Menelisik Akar Perang Salib, Membangun Dunia Baru Islam-Kristen
Oleh Rikson Karundeng
Perang merupakan suatu hal yang menjadi tolak ukur kejayaan suatu bangsa dalam system politik kerajaan klasik, itu terjadi di semua daerah, dan hampir semua kerajaan, namun kepentingan kekuasaan seringkali berselingkuh dengan nilai-nilai ketuhanan, sehingga perang atas nama ideologi, membela Tuhan, dan sejuta sebutan lainnya tak pelak lagi menjadi sebuah instrument penting bagi kuasa untuk memotivasi para tentara dan pasukan perang.
Kerakusan, Nafsu Kekuasaan, Keegoisan, ...... dengan mengatasnamakan agama. Membunuh, merampas, memperkosa,.......sesama manusia, benarkah perintah agama ???
Jika mengkritisi Perang Salib dengan berbagai motif (seperti politik dan ekonomi) yang melatarbelakanginya, kita barangkali sepakat untuk menyatakan kalau gagasan perang suci yang terbentuk pada masa itu tak perlu terlalu dibesar-besarkan sebagai perang (antar) agama, sebagaimana yang sering ditafsirkan orang terhadap Jihad dan Perang Salib. Kenyataan memperlihatkan bahwa ketika proses institusionalisasi terhadap perang suci ini terjadi, orang-orang yang berusaha meletakan legitimasi dari perang-perang suci ini lebih menekankan perang sebagai tugas keagamaan untuk merebut kembali dan mempertahankan tanah suci. Dasarnya adalah pola pikir feodalistik. Tanah suci sebagai warisan Kristus bagi umat Kristen. Oleh sebab itu tidak ada anjuran untuk menyerang orang-orang Muslim di luar wilayah Asia Kecil, Syria, dan (terutama) Palestina (kemudian juga Mesir dan Afrika Utara, sebagai pusat kekuasaan Muslim) yang sebelumnya adalah wilayah Kristen. Orang-orang Muslim diserang karena mereka dianggap terlebih dahulu telah merampas hak orang-orang Kristen. Dengan cara ini mereka berusaha memberikan pembenaran atas perang suci. Dan ini berarti bahwa perang ini bukanlah perang agama sebagaimana yang sering diartikan orang di kemudian hari.
Nuansa permusuhan antar agama yang muncul dalam kronik, kotbah, pidato, dan sebagainya dari pihak Kristen maupun Islam pada masa Perang Salib, bisa dimengerti sebagai produk propaganda yang muncul selama masa konfrontasi. Saling menghina dan merendahkan identitas etnis maupun keagamaan pihak lain merupakan bahasa propaganda untuk menonjolkan superioritas dan kemurnian diri sendiri.
Kalau begitu, pertanyaan sekali lagi bagi kita saat ini, apakah Crusaide dan Jihad dalam Perang-Perang Salib benar-benar perang suci ?
Perang Agama adalah istilah yang sering digunakan untuk menunjuk pada pertarungan di antara dua atau lebih kelompok agama. Faktanya faktor agama ternyata bukan satu-satunya alasan terjadinya pertarungan di antara dua atau lebih kelompok agama. Dan istilah ini sendiri sangat menyesatkan, bahkan ketika digunakan untuk menyebut fenomena peperangan di antara berbagai bangsa pada masa lampau.
Baik di pihak Muslim maupun Kristen, perang bukanlah satu-satunya cara dalam mendefinisikan hubungan di antara mereka. Di kedua belah pihak memang selalu ada orang-orang dengan fanatisme sempitnya dan sangat bersemangat memerangi yang lain. Tapi sangat banyak orang yang memilih cara hidup yang lain, yang lebih damai, saling menguntungkan dan bersahabat.
Perang suci merupakan satu bentuk ekstrem dari agama, ketika otoritas agama dibiarkan untuk menjadi satu-satunya unsur penentu. Perang suci muncul ketika orang tidak sanggup berbagi kehidupan dan ingin menguasai yang lain. Jadi, adakah perang (yang sedemikian) Suci ?
Bahasa perang betapapun religiusnya, dan bahasa agama dengan simbolisasi perang sama-sama berbahayanya. Keduanya memelihara paradigma dunia lama yang tidak mau hidup berdampingan (bukan saja secara damai tetapi juga ) di dalam kesetaraan.
Ketika surga menjadi ganjaran bagi para pembunuh umat beragama lain, masih maukah kita masuk ke dalam surga seperti itu? Jika keselamatanku menjadi kebinasaan orang lain, Tuhan seperti apakah yang menawarkan keselamatan seperti itu ?
Perang-Perang Salib telah melahirkan berbagai mitos yang terus mewarnai memori kolektif begitu banyak orang. Peristiwa tersebut bukan saja mempengaruhi pola hubungan antara umat beragama (Kristen dan Islam ataupun Yahudi) saja, tetapi juga pola hubungan antara bangsa hingga kini. Perang Salib telah melahirkan mitos yang berlebihan (sehingga menjadi ideologi perang agama/perang suci) dan de-trauma-tisasi terhadap hubungan yang penuh curiga di antara Islam – Kristen. Pada titik itulah konsep crusade dan atau jihad kemudian mengalami distorsi.
Dari sini barangkali dapat kita sadari bahwa memahami perang salib secara objektif sangatlah penting, terutama untuk memberikan pencerahan dan menumbuhkan kembali rasa saling pengertian antara umat Muslim, Kristen, termasuk Yahudi. Dengan demikian, kita dapat bersikap lebih kritis terhadap mitos-mitos yang selama ini dipelihara oleh masing-masing pihak untuk kepentingan kelompoknya sendiri dan untuk memojokkan pihak yang lain. Proses ini juga dapat menjadi salah satu pendorong bagi upaya-upaya mencari dunia baru atau ruang yang lebih lapang dalam masyarakat ber-(beda) agama untuk hidup bersama dengan lebih baik.
Melihat Kebenaran Agama Dengan Teleskop Yang Tepat
Sebuah catatan awal untuk mewujudkan komunitas dialogis antar agama dalam realitas pluralitas
Oleh: Rikson Karundeng
Thomas L. Friedman, dalam bukunya The World Is Flat, mengungkapkan kalau dunia kini telah memasuki golbalisasi 3.0. Kondisi ini menurutnya, jauh berbeda dengan kondisi dimasa globalisasi 1.0 (masa yang berlangsung sejak 1492 ketika kolombus berlayar membuka perdagangan antara Dunia Lama dan Dunia Baru, hingga sekitar tahun 1800. Proses ini menyusutkan dunia dari ukuran besar menjadi sedang) dan globalisasi 2.0 (masa yang berlangsung dari sekitar tahun 1800 hingga 2000. Masa ini menyusutkan dunia dari ukuran sedang menjadi kecil). Pada tahap globalisasi yang ketiga ini dunia semakin kecil dan datar sehingga semakin memungkinkan individu-individu dengan berbagai latar belakang budaya, agama bahkan warna kulit yang berbeda berjumpa dan ikut bermain dalam dunia yang telah menjadi sebuah kampung kecil ini.
