumlah situs budaya dan tempat-tempat bersejarah di Minahasa khususnya di Kota Tondano. 
Papan ini berada di samping kanan Pintu Masuk ke Makam.

Dalam ziarah kultura kali ini kami menyempatkan diri mengunjungi Makam Kyai Modjo, Pahlawan Nasional KH Ahmad Rifa'i, termasuk Sang Pejuang KH Hasan Maulani. Kunjungan ke makam Kyai Modjo dan para pengikutnya (termasuk makam istri-istri mereka yang asli Minahasa), termasuk sejumlah pejuang yang dianggap "ekstrimis" oleh Belanda waktu itu, benar-benar mengesankan. Selain karena kompleks makam yang telah ditata sedemikian rupa sehingga terlihat indah dan sejuk sampai bisa membuat para pengunjung nyaman dan sangat menikmati suasananya, tapi juga informasi-informasi yang diberikan Juru Kunci Makam Arbo Baderan yang merupakan keturunan ke enam dari Kyai Sepok Baderan (Pengawal khusus Kyai Modjo yang memiliki hubungan darah dengannya).
Tim Ziarah Kultura berfoto bersama di sejumlah makam yang dipagar khusus. Makam Kyai Modjo, Kyai Pulukadang Reksonegoro, Kyai Sepoh Baderan, Elias Zes, Mbah Gading, Kyai Marjo, Mas Peke, Dadapan Melangi, Kemes Pulukadang, Kyai Gozali (Anak Kyai Modjo) dan istrinya Ingkingan Tombokan.

Seperti catatan sejarah, Perang Jawa berkecamuk padat tahun 1825 – 1830. Tokoh penting yang tak bisa dipisahkan dari peristiwa ini adalah Bendoro Raden Mas Antawirya atau yang kita kenal dengan Pangeran Diponegoro. 
Makam Kyai Modjo (Ditutupi Kain Putih)

Singkatnya, 28 Maret 1830 Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April. Pada tanggal 11 April 1830 Diponegoro sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno diputuskan akan dibuang ke Manado. 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam sampai akhirnya tahun 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan hingga wafat di Makasar pada 8 Januari 1855.
Makam KH Ahmad Rifa'i dalam sebuah bangunan khusus di samping makam Kyai Modjo dkk.

Sebelumnya, pada tahun 1829 Sang Panglima Perang Kyai Modjo serta lebih dari 50 pengikutnya yang kesemuanya laki-laki, telah dibuang ke Manado oleh Belanda. Setelah "penangkapan" oleh Belanda pada 17 Nopember 1828 di dusun Kembang Arum, Jawa Tengah, Kyai Modjo dibawa ke Batavia dan selanjutnya diasingkan ke Tondano - Minahasa (Sulawesi Utara) hingga wafat di sana pada tanggal 20 Desember 1849 dalam usia 57 tahun. Ikut bersama beliau dalam pengasingan di Tondano adalah satu putranya (Gazaly), 5 orang kerabat dekat – ada pertalian darah (Tumenggung Reksonegoro Kyai Pulukadang, Tumenggung Zess Pajang, Ilyas Zess, Wiso/Ngiso Pulukadang, dan Kyai Baderan/Kyai Sepuh) serta lebih dari 50 orang pengikut lainnya yang semuanya laki-laki. Istri beliau menyusul ke Tondano setahun kemudian. Merekalah yang kemudian menjadi cikal-bakal masyarakat yang kini dikenal dengan Jawa Tondano (Jaton) dan termasuk salah satu titik yang menjadi cikal bakal kehadiran Islam di Tanah Minahasa.

Para pengikut Kyai Modjo yang semuanya laki-laki, rata-rata menikah dengan perempuan asli Minahasa. Ini bukan hanya bisa dibuktikan dengan data tapi juga melalui sejumlah makam yang berada di kompleks makam Kyai Modjo tersebut.

Makam KH Hasan Maulani

Tondano juga ternyata menjadi tempat dimana sejumlah tokoh gerakan perlawanan tehadap Belanda dibuang, diantaranya KH Ahmad Rifa’i dari Kendal dan KH Hasan Maulani dari Kuningan. Makam mereka kini berdiri tepat di samping makam Kyai Modjo dan diantara makam para pengikut Kyai Modjo serta istri mereka yang asli Minahasa. 

Beberapa catatan menarik yang sempat saya dapatkan dari sejumlah sumber tertulis termasuk hasil wawancara dengan Prof. Dr. A.F. Sinolungan, kehadiran Kyai Modjo dan para pengikutnya di Minahasa (perjumpaan Islam dan Minahasa) tidak pernah mengalami benturan. Sikap Kyai Modjo dan pengikutnya serta sifat terbuka Orang Minahasa telah memuluskan perjumpaan itu. Hukum Besar Hedrik Supit sebagai kepala Walak TondanoTolimambot bahkan memberikan tanahnya dengan sukarela bagi Kyai Modjo dan pengikutnya (Walaupun waktu itu hendak dibayar pemerintah Belanda). Lahan tersebut merupakan lahan terbaik yang ada di Tondano. Di tengah lahan itulah kemudian didirikan Mesjid Kyai Modjo Kampung Jawa Tondano.
Sejumlah makam para pengikut Kyai Modjo

Sesuai data, saat Kyai Modjo masuk ke Tondano, masyarakat Tondano belum Kristen walaupun telah ada para penginjil yang masuk ke sana. Yang menarik, menurut Prof Sinolungan, saat gedung gereja pertama akan dibuat di Tondano, para pemuda Jaton (waktu itu pengikut Kyai Modjo), ikut membantu dengan cara bersama-sama mengambil kayu di hutan Makalonsow sebagai bahan dasar pembuatan gedung gereja.
Bersama sang Juru Kunci, Arbo Baderan yang merupakan keturunan ke-6 dari Pengawal khusus Kyai Modjo, Kyai Sepok Baderan.

Paling terakhir Bung Tedi, sesuai data dan juga informasi yang didapat dari Juru Kunci Makam Kyai Modjo, Eyang Bung Tedi, KH Hasan Maulani adalah salah seorang yang tidak menikah lagi di Minahasa hingga meninggal dunia.

Barangkali ini dulu cerita saya, kalau ada yang kurang boleh kita diskusikan lagi.

Makam dr Istri Haji Tayib yang bermarga Wenas. Beliau merupakan salah satu Oma dari Pendeta A.Z.R. Wenas (Mantan Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa)

Minggu, 11 April 2010

Tuama, Sukma dan Diskusi Mawale

Oleh Rikson Childwan Karundeng
Danau Tondano dilihat dari Puncak Tampusu

Perbukitan Maesa Unima Tondano tampak penuh geliat, dari Blok A No.18, bertuliskan GERAKAN MINAHASA MUDA, terdengar alunan syahdu “Oh Ina Ni keke” dari sepasang X tech Super Woofer speaker yang mungil. Tapi Sang surya seakan tak peduli dan terus mendekati pembaringannya. Tiba-tiba weker menari sambil mendentangkan lonceng tiga kali. Sukmapun terkejut dan segera mengusik raga Si Tuama yang asik dengan tarian jemarinya di atas keyboard SPC usang. “Hei, mo ka Sonder torang ato nyanda ? So jam tiga ini Tuama !” Tendangan itu direspons Tuama yang secepat kilat mengarahkan krusor ke titik merah bertuliskan Turn Off.

Jaket kulit beraroma tiga macam (Casablanca, Daia plus Keringat) yang selalu setia menemani Tuama, langsung lengket di badannya dan dari luar, Shogun 125 menatap Tuama seakan dia tahu kini saatnya ia mengemban tugas selanjutnya. Saat tombol starter di tekan, stir hendak diarahkannya ke Tomohon, namun tiba-tiba Sukma menyelanya “Iko Gunung Tampusu jo torang. Selain dekat, torang lei boleh menikmati keindahan Tanah Minahasa dari sudut yang kadang Tou Minahasa ambe”.

