Oleh: Rikson Karundeng
Sedikit info ini untuk membayar hutang kepada Bung Teddy Kholiludin (Sahabat saya yang keturunan KH Hasan Maulani). Sory baru bisa dikirim skarang. Kebetulan baru-baru ini saya dan Denni Pinontoan memandu sejumlah sejarahwan, antropolog, sosiolog, budayawan, pekerja seni dan sejumlah mahasiswa Pariwisata UNIMA, dalam rangka Ziarah Kultura Majalah Waleta Minahasa ke sejumlah situs budaya dan tempat-tempat bersejarah di Minahasa khususnya di Kota Tondano.
Dalam ziarah kultura kali ini kami menyempatkan diri mengunjungi Makam Kyai Modjo, Pahlawan Nasional KH Ahmad Rifa'i, termasuk Sang Pejuang KH Hasan Maulani. Kunjungan ke makam Kyai Modjo dan para pengikutnya (termasuk makam istri-istri mereka yang asli Minahasa), termasuk sejumlah pejuang yang dianggap "ekstrimis" oleh Belanda waktu itu, benar-benar mengesankan. Selain karena kompleks makam yang telah ditata sedemikian rupa sehingga terlihat indah dan sejuk sampai bisa membuat para pengunjung nyaman dan sangat menikmati suasananya, tapi juga informasi-informasi yang diberikan Juru Kunci Makam Arbo Baderan yang merupakan keturunan ke enam dari Kyai Sepok Baderan (Pengawal khusus Kyai Modjo yang memiliki hubungan darah dengannya).
Seperti catatan sejarah, Perang Jawa berkecamuk padat tahun 1825 – 1830. Tokoh penting yang tak bisa dipisahkan dari peristiwa ini adalah Bendoro Raden Mas Antawirya atau yang kita kenal dengan Pangeran Diponegoro.
Singkatnya, 28 Maret 1830 Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April. Pada tanggal 11 April 1830 Diponegoro sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno diputuskan akan dibuang ke Manado. 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam sampai akhirnya tahun 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan hingga wafat di Makasar pada 8 Januari 1855.
Sebelumnya, pada tahun 1829 Sang Panglima Perang Kyai Modjo serta lebih dari 50 pengikutnya yang kesemuanya laki-laki, telah dibuang ke Manado oleh Belanda. Setelah "penangkapan" oleh Belanda pada 17 Nopember 1828 di dusun Kembang Arum, Jawa Tengah, Kyai Modjo dibawa ke Batavia dan selanjutnya diasingkan ke Tondano - Minahasa (Sulawesi Utara) hingga wafat di sana pada tanggal 20 Desember 1849 dalam usia 57 tahun. Ikut bersama beliau dalam pengasingan di Tondano adalah satu putranya (Gazaly), 5 orang kerabat dekat – ada pertalian darah (Tumenggung Reksonegoro Kyai Pulukadang, Tumenggung Zess Pajang, Ilyas Zess, Wiso/Ngiso Pulukadang, dan Kyai Baderan/Kyai Sepuh) serta lebih dari 50 orang pengikut lainnya yang semuanya laki-laki. Istri beliau menyusul ke Tondano setahun kemudian. Merekalah yang kemudian menjadi cikal-bakal masyarakat yang kini dikenal dengan Jawa Tondano (Jaton) dan termasuk salah satu titik yang menjadi cikal bakal kehadiran Islam di Tanah Minahasa.
Para pengikut Kyai Modjo yang semuanya laki-laki, rata-rata menikah dengan perempuan asli Minahasa. Ini bukan hanya bisa dibuktikan dengan data tapi juga melalui sejumlah makam yang berada di kompleks makam Kyai Modjo tersebut.
Tondano juga ternyata menjadi tempat dimana sejumlah tokoh gerakan perlawanan tehadap Belanda dibuang, diantaranya KH Ahmad Rifa’i dari Kendal dan KH Hasan Maulani dari Kuningan. Makam mereka kini berdiri tepat di samping makam Kyai Modjo dan diantara makam para pengikut Kyai Modjo serta istri mereka yang asli Minahasa.
Beberapa catatan menarik yang sempat saya dapatkan dari sejumlah sumber tertulis termasuk hasil wawancara dengan Prof. Dr. A.F. Sinolungan, kehadiran Kyai Modjo dan para pengikutnya di Minahasa (perjumpaan Islam dan Minahasa) tidak pernah mengalami benturan. Sikap Kyai Modjo dan pengikutnya serta sifat terbuka Orang Minahasa telah memuluskan perjumpaan itu. Hukum Besar Hedrik Supit sebagai kepala Walak TondanoTolimambot bahkan memberikan tanahnya dengan sukarela bagi Kyai Modjo dan pengikutnya (Walaupun waktu itu hendak dibayar pemerintah Belanda). Lahan tersebut merupakan lahan terbaik yang ada di Tondano. Di tengah lahan itulah kemudian didirikan Mesjid Kyai Modjo Kampung Jawa Tondano.
Sesuai data, saat Kyai Modjo masuk ke Tondano, masyarakat Tondano belum Kristen walaupun telah ada para penginjil yang masuk ke sana. Yang menarik, menurut Prof Sinolungan, saat gedung gereja pertama akan dibuat di Tondano, para pemuda Jaton (waktu itu pengikut Kyai Modjo), ikut membantu dengan cara bersama-sama mengambil kayu di hutan Makalonsow sebagai bahan dasar pembuatan gedung gereja.
Paling terakhir Bung Tedi, sesuai data dan juga informasi yang didapat dari Juru Kunci Makam Kyai Modjo, Eyang Bung Tedi, KH Hasan Maulani adalah salah seorang yang tidak menikah lagi di Minahasa hingga meninggal dunia.
Barangkali ini dulu cerita saya, kalau ada yang kurang boleh kita diskusikan lagi.
0 komentar:
Posting Komentar