Sejarah telah mebuktikan kalau perjumpaan antara umat beragama yang berbeda banyak kali menciptakan ledakan hebat yang berekses negatif, sehingga perjumpaan itu lebih bisa dikatakan sebagai sebuah benturan. Sikap merasa paling benar mendorong umat beragama tertentu melakukan penganiayaan bahkan pembunuhan terhadap umat beragama lain, sehingga menciptakan konflik antar umat bergama dari skala kecil hingga eskalasinya meluas bahkan menggolbal. Beberap contoh yang bisa kita lihat adalah lahirnya gerakan Ikhwan al-Muslimin, yang dibentuk di Ismailiyah Mesir pada 1927. Karena merasa paling benar, mereka kemudian melakukan penghancuran fasilitas-fasilitas umum dan melakukan pembunuhan, terutama bagi warga asing yang dianggap kafir. Di timur Tengah, konflik antara Israel dan negara-negra Arab tak kunjung berhenti karena ketika persoalan Israel-Palestina di dorong ke wilayah agama, sikap keras hati yang ditunjukan orang-orang yang menganggap komunitasnya paling suci dan komunitas yang menganggap diri sebagai umat pilihan, melanggengkan persetruan ini. Persoalan ini semakin keruh ketika Barat yang dianggap Kristen, ikut mengintervensi. Tidak mengherankan jika Amerika Serikat dan Bangsa Barat yang dianggap Kristen itu sering menjadi target pemboman kelompok-kelompok radikal muslim. Di pihak lain, kelompok Yudaisme fundamentalis, misalnya yang paling terkenal adalah kelompok yang dipimpin Gush Emunim, sering juga melakukan pemboman sebagai serangan balasan bagi orang-orang Arab. Menurut mereka, tidakan tersebut membuktikan ketaatan mereka kepada Yahwe.
Di India pernah juga dicatat, bagaimana sejumlah gerakan Hinduisme dan Buddhisme yang agresif dan merasa paling benar, melakukan berbagai tindakan kekerasan. Salah satu contoh adalah perusakan Masjid Babri di Ayodhya oleh kelompok radikal Hindu. Hal tersebut kemudian memicu perselisihan berkepanjangan antara kelompok Hindu dan Muslim. Sementara, di Sri Lanka, para pendeta Buddha bahkan menjadi pemimpin untuk melakukan kekerasan dan pembantaian bagi umat Hindu dengan dalih untuk memperjuangkan agama mereka sebagai agama yang paling benar.
Di kalangan Kristen, tidak sedikit pula kelompok yang melakukan tindakan kekerasan karena alasan untuk menegakkan kebenaran dan karena merasa paling benar. Salah satu contoh adalah gerakan yang dilakukan kelompok Christian Right di Amerika Serikat.
Apa yang bisa kita lihat dari potret ini ? Steve Bruce dalam Fundamentalisme-nya melihat kalau gerakan-gerakan dalam beberapa potret ini bukan semata gerakan keagamaan tapi ideologi mereka agama. Yang menarik adalah, gerakan-gerakan tersebut mempunyai keinginan yang kuat untuk mengubah dunia secara keseluruhan agar bisa menjadi satu warna, yaitu warna kebenaran yang sesungguhnya seperti warna mereka. Kekerasan bisa dilakukan untuk mencapai tujuan itu dan agama biasanya dijadikan alasan pembenaran bagi tindakan tersebut.
Kondisi dunia di globalisasi ketiga seperti kata Friedman, telah membuat dunia menjadi seperti sebuah kampung kecil. Artinya, masyarakat dunia yang plural semakin dimungkinkan untuk berjumpa dan bermain bersama. Dalam kondisi dunia seperti ini, jika masing-masing kelompok agama yang merasa paling benar kini maih hadir dan ngotot untuk memperjuangkan kebenarannya, apa yang akan terjadi dengan dunia kita ? Mungkinkah Tuhan yang disembah oleh setiap agama yang ada memang menghendaki adanya kekerasan dan kekacauan di bumi yang Ia ciptakan ini ?
Melihat kondisi ini, sepertinya untuk mencapai kedamaian yang sesungguhnya bagi dunia, agama-agama yang ada perlu mereview, merehermenutik dan merekonstruksi paham keagamaan kita, terutama bagaimana kita melihat agama-agama lain yang kita jumpai sehingga kita mampu menemukan hakekat kebenaran agama kita yang sesungguhnya.
Menurut Paul F. Knitter, perjuangan berbagai agama yang semakin getol dan roda globalisasi yang semakin kencang, memang merupakan sebuah fenomena yang melahirkan sebuah tantangan baru bagi sebuah agama. Pluralitas agama sendiri menurutnya bukanlah sebuah fenomena baru, namun kemunculannya dalam berbagai cara menuntut pemikiran baru untuk menghadapinya. Namun terkadang pendekatan baru yang kita upayakan tidak membuahkan hasil seperti yang diimpikan. Hal ini menurut Knitter disebabkan karena kuantitas informasi dan kualitas kesadaran baru kita tentang berbagai agama kini memunculkan sederetan pertanyaan penting yang tidak peranah dihadapi umat beragama di masa lampau karena mereka terisolasi dalam agama mereka masing-masing.
Kesadaran akan pluralitas dari agama-agama, barangkali merupakan kunci bagi agama-agama yang ada untuk berjumpa, bersentuhan dan kemudian menciptakan efek positif bagi upaya membagun kedamaian serta keutuhan dunia ciptaan Tuhan. Kenyataan konkrit membuktikan bahwa kesadaran akan adanya keragaman dan vitalitas berbagai agama telah mendorong banyak orang untuk mengatakan, “Tidak ada jalan satu-satunya bagi semua orang.” Edward Schillebeeckx dalam The Church: The Human Story of God, kepada umat Kristiani mengatakan “Keyakinan teguh yang terus dipegang seseorang sebagai kebenaran dimana yang lainnya salah tidak dimungkinkan lagi sekarang ini.” Artinya, kalau ada yang mengatakan bahwa cara seseorang merupakan satu-satunya kemungkinan yang ada untuk memahami kebenaran agama, berarti ia hidup dalam “zaman yang sesat”.
Melihat pluralitas sebagai suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, Schillebeeckx menegaskan kalau pluralitas bukan hanya satu kenyataan tetapi satu prinsip. Kalau kita menggodok yang “banyak” menjadi “satu”, berarti kita menyakiti diri sendiri dan mengebiri dunia ini. Menurutnya, secara logis dan praktis, multiplisitas lebih penting daripada kesatuan.
Memang ada pendapat bahwa kesadaran akan pluralisme tidak kemudian secara langsung membuat kita mengagungkan diversitas sebab pluraslisme patut kita sadari, bukan juga tanpa masalah. Suatu kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri, sekarang ini banyak persoalan baru muncul sebagai akibat dari usaha agama-agama untuk bekerja sama menyelesaikan masalah. Pertanyaan lain yang muncul, bisakah agama-agama yang banyak ini hidup berdampingan dalam tolerasi, atau justru lebih buruk lagi, berperang satu sama lain, bisakah masalah lingkungan dan kemanusiaan terselesikan ? Namun, konklusi tentang apa arti semua ini bagi umat beragama, telah dijawab Schillebeeckx. Menurutnya, keragaman agama bukan suatu keburukan yang harus dihilangkan, tetapi suatu kenyataan yang harus diterima dan dinikmati oleh semua…..Di dalam semua agama terdapat lebih banyak kebenaran agamis daripada di dalam satu agama.
Agama-agama di dunia sepertinya harus bersatu. Maksudnya tentu bukan dalam rangka membentuk suatu agama tunggal tetapi lebih pada komunitas dialogis dari antara berbagai komunitas. Artinya, ke depan kita tidak lagi sebatas mencitrakan agama pada foto-foto kegiatan umat beragama dalam rumah-rumah ibadah tetapi lebih pada upaya untuk memperteguh sikap dan praktek saling mengemukakan pendapat dan saling mendengar. Di tingkat internasional, suasana seperti ini telah diperagakan oleh ribuan orang di Parlemen Agama-Agama Sedunia di Chicago tahun 1993, di Cape Town tahun 1999 dan di Barcelona pada tahun 2004. Namun, kesadaran seperti yang dibangun komunitas dialogis di tingkat internasional ini tentu bisa menjadi citra yang dapat dilakukan di tingkat lokal atau di lingkungan terkecil dalam komunitas umat beragama.