Penuh gairah sukma berpacu dan sesekali ia meledek si Shogun 125 “Se lia angko pe jago,” dan Si Tuama mulai memainkan tali gas seolah memaksa mereka untuk bergegas menerjang pegunungan Tampusu dari wilayah Romboken. Betapa terpukaunya sukma tatkala puncak Tampusu ditaklukkan dan Tuama memalingkan wajahnya ke arah Danau Tondano. “Ternyata Danau Tondano memiliki pesona tersendiri kalu torang mo lia dari wilayah pegunungan Tampusu, ruwarrrrrr biacaaaa…..”, decak sukma dibalas anggukan Si Tuama seolah memahami betul apa yang dirasakan sukma.
Lembah Minahasa Tengah. 
Tampak Soputan tertutup awan.

Setelah sedikit memacu ke depan si Shogun, sukma kembali tersentak ketika Tuama sedikit mengarahkan pandangannya ke kiri dan tampak hamparan perkebunan Tou Minahasa di lembah yang luas di wilayah Minahasa Tengah, dengan lukisan Gunung Soputan di belakangnya. Wilayah yang menggoda mata itu memaksa Tuama menginjak rem dan berhenti sejenak untuk mengabadikan karya Agung Opo Empung itu. Tepat di ujung pandangan mata di ufuk timur, Pegunungan Lengkoan yang tampak masih perawan ikut juga memancarkan pesonanya.
Pegunungan Lengkoan dilihat dari 
Wanua Kasuratan.

Saat hendak menuruni lembah Tampusu menuju Wanua Leilem, Shogunpun kembali berhenti, “Stop bos ! Nyaku yakin ini bukang tampa ba teru akang Cap Tikus, soalnya depe pipa basar-basar. Oh nyaku tau, ini lokasi eksplorasi PT Pertamina Geothermal Lahendong,” Kata Sukma dan kembali di balas dengan anggukan oleh Si Tuama. “Angko tau Tuama, menurut yang nyaku tau, di sini kata tersimpan energi setara dengan 313 megawatt listrik. Haa, pembangkit listrik tenaga panas bumi ini so beroperasi deri taong 1996. Pembangkit listrik geothermal ini ka tiga di Indonesia setelah Kamojang, Jawa Barat, deng Sibayak, Sumatra Utara. Mar kata, sampe skarang pengolahan potensi geothermal di Lahendong, belum sepenuhnya tuntas. So itu pengeboran masih terus dorang ja lakukan. Dong bilang kata, uap panas bumi yang Pertamina Geothermal da gale, dorang salurkan ka pembangkit listrik negara wilayah Sulut. Depe kapasitas sebesar 60 ribu megawatt yang dialirkan mencakup amper 40 persen kebutuhan listrik masyarakat Sulut. Mantap to ? Mar lebeh mantap waktu lalu ada masyarakat da ba demo lantaran tako jang ini wilayah jadi sama deng di Lapindo. Oh rekey, kalu butul jadi, deng Fredi Wowor pe Sonder ona’ boleh ta tutu, hehehe….”
Kompleks Sumur PT Pertamina Geotermal 
Lahendong di atas Wanua Leilem (Di sebelah selatan Waua Tondangow)

Di sekitar lokasi Pertamina Geothermal Lahendong, ada juga sebuah kompleks bangunan yang bagian depannya bertuliskan Pabrik Gula Aren Masarang. “Ha…kalu ini pabrik ja menghasilkan berbagai jenis produk. Waktu tahap awal dorang konsentrasi di tiga jenis gula. Pertama gula semut, karena harga ekspor tertinggi, baru gula merah cetak, kong gula kristal Aren mas. Khusus untuk produksi gula kristal aren murni melalui proses modern di pabrik ini, merupakan yang pertama kali di dunia. Hasil sampingan pabrik adalah pati, ragi, dan molasses. Molasses dijadikan lagi ethanol, minuman obat, rum, kecap, makanan ternak, medium jamur, kompos, dll. Sehingga sama sekali tidak ada sisa produksi atau sampah dari pabrik ini. Proses pembuatan gula sendiri pula sama sekali tanpa menggunakan bahan kimia seperti di proses gula tebu. Waktu lalu nyaku dengar, untuk produksi satu shift karyawan, dapat dihasilkan 3 ton gula per hari yang berasal dari sekitar 26.000 liter nira segar per hari. Sebenarnya kata, persediaan nira di Tomohon saja masih jauh lebih besar. Untuk dapat menampung produksi yang jauh lebih besar pabriknya akan diperluas dengan dana dari Menkokesra, sehingga produksi pabrik akan mendekati 15 ton per hari dan lebih dari 10.000 lapangan kerja baru akan tercipta. Mantap, apalei dorang giat deng program penanaman aren. Ini tantu Om Bert Polii deng Om Frangky Maramis stuju skali. Mar, ta dengar skarang kata ini pabrik da ta brenti sementara. Ato lama wona kang ? Depe jelas ngoni tanya jo langsung pa Tanta Syeni Watulangkow ato pa Om Willy Smits. Angko ja dengar lei da ja bilang Tuama ato so nda ? Soalnya angko so dapa lia manganto. Capat jo dang jang tu tamang-tamang Mawale Movement somo ba tunggu lama !”
Pabrik Gula Aren Masarang
Lokasi Pengeboran Minyak Bumi oleh pertamina, tapi tidak 
dilanjutkan karena banyak alat rusak, termasuk bor patah. 
Fredy bilang, menurut kepercayaan masyarakat di lokasi tersebut 
memang tidak boleh sembarang diutak-atik.

Waktu telah menunjukkan pukul 16.00 Wita saat Si Tuama dan Sukma memasuki Wanua Sumonder. Maksud mereka hendak mengabadikan Lembah Sonder Bawah saat sunset, sayang langit mendung seakan belum memberi mereka kesempatan “Sabar jo Tuama jang kecewa, satu kali torang mo dapa tu moment terbaik itu,” kata Sukma seakan menghibur Si Tuama yang memang tampak sudah mulai lunglai. Namun, Si Tuama kembali bergelora saat memasuki rumah keluarga Wowor yang telah dibangun sejak tahun 1955 itu, tatkala melihat Fredy Wowor (Makawale), Ompi Stlight dan Ian (Amurang) beserta Denni Pinontoan (Tomohon) telah menanti dengan riang. Belum lagi, kopi hangat dan pisang goroho rubus yang tampak memang sudah menanti Si Tuama dan sukma. “Tabea !” sebuah sapaan hangat yang didorong Sukma, keluar dari Si Tuama.
Ini salah satu Perpustakaan Mawale Movement 
yang ta bongkar koleksi Fredy Wowor. Ini so amper 10 ribu judul.

Tak berapa lama, Greenhill Weol (Tareran) Chandra Rooroh (Treman) Charli Samola (Kalawat), Billi Manoppo (Manado Tua), Alan Umboh (Bitung), Inggrid Pangkey (Manado), Jendri Koraag (Koha), Bodewyn Talumewo (Poopo Motoling), Karlos Pesik (Sonder), ta sopu di lokasi tampa diskusi Mawale Movement 9 April 2010.
Suasana Diskusi. Billy, Charly, Green dan Fredy.

Kopi semakin dingin namun diskusi Mawale mulai bergulir semakin hangat. Malai dari mengkaji buku Iones Rakhmat "Membedah Soteriologi Salib" tentang Yesus Historis. Pertanyaan dan pernyataan yang muincul dari topic ini adalah, membedah soteriologi salib sama dengan membedah kekristenan (Barat) itu sendiri! Ketika soteriologi ini berhasil diruntuhkan dan dinyatakan tidak absah, maka apakah kekristenan juga runtuh dan menjadi tidak absah? Ya, kekristenan yang berfondasi pada soteriologi salib memang runtuh; tetapi penulis buku ini menurut Denni Pinontoan, membangunnya kembali dari keruntuhannya dengan mengajukan soteriologi-soteriologi alternatif yang tersedia dan yang tetap setia pada Yesus dari Nazaret. Pukul 18.00 Wita, topik berganti ke soal Pergerakan Pemuda GMIM kini hingga kelanjutan “Skolah Mawale” yang rencananya bulan berikut akan di gelar di Lewet Amurang.
Suasana Diskusi. So lebe Panas. Bode, Fredy, Karlos, Alan, Inggrid, Jendri.
Suasana Diskusi. Jendryi, saki kapala, Ompi Stres, Denni Tegang.

Dikusi semakin hangat ketika salah satu aktifis Mawale yang kini giat dengan YDRInya, Andre GB tiba dari Bolaang Mongondow. Nama Giroth Wuntu kembali diperbincangkan waktu mendiskusikan Buku Andre yang segera akan terbit "Menganyam Cerita dari Benang Kebisuan" yang berisi tentang kesaksian-kesaksian para eks PKI, kajian HAM. Perdebatan karena perbedaan pendapat, sejumlah fakta dan data terungkap hingga usulan-usulan yang direkomendasikan untuk Andre, cukup menguras energi. Diskusi terpaksa harus berhenti pukul 3.30 pagi mengingat ada yang harus melanjutkan aktifitas pagi itu dan diksusi berakhir dengan gelak tawa ketika Andre dan pasukan Mawale yang lain mulai membayangkan kondisi anggota Mawale 50 taong datang (Kalu umur panjang, hehehe…) Yang paling parah bahwa saat itu ternyata Fredy Wowor belum juga menikah dan masih terus bercinta dengan buku-bukunya yang kini hampir 10 ribu judul, sedangkan Green Weol masih kata ba tona’ trus deng Angga. Sementara Andre telah menikah ke enam kali dan masih dengan orang yang sama. “So ngana tu manusia paling soe, kaweng brapa kali dengan perempuan yang sama !” Canda Weol menutup kebersamaan Mawale saat itu, sebelum akhirnya semua terlelap seperti ikang roa di kamar pa Fredy.

Tu cerita ada banya lei, mar nanti tu tamang2 laeng tambah akang jo………
Napa tu Ikang Roa. Hehehe....Pis Tuari !!!

My Beautiful Land

Oleh Rikson Karundeng
For Katuari Waya di seberang sana.........

Surise 04.45 AM: Pulau Lembe, Gunung Klabat dan Dua Sudara, menatap Kota Bitung. Dari Puncak Temboan Rurukan torang lei ikut menatap.


Dari Puncak Temboan, tampak Cot di atas Kumelembuai Tomohon bersahut-sahutan dengan Klabat dan dari jaoh Pante Manado tersenyum.
 
Bak Teterusan ia berpekik " I....Yayat U...Santi !
Dan Waranei itu membelah gelap berselimut kabut
Melintasi Mahawu yang masih membisu


Dengan gagah Pegunungan Lembean berucap: "Apa kabar kekasihku Danau Tondano, Slamat Pagi Tondano, Slamat Pagi Minahasa"
 
Nafsu memburunya tuk menaklukkan Temboan
Tak ingin ia melepaskan sang kekasih beranjak dari pembaringannya
Nafas menderu semakin merangsang hasrat
Dan satu desahan kelegaan
memeluk asanya yang kini orgasme


"Pagi Bae !" Masarang bilang.
 
Di atas rumput permadani embun...
Di depan mata Masarang......
Dalam awasan Lembean....
Kening sang kekasih di balik Lembe' dikecupnya
dan sang kekasih tersenyum dengan sinarnya


Denni, Rikson, Green dan Sang Mentari. Dari blakang Kamera Ompi bilang: "Nda Rugi Mawale tidor jam satu bangong jam stenga ampa"
 
Klabat dan Dua Sudara hanya tersipu menatapnya
Dano Tourano hening tak berujar....
Dalam kalbu ia dendangkan "Oh Minahasa Kinatoanku"


Torang Pe Cirita

Tadi pagi Torang bacirita....

DUA SUDARA : Klabat, ngana do' pe gagah skali, pe tinggi, dapa lia damai...

KLABAT : Mar ngoni dua lei pasung, kong salalu baku sayang. Mantap !

MASARANG : Kalu kita dang weta' ?

KLABAT : Angko lei dapa lia pasung. Tanya jo pa Lembean !

LEMBEAN : Tu'u ! Torang samua lebe pasung kalu so sama2 deng Danau Tondano dg Pante Manado.

MENTARI : Tiap kita bangong, langsung rasa dame ja lia pa ngoni. Pasuuuuung skaliiyanan. Semoga ini Tanah Malesung Dame deng pasung salalu.

GREEN : Kalu kita, Ompi, Rikson deng Denni dang ?

MENTARI : ???????????? Hehehe.....bakusedu katu. Biar ngoni blung cuci muka, tetap pasung lei.

Minahasa Amazing: Dari Zaman Pra Sejarah, Sejarah hingga Minahasa Modern


Oleh Rikson Karundeng

Sang surya dengan gagahnya berdiri tegak di atas langit sambil membakar sebuah benda berbentuk bulat bernama bumi yang berada tepat di bawahnya. Jauh di bawah sana, tampak sejumlah Tou Muda Minahasa dengan bendera Mawale Movement sedang menari dihadapan Liquid crystal display (LCD). Otak tiba-tiba memeritahkan tangan mereka untuk segera mengklik tombol mouse dan menghentikan perjalanan keliling dunia sebab keindahan Danau Tondano telah menanti mereka.
Daerah Benteng Moraya saat Perang Tondano. Tampak dari kejauhan wilayah Minawanua yang ditumbuhi pohon Tewasen.

Dengan penuh semangat Green, Rikson, Denni dan Bodewyn meninggalkan GMM (Gerakan Minahasa Muda) Net di Pusat Gerakan Muda Minahasa puncak Maesa UNIMA Tondano. Ekspedisi Kamis, 1 April 2010 kali ini diawali dengan mengamati secara langsung kompleks Benteng Moraya dan Minawanua yang kini berada di sebelah selatan Wanua Roong Kecamatan Tondano Barat. “Disinalah tempat Tou Minahasa yang gagah berani merancang strategi, mengangkat senjata dan berjuang tanpa takut melawan bangsa asing demi mempertahankan harkat dan martabat Tou dan Tanah Adat Minahasa pada tahun 1661-1664, 1709-1711 dan 1808-1809. Di sekitar Minawanua ini banyak waruga, sayang sudah banyak yang diobrak-abrik. Bahkan ada yang sudah diangkat oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Ini kwa kalu pemerintah tata, boleh dapa lia mantap, ” terang Bodewin Talumewo sambil mengarahkan kameranya ke sebuah hamparan rawa yang luas di hulu sungai Tondano.
Gereja Tua Watumea (1872). Di atas mimbar gereja inilah Johann Frederik Riedel sering mengabarkan Injil.

Perjalanan Tim Ekspedisi Mawale mengitari Danau Tondano yang indah kemudian dilanjutkan ke arah Kecamatan Eris. Satu per satu wanua-wanua di pesisir timur danau Tondano mulai terlewati, mulai dari Wanua Toliang Oki yang terkenal dengan industri furniturenya yang menakjubkan, Ranomerut, Tandengan dan Eris yang terkenal dengan Karamba Mujairnya, dan perjalanan Tim Mawale akhirnya terhenti di sebuah bangunan tua yang ada di Wanua Watumea. “Gereja Tua Watumea ini adalah satu dari dua gereja tertua di Minahasa. Selesai dibangun pada tahun 1872 dan ditahbiskan oleh Ds. H. Rooker pada Minggu 8 Desember 1872, jadi umurnya saat ini sudah 138 tahun,” kata Kostor Joubert Kawengian sambil menunjukkan beberapa bagian gedung gereja yang sudah ada sejak gereja itu dibangun seperti Mimbar, lonceng, termasuk kursi rotan buatan Austria yang masih digunakan hingga kini.
Baki Roti dan Cawan Perjamuan Kudus, Wadah Air untuk Baptisan dan Tempat Persembahan berusia 138 tahun hingga kini masih digunakan di gereja Tua Watumea .

Waktu telah menunjukkan pukul 14.00 Wita, dan kini Tim Mawale telah memasuki Wanua Telap. Perjalanan tiba-tiba terhenti tatkala mata Denni Pinontoan menangkap sebuah benda yang tampaknya telah terekam sebelumnya dalam memorinya. “Stop Tuama, co ngoni lia tu lonceng da tagantong di sei rumah tua sana. Depe model sama deng tu di Watumea kang ?”. Pertanyaan Denni inipun mengusik hati untuk segera mencari jawabannya.