Knitter mengungkapkan kalau mewujudkan satu komunitas dialogis dari antara berbagai komunitas agama-agama dunia masih merupakan impian daripada sebuah konsep yang jelas. Namun, ketika memaknai lebih jauh impian ini, banyak pemikiran yang kemudian berendapat bahwa hal ini justru bukan hanya mungkin terwujud tetapi juga dibutuhkan. Salah satu contoh, perspektif filosofis yang diungkapkan Knitter dalam bukunya Pengantar Teologi Agama-Agama.
Perspektif filosofis memahami multiplisitas atau pluralitas, penciptaan seagai satu potensi menuju persatuan yang lebih kokoh – walaupun tidak bisa dikatakan dimana potensi ini akan berakhir. Yang banyak diimbau menjadi satu. Namun yang satu ini tidak menghilangkan yang banyak. Yang banyak menjadi satu dengan tetap menjadi banyak, dan yang satu dibawa oleh setiap yang banyak sehingga terdapat kontribusi khusus untuk yang lainnya dan keseluruhannya. Terjadilah satu proses yang mengarah ke konsentrasi yang dapat diserap oleh yang banyak dalam tiap-tiap dan karena itu dalam keseluruhan yang lebih besar juga. Saat individualisme melemah, personalisasi diintensifkan; individu menemukan jati dirinya sebagai bagian dari diri yang banyak lainnya. Jadi ada satu gerakan, bukan menuju kesatuan absolut atau monistik tetapi menuju apa yang bisa disebut “pluralisme yang menyatukan”: pluralitas yang membentuk persatuan. Atau, secara sederhana dan lebih menarik: gerakan itu menuju suatu komunitas dialogis yang sungguh-sunguh, dimana tiap anggota hidup dan berada dalam dialog dengan sesama. Menurut Knitter, visi filosofis ini barangkali bisa berfungsi sebagai satu lensa untuk menfsirkan pengalaman baru pluralisme.
Saat ini, agama-agama di dunia sedang merasakan berbagai kemungkinan terjadinya satu persatuan yang bisa dinikmati bersama melalui hubungan yang lebih baik satu sama lain. Banyak umat beragama kini sadar akan adanya suatu cara yang dinamis dan dialogis dalam usaha memahami diri mereka. Umat berbagai agama terus merasakan adanya tantangan untuk menemukan dan mengembangkan identitas individu mereka dalam komunitas agama yang lebih luas. Kalau begitu apa yang harus dilakukan?
Untuk menciptakan komunitas dialogis antar agama seperti yang diimpikan, barangkali harus kita mulai dengan melihat kebenaran lebih daripada apa yang bisa dilihat menurut perspektif budaya dan agama kita. Artinya bagaimana kita bisa juga melihat kebenaran menurut perspektif agama lain. Kalau kita bisa melihat menurut perspektif sesama kita, walaupun agak janggal dan sulit disesuaikan, kita akan mampu melihat apa yang tidak bisa kita lihat dari perspektif kita sendiri. Semakin berbeda kacamata yang coba kita gunakan, tentu semakin banyak hal baru yang bisa kita lihat. Maksudnya, semakin banyak perspektif yang kita gunakan, semakin banyak visi dan pemahaman terhadap kebenaran yang bisa dikembangkan. Menurut Knitter, kita perlu berbicara kepada mereka yang memiliki teleskop yang lain untuk melihat kebenaran universal dan mendengar dari mereka bukan hanya bagaimana pendapat mereka tentang kebenaran kita, tetapi juga bagaimana pemberitaan tentang kebenaran kita itu mempengaruhi mereka. Mungkin mereka akan memberitahukan bagaimana mereka telah dikucilkan, direndahkan, atau dieksploitasi oleh kebenaran kita.
AJARAN KEKERISTENAN PENYEBAB KERUSAKAN LINGKUNGAN ? Oleh : Rikson Ch Karundeng
Perkembangan teknologi semakin membawa dunia ini kepada kemajuan. Berbagai fasilitas yang tersedia membuat manusia semakin memperoleh kemudahan, kenyamanan hidup dan berbagai hal yang menjadi persoalan di masa lampau, kini bukan merupakan suatu persoalan lagi. Apakah memang demikian ?
Pak Kristian Syalom yang tinggal disamping rumah saya, adalah seorang yang sangat sukses. Hal ini tidak mengherankan karena ia memang seorang pekerja keras dan mampu memanfaatkan berbagai hasil teknologi dengan baik. Tapi dilain pihak ada satu hal yang tidak disadari oleh Pak Kristian dan bahkan tidak disadari juga oleh kita yang hidup di dunia moderen yang terus berlari kencang mengejar berbagai kemajuan. Hal apa itu ? Seiring dengan peningkatan taraf hidup kita, lingkungan hidup kita juga ikut menjadi korban. Kalau memang demikian, So wahat gitu lho ?
Kendaraan bermotor merupakan hasil teknologi moderen yang sangat dirasakan manfaatnya. Kendaraan bermotor itu seperti virus yang terus berkembang dan mulai menyesaki bumi. Dampak yang kita rasakan sekarang ini adalah kadar gas CO2 di udara yang setiap hari kita hirup semakin tinggi. Akibat dari produksi gas CO2 yang terus meningkat itu, hidup di dunia seakan seperti di dalam oven yang semakin lama semakin panas.
Pertambahan penduduk yang terus melaju mengejar perputaran roda bumi, otomatis membuat rumah-rumah penduduk pun terus berkembang dengan pesat. Konsekwensi dari hal itu adalah daerah-daerah yang dulunya hijau kini disulap menjadi jalan-jalan, perum-perum dan berbagai pemukiman penduduk lainnya. Gunung-gunung yang dulunya hijau merekah, kini telah ditumbuhi villa-villa pemuas keinginan pribadi dari manusia-manusia yang meraih sukses di dunia moderen ini. Entah mereka sadari atau tidak, daerah pegunungan itu sebenarnya daerah peresapan air. Hingga tidak mengherankan kalau saat ini sumber air bersih sangat sulit ditemukan dan banjir mulai dinikmati sebagi suatu tradisi, khususnya di kota-kota besar.
Perekonomian yang semakin maju beriringan dengan bertambahnya jumlah sarana industri, seperti pabrik-pabrik. Dampaknya adalah banyak areal sawah serta ladang berubah menjadi pabrik dan saluran airnya berubah menjadi saluran pembungan limbah yang membuat banyak daerah tercemar.
Ulasan dan perbincangan tentang masalah lingkungan di berbagai media, sudah menjadi santapan kita sehari-hari. Hal ini sangat jelas, karena persoalan lingkungan hidup merupakan persoalan keseharian kita. Tetapi sering kali kita kurang menyadari bahwa persoalan ini sudah menjadi persoalan yang sangat serius dalam kehidupan kita. Seperti Pak Kristian Saylom yang setiap hari hanya disibukkan dengan usahanya dan cuek aja dengan persoalan ini. “Persoalan lingkungan itu urusan LSM-LSM. Bagi orang Kristen, kesejahteraan manusia tidak ada hubungannya dengan kelestarian alam atau lingkungan. Kan tidak ada salahnya kalau bumi ini dikorbankan demi kesejahteraan manusia ? Bukankah bumi ini diciptakan untuk manusia, demi kebahagiaan manusia ? Manusia telah diberi kuasa atas bumi ini, seperti tertulis dalam Kejadian 1:28.”