“Itu lonceng kita pe tau kamari so ada. Soalanya dulu torang pe rumah ini gereja kong tu lonceng itu ada di sini. Sebelumnya tu lonceng itu kata deri gereja pertama di Telap yang ada di blakang pa torang ini,” kata Opa Tinangon yang kini telah berusia 87 tahun dan tinggal di wilayah Telap Tua atau Lama. Menurut informasi yang diperoleh Tim Mawale, lonceng itu sudah ada sejak tahun 1830, ketika gereja di Wanua itu pertaman kali dibangun.

Salah satu tujuan Tim Mawale dalam ekspedisi kali ini sebenarnya adalah mengunjungi situs Wengkang-Gerungan yang terletak di hutan dengan jarak kurang lebih 5 km dari Wanua Telap. Situs itu berada di ngarai yang dalam disamping sungai kecil. Batu yang bentuk permukaannya datar kurang lebih panjang 5 Meter dan lebar 4 meter. Diatasnya tertoreh dua bentuk contour manusia yang lebar bahunya 95 cm dan panjang tubuhnya hampir 250 cm. Sayang, waktu sepertinya tak memungkinkan lagi bagi Tim untuk mengunjungi Batu Pinatik itu.

Wengkang dan Gerungan adalah dua orang sahabat karib yang tercatat sebagai dua orang tokoh yang terlibat secara langsung dalam perang heroik antara Bolmong dengan Minahasa pada tahun 1606. Gerungan saat itu adalah Kepala Walak merangkap Teterusan Walak Toudano dan Wengkang adalah pemimpin para waraney dari Kakas. Menurut kisah yang diperoleh dari penduduk sekitar bahkan sejumlah literatur, bentuk tubuh yang tertoreh adalah dotu Gerungan dan temannya Wengakang. Secara bergantian Wengakang tidur di batu dan Gerungan menoreh batu hanya dengan jarinya mengikuti contour tubuh Wengakang dan sebaliknya Gerungan tidur dan Wengakang menoreh batu dengan jari telunjuknya sedalam satu setengah cm. Kelihatannya itu dibuat sebagai tanda persahatan mereka berdua. Tapi sayang situs tersebut telah banyak di rusak pengunjung dengan menatah batu serta menulis nama tanggal dan lain-lain.

Tak sempat ke batu pinatik Wengakang-Gerungan, Tim Mawale tetap tak ingin menyianyiakan kehadiran di Wanua Telap. Tim pun bergerak menuju sebuah bukit yang menjorok ke danau Tondano di Wanua tersebut. Dari bukit itu tampak jelas luas wilayah perkampungan Wanua Telap sementara di arah Barat, tampak Danau Tondano yang indah yang dikelilingi pegunungan mengagumkan. Lebih dari itu sebenarnya, di bukit kecil ini terdapat Batu Meja. Daun meja dari batu dengan tebal kurang lebih 15 cm dan memiliki panjang 1 meter serta lebar 60 cm ini bentuknya tidak beraturan. Daun meja ini ditopang kaki meja dari batu-batu berbagai ukuran. Diantaranya ditoreh bentuk muka dotu Gerungan dan Wengkang, yang bentuk mukanya sama dengan wajah yang tertoreh di Batu Pinatik. Menurut cerita, daun meja batu yang berat itu dibawa dari daerah Batu Pinatik dengan hanya ditenteng (di kele) oleh kedua kepala walak yang dikenal berpostur tubuh raksasa itu.
Batu Meja di Telap (1606). Di tempat ini biasanya Dotu Wengkang dan Gerungan bercakap-cakap sambil mengintai keberadaan musuh.

Pukul 15.15 Wita, Tim Mawale melanjutkan perjalan dan berhenti sejenak di Wanua Tasuka, dimana Ex pelabuhan pesawat amphibi masa Jepang masih berdiri kokoh. Menurut cerita, di masa Perang Dunia II, para opsir bawahan KNIL sersan Efron Paat, sersan Paul Pinontoan, sersan Mo’e, sersan Daniel Timbongol, kopral Herman Lowing, dan spandri Cornelis Wahani, memimpin tiga brigade pasukan Reservekorps yang dibebani tugas menjaga pangkalan udara amfibi Tasuka.

Kini, dermaga itu adalah salah satu sudut terbaik untuk menikmati keindahan danau Tondano dan sekitarnya. Eks pangkalan udara yang dibangun pada masa PD II sebagi tempat mendaratnya pesawat jenis Katalina atau Albatros itu, kini sehari-hari digunakan sebagai tempat bermain anak-anak sekitar.
Anak-anak Wanua Tasuka menikmati sore sambil mandi di sekitar dermaga Tasuka yang dibangun masa PD II.

Dari Wanua Tasuka, Tim Mawale baron Kakas ke waruga Lalamentik, kubur Majoor Inkiriwang, dan berhenti lagi di Wanua Paso. Dua kendaraan roda dua itu berhenti tepat di depan gedung gereja GMIM Immanuel Paso. Tempat ini adalah satu kawasan yang oleh kalangan arkeolog disebut sebagai sampah kerang Paso. Situs yang terletak di Wanua Paso Kecamatan Kakas ini berisi sisa-sisa buangan sampah manusia purba Minahasa, yang oleh peneliti asal Australia, Peter Bellwood, diperkirakan berusia 8.000 tahun. Disebut sampah kerang, karena tumpukan yang kini mengeras berasal dari sisa cangkang renga dan kolombi yang dikonsumsi masyarakat Minahasa purba yang mendiami tempat itu. Selain kerang, Bellwood menemukan sisa-sisa tulang berbagai jenis hewan seperti babi hutan (Sus sp), anoa (Bubalus sp), burung, kelelawar kecil, tikus dan ular patola (Phyton sp). Diduga, manusia purba Minahasa mendiami lokasi itu selama ratusan tahun. Sisa-sisa cangkang kerang dibuang ke lsquo;tempat pembuangan akhir rsquo; yang akhirnya menumpuk dan mengeras, seluas 30 meter dengan kedalaman satu meter.

Satu hal menarik yang dijumpai Tim Mawale, masyarakat sekitar mengisahkan bahwa sejak dahulu di lokasi tersebut terdapat sebuah batu yang tidak boleh diusik sebab jika diangkat, dipercaya akan mengeluarkan air panas. Makanya, untuk mengamankan lokasi tersebut, disepakati masyarakat untuk membangun gedung gereja di atasnya. Letak batu yang dimaksud, menurut warga kini berada tepat di bawah mimbar dalam gedung gereja GMIM Imanuel Paso. Hem…….

Tim Mawale sebenarnya bermaksud hendak mengunjungi sebuah goa yang terletak di Wanua Sinuian dan sejumlah situs budaya yag ada di Romboken. Namun, gelap malam yang semakin pekat memaksa tim untuk mengurungkan niat tersebut. “Situs di wilayah Romboke kan banya skali. Jadi, torang memang perlu waktu satu hari fol mo cari tu situs-situs itu,” Kata Greenhill Weol.

“Bagimana kalu ziarah kultura di situs-situs budaya di sekitar Romboken torang ambe satu hari berikut,” usul Bodewin Talumewo yang langsung disetujui semua anggota Tim Ekspedisi Mawale.

Perjalanan Tim Mawale kali ini memang sangat berbeda dari biasanya. Sebab sepanjang jalan, Tim juga bisa menikmati keindahan Wanua-Wanua yang telah didandani dengan berbagai ornament khas perayaan Jumat Agung dan Paskah. Salib-Salib berbagai ukuran dan bentuk terpampang di mana-mana. Kata Denni Pinontoan, mudah-mudahan pemandangan ini tidak ditangkap sebagai bentuk kekerasan. “Hahaha….hihihi….wkwkwk…” itulah respons anggota Tim tatkala mendengar celutukan Denni itu. Walaupun dalam hati mereka juga ikut berpikir.

“So banya skali situs baru da muncul di pinggir jalan. Kalu tu Tou Minahasa pe smangat begini sama deng dorang pe smangat mo menjaga deng melestarikan situs budaya termasuk nilai-nilai budaya Minahasa, tantu torang pe Tou deng Tanah Minahasa somo lebeh mantap,” ujar Green dengan nada guyonan.
“……………………………..,” ungkapan Green ini disambut dengan ekspresi diam oleh anggota Tom Mawale yang lain.