A.E. Schumaher mensiyalir bahwa penyebab terdalam krisis ekologi lebih disebabkan oleh gaya hidup dunia moderen yang berakar pada pandangan (falsafah) hidup dan sikap religius
Lebih jelas lagi Lynn White, Jr. mengatakan dalam tulisannya yang berjudul The Historical Roots of Our Ecological Crisis, bahwa akar (pangkal penyebab) dari kerusakan lingkungan salah satunya adalah ajaran Kekristenan tentang hubungan manusia dan alam.
Jika Linn berbicara langsung pada kita tentang hal itu, pasti kita akan langsung menyanggah pernyataan itu. Karena yang kita ketahui, penyebab langsung dari kerusakan lingkungan adalah pemakaian berbagai hasil teknologi, seperti: mesin-mesin yang menggunakan bahan bakar minyak, bahan-bahan kimiawi yang berbahaya, dan lain-lain. Kita boleh menolak pernyataan Lynn, tapi ketika ia membuat pernyataan itu tentu bukan tidak ada alasan. Bagi Lynn, pandangannya tentang persoalan di atas di tunjang oleh ajaran Kekristenan yang mengatakan bahwa manusia adalah mahkota ciptaan, diciptakan menurut citra Allah. Dan karena itu manusia diberi wewenang untuk menguasai bumi demi kepentingannya. Atas dasar itu, perbuatan manusia yang sewenang-wenang terhadap alam tetap mendapat dukungan. Jadi secara tidak langsung ajaran itu ikut menyebabkan kerusakan lingkungan.
Anda boleh menyangkal tuduhan yang dilontarkan sejarawan ini. Tapi dalam kenyataan ajaran tersebut di atas ikut mendukung atau setidaknya bersesuaian dengan tindakan manusia yang mengeksploitasi alam demi kebahagiaan dirinya.
Kenyataan yang kita hadapi sekarang ini telah membuat banyak mata manusia terbuka. Penebangan hutan yang membabi buta, penggunaan pestisida yang berlebihan dan pembuangan limbah industri ke sungai-sungai, memang mengancam kehidupan manusia. Kini banyak orang mulai siuman bahwa dirinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari alam.
Kita sudah mengetahui apa yang menjadi alasan Lynn White, Jr., ketika ia memberi pernyataan di atas, tapi apakah kita sudah mengetahui apa yang sedang berkecamuk di otak mereka yang menyangkal pernyataan itu ? Mungkin kita perlu juga mendengarkan alasan mereka.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Karel Phil Erari, Doktor asli tanah Papua yang mendalami tentang persoalan Ekologi khususnya di Indonesia, Pendeta di jemaat saya berkata: “Gereja sebenarnya memahami bahwa manusia dibuat oleh Tuhan untuk maksud tertentu, yaitu untuk mengusahakan dan memelihara taman ciptaan Tuhan (Kejadian 2:15). Pada ayat 5 dikatakan bahwa pada mulanya bumi belum ditumbuhi apapun, karena Tuhan Allah belum menurunkan hujan ke bumi dan belum ada orang untuk mengusahakan tanah itu. Jadi perlu ada yang mengelola bumi milik Tuhan, dan manusia diciptakan untuk tugas itu. Dan manusia boleh memakan segala buah dari taman itu, kecuali dari pohon pengetahuan baik dan jahat. Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dikehendaki oleh Tuhan Sang pencipta adalah adanya hubungan timbal balik, yang harmonis, antara manusia dengan bumi atau alam semesta. Manusia dibuat dari bumi (Adam berasal dari bahasa Ibrani Adamah, artinya tanah) dan manusia dibuat untuk mengelolah bumi. Manusia bekerja untuk bumi dan manusia boleh menikmati hasil dari bumi itu. Inilah kondisi yang ideal bagi hubungan manusia dengan alam. Di sini tidak ada pemahaman bahwa alam diciptakan untuk kepentingan manusia saja dan manusia boleh berbuat sewenang-wenang atas alam. Ada batas tertentu yang tidak boleh dilanggar, dan pelanggaran batas itu mendatangkan celaka atas manusia sendiri.”
Mendengar perkataan Pak Pendeta di atas, saya sangat yakin bahwa dia benar-benar memahami dengan jelas ajaran Kristen tentang hubungan manusia dengan alam. Tapi saya berpikir akan lebih baik jika hal itu disampaikan pada semua jemaatnya, sebab seingat saya, sekian kali ia berdiri di atas mimbar, tidak sekalipun ia mengkhotbahkan tentang hal ini.
Kalau begitu, sudah saatnya gereja lebih giat untuk mengajarkan kepada jemaatnya untuk mengadakan pemulihan dengan alam semesta ciptaan Tuhan. Hal ini tentunya bukan dalam rangka ikut-ikutan dengan gerakan pencinta lingkungan, tapi karena keyakinan akan kehendak Allah. Bukan hal yang tidak mungkin jika anggota jemaat kita adalah pelaku-pelaku kejahatan dilingkungannya, hingga kondisi lingkungan kita semakin hari semakin buruk.
Hubungan yang rusak dengan Alam harus dipulihkan kembali. Misi gereja bukan hanya pemulihan hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan Allah, tetapi juga hubungan manusia dengan alam. Karena itu tugas gereja untuk terlibat bahkan menjadi pelopor gerakan cinta lingkungan.
Pernyataan-pernyataan yang mengusik ajaran gereja tentang hubungan manusia dengan alam, tidak perlu kita tolak karena memang demikianlah kenyataan saat ini. Minimal hal itu boleh menjadi cambuk bagi gereja untuk lebih berusaha meluruskan ajaran gereja tentang hal itu, bukan cuma melalui perkataan tetapi tindakan kita yang nyata. Gereja tidak perlu menunggu untuk melakukan hal itu sampai berbagai penyakit aneh telah menghangatkan tubuh segenap umat manusia. Atau harus menunggu sengatan sinar ultra violet menyirami kita, karena menipisnya lapisan ozon dalam atmosfir yang adalah filter bagi bumi. Atau mungkin kita benar-benar harus menunggu Pemilik Bumi ini, memanggil kita untuk mempertanggungjawabkan tugas kita kepada-Nya.
Dari mulut ke mulut tesiar kabar tentang wanua Wulauan yang dihuni para tukang besi yang hebat. Dari karya yang dihasilkan, terbukti kehebatan sentuhan tangan mereka yang laur biasa. Di wanua yang terletak di pinggir Kota Tondano inilah terukir sejarah para pembuat parang dan pisau yang masih terpinggirkan. Merajut hari demi hari dengan bertarung melawan besi, mencurahkan tenaga berbumbu keterampilan, demi masa depan keluarga.
Panas terik sengatan mentari tak mengurungkan niat untuk mengarahkan langkah ke wilayah utara kota Tondano. Sang surya berdiri tegak di atas kepala saat tapak kaki menginjak wanua Wulauan kecamatan Tondano Utara.
Suasana di wanua yang memiliki luas 32 Ha ini memang berbeda, apalagi di siang hari. Di wanua lain, siang hari biasanya begitu tenang sebab sebagian masyarakat beraktifitas di luar rumah sedangkan yang lain memanfaatkan waktu untuk beristirahat. Tapi, waktu yang sama di wanua ini, masyarakat ramai dengan aktifitasnya. Di sana-sini terdengar kebisingan seperti bunyi besi yang ditempa. Sesekali diselingi desingan bagaikan bunyi peluru para cowboy yang mengenai logam tertentu.