Banyak kisah-kisah menarik terkait sejarah, tokoh dan mitos yang diperoleh Tim Mawale terkait situs dan lokasi yang dikunjungi dalam perjalanan mengeliligi danau Tondano, namun kisah-kisah selengkapnya dapat anda peroleh di Majalah “WALETA MINAHASA” terbitan Gerakan Minahasa Muda dan Mawale Cultural Center yang rencananya akan dilaunching pertengahan bulan April 2010. Bagimana Tou Minahasa, boleh sampe di sini dulu tu cerita ???

Perjumpaan Dengan Giroth Wuntu

Oleh Rikson Karundeng

Rikson dan Giroth Wuntu dalam suasana perjumpaan yang akrab

Sang Mentari telah memasuki pembaringannya, tatkala Tim Mawale Movement memasuki sebuah rumah sedehana di wilayah Wanua Liningaan Kecamatan Tondano Timur. Bodewin Talumewo yang menginjakkan kaki pertama kali di tangga rumah itu, langsung disambut dengan sapaan akrab KEKE, seorang perempuan Minahasa luar biasa, cerdas, kreatif dan tekun, yang selama ini merawat dan menjaga sosok manusia renta yang dikenal dengan nama GIROTH WUNTU.

"Opa ada teman-teman Mawale Movement mo baku dapa," kata Keke sambil melangkah ke ruangan tamu. Sosok renta itupun tampak dengan sekuat tenaga mencoba berdiri dari tempat pembaringannya seraya menjemput tim Mawale dengan senyuman. “Mari maso ,” ujarnya.

Satu per satu anggota Tim Mawale berjabatan tangan tanda selamat dalam sebuah perjumpaan dengan sosok yang memang sengaja dicari Sabtu, 3 April 2010 malam itu. Kalbu mereka tampak berdecak kagum dan itu terpancar dari ekspresi wajah mereka. Decakan kagum itu muncul saat terbersit dalam pikiran bahwa malam ini luar biasa karena kini mereka berhadapan langsung dengan sosok yang selama ini sering menjadi pokok diskusi karena karya, perjuangan dan kisah tragis yang menimpa dirinya.

“Masih kuat da palia Bung Giroth,” sapa Jendri Koraag.
“Samua orang tau termasuk para tokoh agama di sini bahwa Om Giroth itu bae-bae. Cuma saat inipun kita masih siap fight secara fisik deng sapa saja yang mau mengusik kita pe kehidupan pribadi,” ujar lelaki berusia 89 tahun itu dengan gaya khas Tole Tou Dano.

Percakapan itu adalah awal dari sebuah diskusi panjang antara Tim Mawale dengan Giroth Wuntu, Sang Legendaris yang terkenal dengan sejumlah karya berupa tulisan-tulisan sastra Minahasa, termasuk buku PERANG TONDANO yang tiada duanya. “Saat ini saya bukan PKI tapi sampai saat ini saya masih komunis,” terang Wuntu sembari memperlihatkan sejumlah karyanya yang mengulas tentang pemikiran dan tanggapan kritisnya terhadap Marxisme-Komunisme, Pemerintah Orde Baru hingga masalah Kebudayaan Minahasa.
Tim Mawale Movement

“Nasionalisme kita pahami dengan jelas, Kalau soal agama itu tidak bisa dipaksakan sama seperti Komunisme. Buat apa kita beragama jika kita tidak memahami dengan benar apa agama itu. Yesus pernah mengungkapkan ajaranNya ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri’, itu Komunisme. Bagi saya, Yesus itu adalah Ur Komunis,” Terang Wuntu menanggapi pertanyaan Deni Pinontoan soal tanggapannya mengenai NASAKOM.

……………………………………………………………………
………………………………………

Perjumpaan Tim Mawale dengan seniman, pemahat yang menghasilkan karya-karya mengagumkan itu berakhir saat Om Giroth menunjukkan sejumlah koleksi bukunya terkait Komunisme hingga Minahasa dan Kebudayaan.
Denni Pinontoan di depan sebagian koleksi buku dan patung kayu pahatan karya Giroth Wuntu.

Dalam perjumpaan dengan Giroth Wuntu kali ini, Tim Mawale juga sempat berdiskusi banyak soal Filosofi Si Tou Timou Tumou Tou. Om Giroth telah mengurai aspek historis dan maka dari filosofi Tou Minahasa itu, sampai kritiknya terhadap makna filosofis dari kalimat tersebut yang menurutnya banyak kali salah.
Kalau Tou Minahasa ingin mengetahui banyak apa saja yang diperbincangkan Tim Mawale dengan Om Giroth Wuntu malam itu, boleh dibaca di Majalah “WALETA MINAHASA” terbitan Gerakan Minahasa Muda dan Mawale Cultural Center yang rencananya akan dilaunching pertengahan bulan April 2010. Memiliki majalah WALETA MINAHASA adalah bagian dari partisipasi Tou Minahasa sekalian dalam menunjang Renaisans Kebudayaan Minahasa.

Menelusuri Jejak-Jejak Peradaban Tou Minahasa

Oleh: Rikson Karundeng

Waktu telah menunjukkan lepas pukul 09.00 WITA dan porsi terakhir nasi goreng istimewa racikan Chef Denni Pinontoan telah dituntaskan. Tim Ekspedisi Mawale Movement (Greenhill Weol, Rikson Karundeng, Denni Pinontoan, Fredi Wowor Bodewyn Talumewo dan Frisky Tandayu), dengan penuh semangat meninggalkan Steleng Mawale di Bukit Inspirasi Tomohon untuk memulai agenda touring bertajuk “Menelusuri Jejak-Jejak Peradaban Tou Minahasa“ Senin, 8 Maret 2010.
“Ado minta maaf ta lat ! Kita so pagi-pagi deri Pinabetengan mar pas singgah pa Fredi di Sonder, Tuama kote da asik ba browsing di warnet. Sonder memang cuma kacili, mar warnet di mana-mana, jadi nyaku bingo mo cari ka mana pa dia,” ujar Friski dengan nada low khasnya dan ekspresi “rasa bagitu” khas Tontemboan.

Ungkapan Frisky itu ditanggapi gelak tawa Tim Ekspedisi Mawale Movement (Selanjtnya disingkat Tim E Man) yang lain. Dan cerita itu berlalu seiring berkurangnya tetesan bensin dari tiga kendaraan roda dua yang ditumpangi enam Waraney Mawale Movement itu. Sebelum mengisi bahan bakar di Wanua Woloan, Tim E Man menyempatkan diri untuk melihat dari dekat Waruga Dotu Supit yang berdiri kokoh tepat di depan gedung Gereja GMIM Eben Heazer Woloan. “Dulu waktu ini greja da bangun tahun 90-an, pernah ada rencana mo se pindah tu waruga. Mar, banya jemaat nda setuju termasuk kita. Karna itu kan nyanda menggangu apapun,” terang Om Poluan, yang sehari-hari ditugaskan sebagai Kostor di gereja tersebut.
Waruga Dotu Supit di Woloan


“Depe cerita jelas tentang ini waruga nanti torang baca kong dikusikan di steleng. Soalnya kita pe mahasiswa bimbingan skripsi, baru-baru da biking penelitian tentang itu waruga,” kata Denni sambil mengajak Tim E Man untuk segera melanjutkan perjalanan.

Setelah melewati Wanua Taratara, Ranotongkor, Lolah dan Lemo, 35 menit kemudian Tim E Man telah memasuki Wanua Sarani Matani Kecamatan Tombariri. Udara panas yang tak biasa dinikmati di Tomohon, seakan membungkus erat tubuh, hingga memaksa Tim E Man untuk berhenti sejenak melepas lelah. Jembatan tua yang diperkirakan dibangun sejak zaman Belanda yang terletak di ujung Wanua Sarani Matani menjadi tempat pilihan Tim untuk beristirahat sambil menatap dengan decakan kagum jembatan kayu yang masih berdiri kokoh itu.