Saat mendekat ke salah satu sumber kebisingan itu, tampak dua orang bapak sedang asik bergelut dengan martil, kakatua (penjepit dari besi) dan besi tempaannya. Dari gerakan mereka dan dari irama yang dihasilkan sumber bunyi tersebut, tersirat kalau perkerjaan itu benar-benar membutuhkan tenaga dan ketelitian.
“Selamat siang. Boleh mo baganggu ini ?”
“Mari maso. Jang tarukira ne, bagini kasiang kalu bengkel,” ujar Fred Mantik, sembari menghentikan aktiktifitasnya.
Fred Mantik adalah salah satu dari ratusan pembuat pisau dan parang pada 42 unit bengkel yang ada di wanua Wulauan. Alkisah, aktifitas membuat pisau dan parang di wanua tersebut dimulai pada tahun 1950-an oleh Yan Sumampouw bersaudara.
“Dulu, waktu Om Yan pulang dari Amerika, dia so ja mulai biking piso deng peda. Tu ja baku tulung deng dia, depe sudara-sudara. Orang-orang di sini pertama cuma ja ba kenek pa Om Yan. Lama-lama, serta dorang so tau, dorang so ja ba buka bengkel sandiri,” kenang bapak tiga anak yang biasa di sapa Om Fred ini.
Tou Minahasa yang mengaku telah menggeluti profesinya sejak tahun1974 ini, mengisahkan kalau “dunia tukang besi” telah dimasukinya sejak berusia 14 tahun. Tidak heran, kuwalitas parang dan pisau hasil sentuhan Om Fred, benar-benar tajam, halus dan kuat, gambaran ketekunan dan kematangannya dalam dunia yang telah dijalaninya selama 36 tahun.
“Waktu umur 14 taong kita so ba kenek. Sampe skarang so umur lima puluh taong, masih tetap setia,” ujar Om Fred sembari bergurau kalau ia juga hingga kini masih setia dengan istrinya….dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang telah dijaganya selama 30 tahun.
Berkisah tentang suka dukanya, Om Fred berujar kalau luka lecet sudah tidak dianggap luka bagi mereka. Apalagi, ketika hasil kerajinan mereka terjual dengan harga yang pantas dan biaya kebutuhan hidup rumah tangga bisa terpenuhi.
“Karja bagini kasiang memang rawan kecelakaan mar kalu cuma luka kacili torang so biasa. So itu musti hati-hati kalu ba karja,” kata Om Fred dengan wajah senyum seraya mengatakan kalau setiap malam lelah selalu menjemputnya namun semua itu telah dinikmatinya sebagai bagian dari berkat Sang Khalik.
Bahan baku para tukang besi untuk membuat parang dan pisau adalah beragam besih tua atau besi bekas yang biasanya diperoleh mereka diberbagai tempat dengan harga Rp.5000 per Kg. “Biasa kwa torang ja cari besi fer oto. Tu besi itu torang masih mo toki deng betel selama satu hari. Serta dia so kuat, torang kurang mo panggal sesuai kebutuhan,” jelas Om Fred dengan wajah serius yang menggambarkan kalau proses ini benar-benar menguras tenaga. “Kalu mo beli besi baru di toko kwa mahal. Mo jual brapa kasiang tu peda deng piso ? Mo besi tua ato baru nda talalu soal ley kwa, yang penting tu depe cara mo ba biking.”
Bicara soal pendapatan, para tukang besi di wanua Wulauan ternyata menikmati hasil bervariasi setiap harinya. “Kalu dua orang kenek, kita boleh dapa biking lima belas buah piso ato peda satu hari. Kenek itu, biasa torang ja kase gaji hari limah puluh ribu rupiah. Potong ongkos bahan baku, depe sisa itu no tu for kita. Ya, pokoknya cukuplah for makang keluarga,” ujar Om Fred diiringi desahan nafas yang cukup panjang.
Seorang bapak yang sejak tadi setia menyimak percakapan antara Om Fred dan Kultur, tiba-tiba menyambung. “Dorang pe pendapatan kwa memang beda-beda. Kalu tu peda deng piso dorang mo jual sandiri, paling kurang itu depe harga lima puluh ribu rupiah mar, kalu mo kase pa penampung, cuma dua puluh lima ribu rupiah dorang ja ambe,” sela Om Ari Tombokan, yang mengaku sebagai pedagang keliling hasil kerajinan para tukan besi di wanua tersebut.
“Kita pe umur skarang lima puluh empat tahun. So puluan taong kita ja ba baron jual peda deng piso. Kalu torang so se jalang, biasa piso sampe lima puluh ribu rupiah. Kalu peda, ja sampe seratus ribu rupiah,” ujar Om Ari sembari menjelaskan kalau biasanya ia berdagang parang dan pisau mengelilingi seluruh tanah adat Minahasa bahkan sampai wilayah Bolaang Mongondouw dan Gorontalo.
Menurut masyarakat setempat, hasil kerja para pengrajin biasanya diambil oleh para pedagang keliling seperti Om Ari Tombokan, untuk dipasarkan dengan cara berkeliling ke satu tempat ke tempat lainnya.. Selain itu, di Wanua Wulawan sekarang ini terdapat 6 orang penampung besar. Hasil kerajinan tukang besi yang dikumpulkan para penampung ini, kemudian dipasarkan ke berbagai daerah.
Wanua Wulauan memang sejak lama dikenal sebagai daerah tempat memproduksi pisau dan parang yang berkualitas. Ratusan keluarga dari 376 KK yang ada di wanua ini menggantungkan hidupnya dari usaha tersebut. Sayang, menurut mereka hingga kini tak ada perhatian serius yang diberikan oleh pemerintah bagi para tukang besi di tempat ini.
“Para tukang besi di wanua Wulauan, sebenarnya bisa jauh lebih baik dari kondisi mereka saat ini. Persoalannya, hingga sekarang tak ada yang bisa membantu mereka untuk mengembangkan usaha. Kalau usaha mereka berkembang, mereka tidak akan hanya menikmati hasil kerja mereka untuk makan sehari saja, tapi bisa juga menabung untuk menyekolahkan anak-anak mereka,” ujar Frets Walelang, yang selama ini prihatin dengan kondisi para tukang besi di Wanua Wulauan.
“Kalau bantun pemerintah secara langsung , hingga sekarang ini belum pernah ada. Waktu lalu, PLN pernah memberikan bantuan untuk menunjang para pengrajin. Namun sangat mengherankan, bantuan hanya diberikan kepada orang-orang tertentu yang kebanyakan bukan tukang besi. Sudah bisa ditebak, kalau bantuan yang tidak tepat sasaran ini tidak memberi dampak apapun bagi masyarakat khususnya para tukang besi,” kata Walelang dengan nada kecewa. “Kami masyarakat Wulauan berharap kalau ke depan, pemerintah Kabupaten Minahasa dapat memberikan perhatian serius bagi para tukang besi dan pengusaha kecil lain yang bergerak di bidang ini. Saya percaya, sedikit saja perhatian serius yang diberikan pemerintah, akan memberi dampak yang luar bisa bagi kami”.