Baru saja starter motor dihentakkan, mesin kendaraan harus berhenti kembali tat kala mata Denni Pinontoan menangkap sebuah batu yang direspons otaknya sebagai sebuah waruga. Ternyata benar itu sebuah waruga, sayang terkesan tidak pernah diindahkan sehingga tumpukan pasir dan sampah yang ada di sekitarnya lebih mudah dikenali ketimbang waruga itu. “Itu kwa waruga deri sebelah utara kampung, kong tahun 90-an ada kase pindah di muka kantor kuntua ini Menurut cerita, waruga itu da kubur akang torang pe dotu yang pertama kali buka ini kampung. Torang so nda tau depe nama, mar ini waruga da kase pindah di sini supaya torang boleh mo inga trus pa dia yang ada jasa besar da buka ini kampung,” jelas Feri yang kebetulan sedang mencucui kendaraan di samping waruga tersebut.

Salah satu yang terprogram di otak personil Tim E Man hari itu adalah menemukan parigi (sumur) Pingkan. Hasrat itu kemudian mendorong Tim untuk menelusuri lorong-lorong di Wanua Ranowangko Kecamatan Tombariri. Di salah satu lorong, mata Tim E Man terhenti pada sebuah waruga yang tampak bagian atasnya telah diperindah dengan semen dan telah dimanfaatkan sebagai pampele angin untuk dodika oleh pemilik kios makanan di tempat itu. “Itu kwa waruga dotu Lokon. Salah satu yang bilang pa torang itu dotu Lokon punya, Gubernur Worang. Dia kan dulu ja kampetan. Dulu depe model memang so bagitu mar lantaran so ja ancor depe atas kong dan tahang deng semen sadiki. Di seblah ini lei ada waruga mar waktu saman Worang, dorang da se pindah di puncak Tasik Ria. Waktu itu, Gubernur Worang da tata samua ini waruga di sini. Dia lei yang biking kase bagus tu lokasi di parigi Pingkan yang ada di blakang sana,” terang Om Yan Rengkung, sambil mengarahkan telunjuk ke arah Timur untuk menunjuk lokasi Sumur Pingkan yang dicari Tim E Man.

Om Yan pun langsung mengajak Tim E Man untuk menuju lokasi Sumur Pingkan yang jaraknya hanya sekitar 30 meter dari waruga tersebut. “Menurut cerita, itu Pingkan asli sini. Dulu waktu nona-nona, dia pernah se tanang depe keris di sini. Waktu dia cabu, kaluar aer kong nda pernah brenti sampe skarang. Biar musim panas panjang, deri dulu nda pernah brenti ini aer, malahan ada orang-orang deri Tomohon ja datang ambe aer di sini kalu musim panas. Tahun 1972, ini tampa lei Gubernur Worang da tata. Kebetulan kita salah satu pengerja waktu itu,” tutur Om Yan dengan wajah serius.
Parigi Pingkan


Saat hendak beranjak dari Sumur Pingkan, Green Weol melempar senyum sekaligus tanya ke Rikson Karundeng, “Con, ngana da ba cuci muka tadi ? Fredi, Kiki, Deni, Bode deng kita kwa da cuci muka. Soalnya, menurut cerita masyarakat itu aer di Sumur Pingkan ja biking pasung deng awet muda”.
“He..he..he…kita so nda cuci muka deri kalu mo cuci muka, kita somo lebe bahaya. So itu kita kurang da se basah tu kapala supaya tu otak mo lebeh pasung,” jawab Rikson.

Kira-kira 40 meter dari Sumur Pingkan, Tim E Man menyaksikan secara langsung batu Sumanti yang sudah sering didiskusikan di Mawale Movement. Menurut cerita, lima batu yang berdiri kokoh itu merupakan salah satu tempat ritual Tou Minahasa zaman dulu. “Ini batu kwa so lama. Deri kita pe nenek tua lei so ada ini batu. Mar yang biking ini tampa kwa, Gubernur Worang. Dulu ini di blakang pa torang pe rumah kong akhirnya tu rumah yang se pindah ka blakang,“ terang Om Kaunang, yang selanjutnya menjelaskan kalau tanah itu memang milik keluarga Kaunang sejak dahulu kala.

Waktu teleh menunjukkan pukul 12.30 dan Tim E Man memutuskan untuk segera meninggalkan lokasi dan menuju ke Wanua Lelema Kecamatan Tumpaan Kabupaten Minahasa Selatan. Saat berada di ujung sebeah Selatan Wanua Senduk, Bodewyn Talumewo meminta untuk istirahat sejenak sembari melihat 30-an makam Pejuang Permesta yang terletak di samping jalan raya. “Ini kubur ada 30-an. De pe cerita, waktu tanggal 14 Februari tahun 1960, tetara Permesta menghadang konvoi tentara pusat di sepanjang jalur ini. Dalam pertempuran itu, banyak tentara pusat yang meninggal namun di pihak Permesta, ada 30-an korban. Dorang ini satu Batalion. Lantara di lokasi sini tu paling banya da korban, tu korban di beberapa tempat lain dorang kumpul kong kubur di sini,” kata Bode dengan gaya bertuturnya yang halus namun meyakinkan.

Sebelum memasuki Wanua Lelema,Tim E Man berhenti sejenak di lokasi resting area yang dibangun pemerintah Kabupaten MInahasa selatan. Sembari melepas lelah, Tim E Man menikmati menu makan siang berupa dua bungkus kue Pia yang sempat dibeli Mner Fredy di Wanua Woloan. “Sungguh besar kasih Opo Empung, sehingga kita boleh menikmati Pia deng aer Mineral ini siang,” kata Frisky dengan wajah yang tampak bangga.

Waktu sudah menunjukkan pukul 13.30 WITA saat kami menginjakkan kaki di Wanua Lelema, tepat di ujung sebelah Utara Wanua dimana batu menhir berdiri tegak. Setelah mengamati secara cermat dan mendiskusikan batu yang sering dibicarakan sebagai “batu bertumbuh” itu, Tim E Man memutuskan untuk mencari tua-tua wanua agar bisa mengorek informasi lebih banyak mengenai keberadaan batu tersebut.

“Menurut cerita orang tua, batu itu sebenarnya berasal dari daerah Tombariri. Salah seorang dotu di sana pernah mengadakan sayembara, sapa yang boleh mo dapa angka itu batu, dia boleh kaweng deng tu dotu pe putri. Dan yang berhasil mengangkat batu itu torang pe dotu. Ada lagu yang dikenal masyarakat yaitu lagu “Burung Putih di Laut Biru” yang menceritakan tentang pesan torang pe dotu pa burung putih supaya kase tau di Lelema bahwa dia so berhasil angka itu batu kong dapa putri,” terang Opa Festus Rompis, sembari menegaskan keyakinannya bahwa tidak benar kalu batu itu bertumbuh. “Jadi, ini batu sebenarnya batu Tumotowa. Ini Lelema depe cerita, tiga kali pindah tampa. Waktu Tumani pertama kali di sini. Setelah itu pindah di daerah kobong pece skarang di daerah Selatan kampung skarang. Mar, karna sering dapa gangguan deri ketang (Kepiting), para dotu memutuskan untuk pindah lagi di daerah tenga kampung yang skarang. De pe Batu Tumotowa katiga skarang masih ada. Itu batu baku sei deng dua waruga yang menurut cerita adalah waruga dotu yang meninggal waktu perang melawan Mangindanau”.
Batu Tumotowa Pertama di Wanua Lelema yang juga dikenal dengan "Batu Bertumbuh"

Opa Rompis menjelaskan kalau kata Lelema itu sebenarnya berasal dari bahasa Tombulu palemaan yang artinya tempat makan pinang. Diikisahkannya, dahulu ketika perang Minahasa degan Bolaang Mongondouw begelora,termasuk saat perang dengan Mangindanau, daerah tersebut merupakan tempat persinggahan para dotu untuk beristirahat sambil makan pinang. Mereka yang singgah dan beristirahat itu, ada yang akhirnya menetap. Makanya, daerah Lelema dihuni oleh turunan para dotu dari Tolour, Tombulu, termasuk Tontemboan yang lebih dahulu berada di wilayah itu.
Mengapa para dotu sering bertarung melawan para Mangindanau di wilayah ini ? Menurut Opa Rompis, dahulu sungai yang melewati Wanua Lelema adalah jalur masuk para Mangindanau ke daerah pegunungan Minahasa. Makanya para dotu Minahasa menjadikan Lelema sebagai daerah untuk mengahadang mereka. Salah satu bukti, adalah dengan ditanaminya beberapa wilayah di sekitar sungai dengan tanaman Bambu berduri yang dikenal masyarakat dengan Bulu Tutunean, untuk menghambat perahu para Mangindanau.