Menarik sebuah benang merah dari inti teori Struktur Anthony Giddens ke arah konsep pemikir-pemikir sebelumnya seputar teori tersebut bukanlah sebuah pekerjaan yang singkat. Gagasan yang plural tentang beberapa subjek, serta rentangan kurun waktu sejarah sampai pada zaman Comte misalnya -yang merupakan rentangan waktu yang cukup panjang- yang telah memuat daftar ratusan gagasan para sosiolog dan teoritisi lainnya, turut menambah rumit proses perunutan tersebut. Namun, untuk bisa memahami dengan jelas siapa Giddens dan bagaimana teori strukturnya, maka proses perunutan merupakan hal yang wajib dilakukan. Untunglah, peta perkembangan pemikiran teori Sosiologi yang dibuat Ritzer bisa membantu pekerjaan itu.
Tulisan ini berisi biografi singkat Anthony Giddens, teori struktur dan agennya, serta pembahasan singkat peta perkembangan pemikiran dari Auguste Comte sampai Giddens, ditambah dengan teori terpadu George Ritzer, sebagai perkembangan teori selanjutnya. Tulisan ini sengaja hanya difokuskan pada teori struktur dan agen dengan maksud agar bisa diperoleh gambaran lebih mendalam seputar teori tersebut.
Diakui bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, saran dan kritik sangat diperlukan untuk peningkatan kualitas tulisan ini. Terima kasih
Tomohon, 18 Juni 2009
Riane Elean
NIM. 0708165009
I. Biografi
Anthony Giddens adalah seorang teoritisi sosial Inggris. Ia lahir pada 18 Januari 1938. Karya awalnya bersifat empiris dan memusatkan perhatian pada masalah bunuh diri. Dalam karya-karyanya, Giddens membangun perspektifnya sendiri, yang terkenal sebagai teori strukturasi.
II. Teori Struktur dan Agen
Giddens mengemukakan teori strukturasi. Kunci pendekatan Giddens adalah bahwa ia melihat agen dan struktur sebagai dualitas, artinya keduanya dapat dipisahkan satu sama lain. Agen terlibat dalam struktur dan struktur melibatkan agen. Menurutnya, seluruh tindakan sosial memerlukan sturktur dan seluruh struktur memerlukan tindakan sosial. Giddens menolak untuk melihat struktur semata sebagai pemaksa terhadap agen (misalnya seperti Durkheim), tetapi melihat struktur baik sebagai pemaksa maupun penyedia peluang.
Inti konseptual teori strukturasi terletak pada pemikiran tentang struktur, sistem dan dwi rangkap struktur. Struktur didefinisikan sebagai “properti-properti yang berstruktur (aturan dan sumber daya), yang memungkinkan praktek sosial serupa yang dapat dijelaskan untuk eksis di sepanjang ruang dan waktu dan yang membuatnya menjadi bentuk sistemik. Struktur hanya akan terwujud Karena adanya aturan dan sumber daya. Struktur itu sendiri tidak berada dalam ruang dan waktu. Fenomena sosial mempunyai kapasitas yang cukup untuk menjadi struktur. Giddens berpendapat bahwa struktur hanya ada di dalam dan melalui aktivitas agen manusia. Jadi Giddens mengemukakan definisi struktur yang tak lazim, yang tak mengikuti pola Durkheimian dalam memandang struktur sebagai suatu yang berada di luar dan memaksa aktor. Menurutnya, struktur adalah apa yang membentuk dan menentukan terhadap kehidupan sosial, tetapi bukan struktur itu sendiri yang membentuk dan menentukan terhadap kehidupan sosial.
Giddens melihat modernitas sekarang sebagai “juggernaut” (panser raksasa) yang lepas kontrol.
“kehidupan kolektif modern ibarat panser raksasa yang tengah melaju hingga taraf tertentu bisa dikemudikan, tetapi juga terancam akan lepas kendali hingga menyebabkan dirinya hancur-lebur. Panser raksasa ini akan menghancurkan orang yang menentangnya dan meski kadang-kadang menempuh jalur yang teratur, namun ia juga sewaktu-waktu dapat berbelok ke arah yang tak terbayangkan sebelumnya. Perjalanannya bukannya sama sekali tak menyenangkan atau tidak bermanfaat; adakalanya memang menyenangkan dan berubah sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi, sepanjang institusi modernitas ini terus berfungsi, kita takkan pernah mampu mengendalikan sepenuhnya baik arah maupun kecepatan perjalanannya. Kita pun takkan pernah merasa aman sama sekali karena kawasan yang dijelajahinya penuh dengan bahaya. (Giddens, 1990:139)
Istilah “juggernaut” (panser raksasa) digunakan Giddens untuk menggambarkan kehidupan modern sebagai sebuah “dunia yang tak terkendali” (runaway world). Citra panser raksasa dimaksudkan Giddens untuk menerangkan bahwa mekanisme modern jauh lebih besar kekuasaannya ketimbang agen yang mengemudikannya.
Giddens mendefinisikan modernitas dilihat dari sudut empat intitusi mendasar. Pertama, kapitalisme yang ditandai oleh produksi komoditi, pemilikan pribadi atas modal, tenaga kerja tanpa property, dan sistem kelas yang berasal dari ciri-ciri tersebut. Kedua adalah industrialisme yang melibatkan penggunaan sumber daya alam dan mesin untuk memproduksi barang. Industrialisme tak terbatas pada tempat bekerja saja dan industrialisme mempengaruhi sederetan lingkungan lain, seperti transportasi, komunikasi, bahkan kehidupan rumah tangga. Ciri yang ketiga adalah kemampuan mengawasi. Hal ini mengacu pada pengawasan atas aktivitas warga Negara individual (terutama) dalam bidang politik. Dimensi institusional keempat dari modernitas adalah kekuatan militer atau pengendalian atas alat-alat kekerasaan, termasuk industrialisasi peralatan perang.
Modernitas menurut Giddens erat kaitannya dengan ruang dan waktu. Dengan datangnya modernitas, ruang makin lama makin dilepaskan dari tempat. Berhubungan dengan orang yang berjauhan jarak fisik makin lama makin besar peluangnya. Menurut Giddens, tempat semakin menjadi “phantasmagoric”, artinya “tempat terjadi peristiwa sepenuhnya ditembus dan ditentukan oleh pengaruh sosial yang jauh jaraknya dari tempat peristiwa itu.
Menurut Giddens, modernitas adalah kultur berisiko. Ini bukan berarti bahwa kehidupan sosial kini lebih berbahaya daripada dahulu. Konsep risiko menjadi masalah mendasar baik dalam cara menempatkan aktor biasa maupun aktor yang berkemampuan spesialis-teknis dalam organisasi kehidupan sosial. Modernitas mengurangi risiko menyeluruh bidang dan gaya hidup tertentu, tetapi pada waktu yang bersamaan memperkenalkan parameter risiko baru yang sebagian bersar atau seluruhnya tidak dikenal di era sebelumnya.
Mengapa kita menderita akibat negatif di dalam panser raksasa modernitas? Giddens mengemukakan beberapa alasan: pertama, karena kesalahan rencana dalam dunia modern; orang yang merencanakan unsur-unsur dunia modern membuat kesalahan. Kedua, kegagalan operatornya; masalahnya bukan berasal dari perencana, tetapi dari mereka yang menjalankan dunia modern.
III. Kritik Teori
Giddens mengemukakan definisi struktur yang tak lazim, yang tak mengikuti pola Durkheimian dalam memandang struktur sebagai suatu yang berada di luar dan memaksa aktor. Menurutnya, struktur adalah apa yang membentuk dan menentukan terhadap kehidupan sosial, tetapi bukan struktur itu sendiri yang membentuk dan menentukan terhadap kehidupan sosial.