Berdasarkan petunjuk yang diperoleh dari Opa Rompis, Tim E Man melanjutkan pencaharian waruga dan batu Tumotowa yang katanya berada di tengah Wanua Lelema kini. Waruga yang berjumlah dua buah dengan batu Tomotowa dimaksud ternyata mudah ditemukan karena tepat berada di samping jalan raya. “Dulu katu ada nenek Sorongan yang ja urus tu Tumotowa itu. Dia kwa kata dulu sering ja dapa mimpi kong dapa suru mo jaga tu batu. Karna kalu nda mo jaga, torang di Lelema mo susah dapa berkat deng gampang mo dapa macam-macam kesusahan. Mar tu nenek kwa so mati dua taong lalu. Kalu tu dotu yang se badiri ini kampung, de pe waruga ada di seblah rumah sini. Tu dotu Mapaliey ini yang menurut cerita dia yang angka tu batu di ujung Lelema,” kata Om Sinyo Mira, salah seorang warga yang tinggal di samping waruga-waruga tersebut.

Dari info Om Mira, Tim E Man kemudian melihat secara langsung waruga Dotu Mapaliey yang terletak di depan rumah Om Max Rembang. Menurut cerita warga, dotu Mapaliey juga adalah dotu yang mendirikan Wanua Tumpaan.
Waruga "Sang Legenda" Dotu Mapaliey, di Wanua Lelema


Tak terasa, mentari semakin menghampiri pembaringannya di ufuk barat. Tim E Man pun memutuskan untuk mengahiri ekspedisi kali ini dan kembali ke steleng di Tomohon. Jalur terdekat yang kemudian dipilih untuk menjadi jalan pulang adalah jalur Tangkuney, Timbukar, Tincep, Sonder, Tomohon. Jalur ini memang paling dekat namun merupakan jalur yang paling menantang untuk dilalui. Sebab, selain kondisi jalan yang sangat memperihatinkan, jalur ini juga terkenal dengan tanjakan yang berkelok-kelok dan himpitan dinding batu dengan jurang yang terjal. Disamping itu, Tim E Man juga bisa menikmati keindahan air terjun Timbukar dan Tincep yang memang luar biasa namun belum dikelolah dengan baik, termasuk nikmatnya kopi dan kukis apang yang memang sudah menanti di rumah keluarga Wowor yang ada di Sonder.

Situs-situs yang dijumpai Tim E Man, barangkali hanyalah benda mati berwujud batu. Namun, seperti kata Fredi Wowor, itu adalah penanda tentang banyak hal mengenai To Minahasa. Batu-batu dengan bentuk dan goresannya telah memberi gambaran bahwa jauh sebelum sekarang, Tou Minahasa telah memiliki kebudayaan yang luar biasa. Dari penanda-penanda inilah bisa ditemukan kisah-kisah heroik, keperkasaan, kecerdikan, serta kereligiusan Tou Minahasa yang tak pernah di catat dalam sejarah Indonesia dan kini mulai hilang dari memori Si pemilik.

Salah satu nama yang sering di dengar dalam ekspedisi kali ini adalah Gubernur Worang. Sosok ini brangkali adalah sosok yang kontrofersial dan sebagai manusia barangkali memiliki banyak kekurangan. Namun, apa pun yang mau dikatakan Tou Minahasa saat ini, tak bisa dibantah bahwa dia adalah slah satu Tou Minahasa yang berjasa dalam dalam upaya untuk menemukan dan menjaga situs-situs budaya Tou Minahasa. Ini tentu berbeda dengan Gubernur Sulut lainnya yang terkesan lebih menyukai membangun situs-situs baru ketimbang menemukan, menjaga dan mengangkat situs-situs budaya yang pernah ada.
Air Terjun Timbukar nan Indah

Kisah Pembredelan Buku di Negeri Yang Bernama Indonesia

NAZI sedang membakar buku yang dianggap berbahaya


Inilah kisah yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan di negeri yang bernama Indonesia: Pelarangan/Pembredelan buku. Hehehe….Kita trus dapa inga tu kisah pembakaran buku yang dilakukan oleh NAZI……..

Sejarah pembredelan buku ternyata akan terus menjadi cerit bersambung dari setiap episode pemerintahan di negeri ini. Tidak jaman orde lama, orde baru, orde reformasi pun masih terus berlangsung. Barangkali cara dan modus pembredelan saja yang sedikit berbeda.

Di era orde lama dan orde baru, pemerintah secara terang-terangan melarang penerbitan sebuah buku yang dinilai bisa meresahkan masyarakat atau berbau SARA. Yang tragis, di era yang namanya reformasi pembredelan buku ternyata masih juga dijumpai. Walau aturannya agak longgar, buku memang bisa beredar, namun secara tiba-tiba buku menghilang dari rak-rak toko buku. Tentu saja kejadian ini banyak menimbulkan rumor dan spekulasi.

Kata sejumlah pengamat yang mengkritisi persoalan ini, yang unik dari kenyataan ini bahwa ternyata pemerintah sampai sekarang masih “trauma” atau sedikit “paranoid” pada setiap bentuk penerbitan buku yang berbau haluan kiri alias komunis. Apa saja yang ada nuansa komunis walau itu hanya berbentuk simbol atau gambar tak ada ampun, buku itu langsung dilarang beredar.

Ini seperti yang dialami dua orang penulis dari Yogyakarta, Rhoma Aria Dwi Yuliantri dan Muhidin M Dahlan. Kedua penulis itu terpaksa gigit jari akibat bukunya yang berjudul “Lekra Tak Membakar Buku”pada 2009 lalu dilarang beredar. Selidik punya selidik, buku itu dilarang karena di sampulnya terdapat gambar palu dan arit sebuah simbol partai komunis. Panulisnya sempat mencabut gambar tersebut dan menutupnya dengan sampul putih, sayang upaya itu tidak menolong.

Satu lagi buku yang dianggap bernuansa komunis adalah tulisan John Rossa yang berjudul Dalih Pembunuhan Massal : Gerakan 30 September dan kudeta Suharto. Buku yang berdasarkan riset dan analisis insiden ini mengungkap kekacauan dan pembunuhan terhadap warga yang dituding sebagai anggota PKI. Menurut buku ini, orang-orang sipil yang melakukan pembantaian adalah orang yang terlatih dan mendapat perlindungan dari aparat. Tentu saja buku ini adalah sebuah hasil riset yang mencengangkan dan bisa menjadi tambahan koleksi buku-buku sejarah kita.

Selain “trauma” atau “paranoid” terhadap buku-buku yang bernuansa komunis ternyata pemerintah Indonesia juga sangat anti dengan buku-buku yang bertema separatis dan ajaran agama. Dari Papua dilaporkan buku-buku tulisan Socrates Sofyan Yoman dari tujuh yang diterbitkan, dua diantaranya dilarang beredar. Kedua buku yang dilarang itu adalah Suara Gereja Umat Tertindas :Penderitaan, Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat harus Diakhiri dan Pemusnahan Etnis Melanesia : Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat.

Kedua buku itu secara implisit mengungkapkan pandangan, harapan serta kritikan kepada pemerintah Indonesia terhadap warga Papua.

Pelarangan terbit buku di era reformasi yang hampir mirip karya George Junus Aditjontro (Membongkar Gurita Cikeas) juga dialami Boni Hargens. Buku Boni yang berjudul “10 Dosa Politik SBY-JK” pernah tiba-tiba hilang di rak-rak toko buku. Setelah beberapa lama, buku itu tiba-tiba muncul, tetapi bersamaan dengan buku yang dianggap tandingannya. Banyak kalangan menilai cara seperti ini sama dengan pembredelan atau pelarangan buku walau dilakukan secara halus.Menurut Boni Hargens, dengan cara seperti ini tentu saja yang diuntungan adalah penulis, karena bukunya menjadi populer dan banyak dicari masyarakat. Sementara dari segi politis, menurutnya pemerintah rugi, karena banyak menimbulkan rumor dan spekulasi.