Giddens menolak pendapat pakar yang menyatakan bahwa kita telah memasuki era post-modern, meski ia menyatakan kemungkinan munculnya tipe post-modernisme di masa datang. Namun demikian, menurutnya kita masih masih hidup di era modern.
Giddens menolak sebagian besar pendirian yang biasanya dikaitkan dengan post-modernisme. Sebagai contoh, bagian pemikiran post-modernisme yang menyatakan tak mungkinnya menciptakan pengetahuan sistematis. Menurut Giddens, pandangan seperti itu membawa kita kepada penolakan aktivitas intelektual sama sekali.
IV. Peta Pemikiran (Dari Comte – Giddens)
Auguste Comte (1798) berpendapat bahwa keteraturan sosial tergantung pada pembagian pekerjaan dan kerjasama ekonomi. Individu-individu menjalankan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi begitu pembagian kerja muncul, partisipasi individu dalam kegiatan ekonomi menghasilkan kerjasama, kesadaran akan ketergantungan juga bertambah.
Pendapat Comte ini dimentahkan oleh Karl Marx (1818-1883), terutama ketika dia menganalisis bahwa potensi konflik akan lebih besar ketika ada perbedaan pekerjaan, karena perbedaan ini kemudian akan mengakibatkan munculnya perbedaan kelas dalam masyarakat. Menurut Marx, masyarakat terbentuk atas struktur dalam bentuk pembagian kelas masyarakat, yang terdiri dari kelompok kapitalis dan kelompok buruh/ pekerja. Ada dua macam kelas yang ditemukan Marx ketika menganalisis kapitalisme, yakni borjuis dan proletar. Kelas borjuis merupakan nama khusus untuk para kapitalis dalam ekonomi modern. Mereka memiliki alat-alat produksi dan mempekerjakan pekerja upahan. Struktur dalam masyarakat terbentuk karena ada perbedaan penguasaan aset-aset ekonomi. Dimana kelompok kapitalis menguasai berbagai komoditas, alat-alat produksi, dan bahkan waktu kerja para pekerja karena mereka membeli para pekerja tersebut dengan gaji, sedangkan para pekerja hanya memiliki sedikit hak milik dan mereka harus memproduksi komoditas-komoditas demi keuntungan sejumlah kecil kapitalis. Dari sini dapat dilihat bahwa orang dalam masyarkat kapitalis dilihat juga sebagai penghasil berbagai produk dan komoditas. Marx berpendapat bahwa kekuasaan-kekuasaan politis telah diubah menjadi relasi-relasi ekonomi. Di samping itu, struktur ekonomi kapitalisme turut menentukan pemikiran dan tindakan individu.
Marx berpikir bahwa eksistensi kelas-kelas dalam masyarakat berpotensi menimbulkan konflik. Konflik ini terjadi manakala muncul konfik kepentingan antara orang yang memberi upah para buruh dan para buruh yang bekerja. Misalnya: orang yang memberi upah berharap memberikan upah sekecil-kecilnya, sedangkan para buruh menghendaki yang sebaliknya.
Marx berpikir bahwa perbedaan kelas dan konflik yang menyertainya hanya bisa diatasi dengan menciptakan dunia sosialis, dimana tidak ada penguasaan aset-aset produksi oleh salah satu pihak. Jadi aset-aset produksi harus dimiliki bersama.
Dari sini Marx kemudian mendambakan sebuah masyarkat komunis dalam mana terjadi revolusi ekonomi besar-besaran. Sementara gerakan massa kaum buruh yang tidak puas dengan perlakuan yang mereka terima dari kaum kapitalis merupakan kekuatan revolusioner yang sewaktu-waktu bisa bangkit dan meruntuhkan kekuatan kapitalisme.
Namun, teori Marx ini disanggah oleh Vilfredo Pareto (1848-1923). Pareto justru berpikir bahwa tidak realistis berharap akan tercapainya perubahan sosial yang dramatis melalui revolusi ekonomi. Menurut Pareto, masyarakat akan didominasi oleh sejumlah kecil elite yang memerintah berdasarkan kepentingan diri sendiri. Elite kecil ini memerintah massa rakyat yang didominasi oleh faktor non-rasional. Menurut Pareto, karena kapasitas rasional terbatas, maka mereka bukanlah kekuatan revolusioner. Pareto berpikir bahwa perubahan sosial terjadi manakalah elite mulai mengalami kemerosotan moral dan digantikan oleh elite baru yang berasal dari elite yang tak memerintah atau unsur yang lebih tinggi dari massa. Segera setelah elite baru berkuasa, proses yang baru pun terjadi. Jadi, Pareto menyodorkan teori perubahan sosial melingkar, sedangkan Marx menyodorkan teori perubahan sosial linear.
Pareto membayangkan masyarakat sebagai sebuah sistem yang berada dalam keseimbangan, sebagai kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung. Perubahan satu bagian dipandang menyebabkan perubahan bagian lain dalam sistem. Dari sini dapat dilihat Pareto menganut teori sistem dalam pemikirannya tentang masyarakat. Dalam mana setiap sub-sistem dalam kesatuan sistemnya akan dipengaruhi dan turut mempengaruhi sub-sistem lainnya.
Berbeda dengan Pareto yang menekankan masyarakat yang terikat dalam sistem, George Simmel (1858-1918) meninjau masyarakat lebih dari sudut interaksi sosial yang tercipta di dalamnya. Ia berpendapat bahwa masyarakat merupakan serangkaian interaksi. Menurutnya, struktur yang terbentuk dalam masyarakat, seperti: Negara, marga, keluarga, kota atau serikat pekerja, merupakan kristalisasi dari interaksi tersebut.
Dalam kaitan dengan kelompok yang muncul dalam masyarakat, Simmel mengungkapkan pemikirannya tentang dyad (kelompok yang terdiri dari dua orang)dan triad (kelompok yang terdiri dari tiga orang). Dyad tidak memperoleh makna di luar individu yang terlibat di dalamnya, dan masing-masing anggota dyad akan mempertahankan tingginya level individualis. Sebaliknya, triad -yang memiliki kemungkinan besar memperoleh makna di luar individu yang terlibat- berpotensi melairkan struktur kelompok. Hal inilah yang menjadi ancaman bagi individualitas anggotanya.
Lain halnya dengan pandangan Max Webber (1864-1920) seputar struktur sosial. Berbeda dari Karl Marx yang melihat stratifikasi yang tercipta dalam masyarakat diakibatkan semata karena faktor ekonomi, Weber menilai bahwa stratifikasi tersebut terbentuk karena hal-hal yang bersifat multidimensional, yakni basis ekonomi, status dan kekuasaan. Implikasinya adalah orang dapat menempati peringkat yang tinggi di satu atau dua dimensi stratifikasi tersebut sementara berada pada posisi yang lebih rendah di dimensi lainnya. Teori Weber ini merupakan kritik teori Marx sekaligus merupakan perkembangan teori yang melihat bahwa faktor ekonomi bukanlah faktor tunggal penentu struktur sosial masyarakat.
Eksistensi George Lukacs sebagai seorang teoritisi yang menganut paham Marxisme-Hegelian tak dapat diabaikan dalam perkembangan teori sturktur. Lukacs mengkritik teori Marx yang mengungkapkan bahwa orang dalam masyarakat kapitalis merupakan penghasil produk atau komoditas, sehingga nilai dilihat sebagai sesuatu yang dihasilkan pasar dan bukan oleh aktor itu sendiri. Menurut Lukacs, oranglah yang menghasilkan komoditas dan sekaligus memberi nilai kepadanya.