Pelarangan atau pembredelan penerbitan buku menurut beberapa kalangan adalah bentuk ketakutan atau kegamangan dari pemerintah itu sendiri yang seharusnya tidak perlu terjadi. Harusnya dengan buku bisa dijadikan sebagai sumber informasi atau bahan kritik dalam menjalankan roda pemerintahan. Ketakutan yang dianggap mengganggu ketertiban umum adalah suatu hal yang berlebihan. Bukankah masyarakat kita sudah semakin dewasa dalam hal menyikapi sesuatu ?



Berikut Siaran Pers Kejaksaan Agung tentang Pelarangan Peredaran Barang Cetakan Berupa 5 Buah Buku
Pelarangan Peredaran Barang Cetakan Berupa 5 Buah Buku

Menjawab pertanyaan wartawan terkait pelarangan peredaran buku / barang cetakan oleh Kejaksaan Agung, bersama ini disampaikan siaran pers sebagai berikut :

1. Berdasarkan Annual Report Kejaksaan Tahun 2009 yang telah disampaikan oleh Jaksa Agung RI dan para Jaksa Agung Muda pada tanggal 23 Desember 2009, Kejaksaan Agung telah mengumumkan pelarangan peredaran dan penggandaan barang cetakan berupa 5 (lima) buah buku, yaitu :
a. Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-139/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009 Tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Berupa Buku Berjudul Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, karangan John Roosa, Penerjemah Hersiri Setiawan, Penerbit Institut Sejarah Sosial Indonesia Jl. Pinang Ranti No.3 Jakarta, Hasta Mitra Jl. Duren Tiga Selatan No.36 Jakarta Selatan di seluruh Indonesia.
b. Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-140/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009 Tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Berupa Buku Berjudul Suara Gereja Bagi Umat Tertindas Penderitaan, tetesan Darah dan cucuran Air Mata Umat Tuhan Di Papua Barat Harus Diakhiri, Karangan Socratez Sofyan Yoman, Penerbit Reza Enterprise Jl. Penggalang VIII No.38 Jakarta Timur diseluruh Indonesia.
c. Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-141/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009 Tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Berupa Buku Berjudul Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965, Karangan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, Penerbit Merakesumba Lukamu Sakitku Pugeran Maguwoharjo Jogjakarta, Desain Sampul Eddy Susanto diseluruh Indonesia.
d. Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-142/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009 Tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Berupa Buku Berjudul Enam Jalan Menuju Tuhan, karangan Darmawan, MM, Penerbit PT. Hikayat Dunia Jl. Jatayu Dalam II/5 Bandung, Perwakilan Jakarta : Jl. Kayumanis VII No.40 Jakarta Timur, Pencetak PT. Karyamanunggal Lithomas Bandung di seluruh Indonesia.
e. Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-143/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009 Tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Berupa Buku Berjudul Mengungkap Misteri Keberagaman Agama, karangan Drs. H. Syahrudin Ahmad, Penerbit Yayasan Kajian Al-Qur’an Siranindi (YKQS) Palu Jl. Jambu No.50 Palu Sulawesi Tengah di seluruh Indonesia.
2. 5 (lima) Keputusan Jaksa Agung RI tersebut selain melarang peredaran dan penggandaan 5 (lima) buah buku tersebut juga mewajibkan kepada mereka yang menyimpan, memiliki, dan memperdagangkan barang cetakan tersebut untuk menyerahkan kepada Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri setempat, dan mewajibkan kepada Kejaksaan, Kepolisian atau Alat Negara lainnya yang mempunyai wewenang memelihara ketertiban umum untuk melakukan pensitaan terhadap barang cetakan tersebut dan pelanggaran terhadap Keputusan Jaksa Agung RI tersebut diancam dengan hukuman sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tanggal 23 april 1963 Tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tanggal 5 Juli 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang.
3. Sebagai tindak lanjut dari Keputusan Jaksa Agung tersebut, Jaksa Agung RI telah mengeluarkan 5 (lima) Instruksi Jaksa Agung RI kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Seluruh Indonesia dan Kepala Kejaksaan Negeri Seluruh Indonesia untuk melakukan pensitaan terhadap barang cetakan berupa 5 (lima) buah buku, yaitu :
a. Instruksi Jaksa Agung RI Nomor : INS-002/A/JA/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Buku Berjudul Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, karangan John Roosa, Penerjemah Hersri Setiawan, Penerbit Institu Sejarah Sosial Indonesia Jl. Pinang Ranti No.3 Jakarta, Penerbit Hasta Mitra Jl. Duren Tiga Selatan No.36 Jakarta Selatan di seluruh Indonesia.
b. Instruksi Jaksa Agung RI Nomor : INS-003/A/JA/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Buku Berjudul Suara Gereja Bagi Umat Tertindas Penderitaan, tetesan Darah dan cucuran Air Mata Umat Tuhan Di Papua Barat Harus Diakhiri, karangan Socratez Sofyan Yoman, Penerjemah Reza Enterprise Jl. Penggalang VIII No.38 Jakarta Timur diseluruh Indonesia.
c. Instruksi Jaksa Agung RI Nomor : INS-004/A/JA/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Buku Berjudul Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965, karangan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, Penerbit Merakesumba Lukamu Sakitku Pugeran Maguwoharjo Jogjakarta, Desain Sampul Eddy Susanto diseluruh Indonesia.
d. Instruksi Jaksa Agung RI Nomor : INS-005/A/JA/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Buku Berjudul Enam Jalan Menuju Tuhan, karangan Darmawan, MM, Penerbit PT. Hikayat Dunia Jl. Jatayu Dalam II/5 Bandung, Perwakilan Jakarta : Jl. Kayumanis VII No.40 Jakarta Timur, Pencetak PT. Karyamanunggal Lithomas Bandung di seluruh Indonesia.
e. Instruksi Jaksa Agung RI Nomor : INS-006/A/JA/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Buku Berjudul Mengungkap Misteri Keberagaman Agama, karangan Drs. H. Syahrudin Ahmad, Penerbit Yayasan Kajian Al-Qur’an Siranindi (YKQS) Palu Jl. Jambu No.50 Palu Sulawesi Tengah, Percetakan Trisan Grafika Jakarta di seluruh wilayah Indonesia.
4. Kriteria pelarangan peredaran 5 (lima) buku tersebut didasarkan atas Pedoman/Tolok Ukur yaitu Mengganggu Ketertiban Umum. Pengertian Mengganggu Ketertiban Umum harus dihubungkan dengan dasar-dasar tata tertib kehidupan rakyat dan Negara pada suatu saat seperti merusak kepercayaan masyarakat terhadap pimpinan nasional, merugikan akhlak, memajukan percabulan dan lain sebagainya yang dapat mengakibatkan terganggunya ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan.
5. Termasuk Mengganggu Ketertiban Umum contohnya antara lain adalah barang cetakan yang berisikan tulisan-tulisan atau gambar-gambar/lukisan-lukisan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, GBHN atau sekarang RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang), mengandung dan menyebarkan ajaran/paham Komunis/Marxisme-Leninisme yang dilarang berdasarkan TAP MPRS XXV/MPRS 19966, merusak kesatuan dan persatuan masyarakat, bangsa dan Negara Kesatuan RI, merusak kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan, merugikan dan merusak pelaksanaan Program Pembangunan Nasional yang tengah dilaksanakan dan hasil-hasil yang telah dicapai.
6. Terkait dengan Buku yang berjudul Membongkar Gurita Cikeas : Dibalik Skandal Bank Century, Karangan George Junus Aditjondro, Penerbit Galang Press, Kejaksaan Agung RI belum menentukan sikap karena Tim Interdep yang tergabung dalam “Clearing House” belum memberikan rekomendasi kepada Jaksa Agung RI, saat ini masih dilakukan penelusuran untuk dilakukan penelitian dan pengkajian atas buku tersebut.
Demikian Siaran Pers Puspenkum Kejaksaan RI untuk dipublikasikan.

KEPALA PUSAT PENERANGAN HUKUM

DIDIEK DARMANTO, SH.MH
JAKSA UTAMA MUDA
NIP. 195404291974011001