Perbedaan kelas dalam masyarakat yang menurut Marx disebabkan karena dampak dari distribusi faktor ekonomi yang tidak merata dinilai berbeda oleh Lucaks. Justru menurutnya, manusia dalam masyarakat kapitalis berhadapan dengan realitas yang diciptakannya sendiri (sebagai kelas) yang baginya tampak sebagai fenomena alamiah yang asing bagi dirinya sendiri. Dengan demikian, kaum proletar bukan teralienasi karena sistem, tapi karena diri mereka sendiri yang menganggap demikian. Hal tersebut karena mereka tunduk pada hukum-hukum yang mereka buat sendiri.
Konsep Lukacs inilah yang dikemudian dikenal dengan konsepnya mengenai kelas dan kesadaran palsu. Kesadaran kelas ini merujuk pada sistem kepercayaan yang dimiliki bersama oleh mereka yang menempati posisi kelas yang sama dalam masyarakat. Jadi, pada umumnya, masyarakat kapitalisme tidak memiliki pengertian yang jelas tentang kesadaran kelas mereka sebenarnya. Kesadaran kelas mereka berarti ketidaksadaran atas kondisi ekonomi dan sosio-historis seseorang yang dikondisikan kelasnya oleh kelas kepalsuan.
Jika menurut Marx, perbedaan kelas dalam masyarakat menyebabkan rusaknya harmoni masyarakat, para penganut teori fungsionalisme struktural justru berpikir sebaliknya. Para penganut teori ini beranggapan bahwa perbedaan aktifitas dalam masyarakat merupakan hal yang harus diperlihara untuk mempertahankan kehidupan masyarakat. Perbedaan posisi dan aktifitas berarti juga perbedaan fungsi. Fungsi-fungsi yang berbeda dalam sistem ini, jika dipelihara dengan baik sangat produktif untuk mencapai tujuan masyarakat. Gugusan aktivitas justru harus diciptakan sesuai dengan kebutuhan sistem. Talcot Parson, salah seorang tokoh fungsionalisme struktural mengemukakan sistem yang disebut AGIL, yakni adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latensi (pemeliharaan pola). Sistem inilah yang harus dijalankan agar masyarakat bisa harmonis.
Menurut para fungsionalis, masyarakat adalah statis atau masyarakat selalu berada dalam keadaan berubah secara seimbang. Masyarakat hidup dalam suatu sistem yang teratur, karena mereka secara formal diikat oleh norma, nilai dan moral. Setiap elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas.
Robert Merton (1910-2003), salah seorang teoritisi fungsionalisme-sturktural agak berbeda pendapat dengan pendahulunya. Menurutnya, tidak setiap struktur, adat-istiadat, gagasan, keyakinan dan lain sebagainya memiliki fungsi positif. Menurutnya, suatu fakta sosial dapat mengandung konsekuensi negatif bagi fakta sosial lain. Untuk itulah maka Merton mengembangkan teorinya mengenai disfungsi. Ketika struktur atau institusi dapat memberikan kontribusi pada terpeliharanya bagian lain sistem sosial, mereka pun dapat mengantung konsekuensi negatif bagi bagian-bagian lain tersebut.
Dalam kaitan dengan disfungsi di atas, Merton mengembangkan konsep fungsi manifest dan fungsi laten. Dimana fungsi manifest adalah fungsi yang dikehendaki, sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang tidak dikehendaki.
Dalam perkembangannya, teori struktur-fungsional diperhadapkan dengan kritik yang muncul dari teoritisi lainnya. Konsep Herbert Blumer (1900-1987) tentang interaksionisme simbolik merupakan salah satu bentuk kritik terhadap teori fungsionalisme struktural. Menurut Blumer, teori fungsionalisme struktural cenderung memusatkan perhatiannya kepada beberapa faktor, misalnya norma, yang menyebabkan perilaku manusia. Menurutnya, teori ini mengabaikan proses krusial ketika para aktor menopang kekuatan yang bertindak padanya dan pada perilaku mereka sendiri dengan makna.
Blumer juga menolak teori fungsionalisme struktural yang mengemukakan bahwa perilaku individu ditentukan oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Ia menolak anggapan bahwa perilaku aktor ditentukan oleh faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh aktor itu sendiri. Karena yang terpenting menurut Blumer adalah proses pendefinisian ketika aktor melakukan perbuatannya.
Kritik terhadap teori Struktur-fungsional datang juga dari Ralf Dahrendorf (1929) dengan teori konfliknya. Ia menolak pandangan para fungsionalis yang menganggap bahwa masyarakat adalah statis, atau kalaupun berubah maka perubahan tersebut secara seimbang. Menurutnya, masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan. Jika para fungsionalis menekankan keteraturan masyarakat, para teoritisi konfliki melihat apa pun tatanan yang ada di tengah masyarakat tumbuh dari tekanan yang dilancarkan segelintir anggota yang berada di puncak. Kalau para fungsionalis memusatkan perhatiannya pada kohesi yang diciptakan oleh nilai masyarakat yang dimiliki bersama, para teoritisi konflik menitikberatkan pada peran kekuasaan dalam memelihara tatanan di tengah-tengah masyarakat.
Dahrendorf mengemukakan gagasannya bahwa masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan konsensus. Teori konsensus merupakan teori yang membahas tentang integrasi nilai di tengah-tengah masyarakat, sedangkan teori konflik membahas tentang konflik kepentingan dan hal-hal yang menyatukan masyarakat di bawah tekanan-tekanan tersebut. Menurut Dahrendorf, masyarakat tak mungkin ada tanpa konflik dan konsensus. Pendapat Dahrendorf ini semakin memperjelas perbedaan antara dirinya dengan para penganut teori fungsional-struktural.
Dalam kaitan dengan struktur yang terbentuk dalam masyarakat, menurut Dahrendorf, kelompok mana yang berada di atas dan mana yang berada di bawah ditentukan oleh kepentingan bersama. Dalam setiap asosiasi, kelompok yang berada di atas berusaha mempertahankan posisi mereka, sementara kelompok yang berada dibawah akan berusaha melakukan perubahan. Dalam hal inilah kemudian konflik terjadi. Sehingga konflik dalam kelompok-kelompok tersebut akan berlangsung sepanjang waktu.
V. Perkembangan Teori Setelah Giddens (Teori Terpadu Ritzer)
Dalam kaitan dengan perdebatan yang panjang antara para teoritisi dengan kekuatan teori-teori masing-masing, yang mengkritik dan kritik, seputar struktur yang terbentuk dalam masyarakat, George Ritzer mencoba mengemukakan sebuah paradigma terpadu. Paradigma terpadu Ritzer ini merupakan salah satu bentuk kritik terhadap tiga paradigma lainnya. Yakni kritik terhadap paradigma fakta sosial yang hanya memusatkan perhatian pada struktur dan institusi skala besar; kritik terhadap paradigma definisi sosial yang memusatkan perhatian pada situasi sosial dan pengaruhnya tindakan dan interaksi; kritik terhadap paradigma perilaku sosial yang memusatkan perhatian pada imbalan yang mendorong perilaku yang diharapkan dan hukuma yang mengekang perilaku yang tidak dikehendaki.
Ide kunci Ritzer ialah “tingkatan realitas sosial”. Ini bukan berarti bahwa realitas sosial benar-benar terbagi dalam beberapa tingkat. Namun, menurut Ritzer, realitas sosial paling tepat dipandang sebagai kesatuan sosial yang berskala luas yang mengalami perubahan secara terus-menerus. Untuk itu dia mengungkapkan gagasan perlu adanya perpaduan antara hal-hal yang mikroskopis dan makroskopis, serta dimensi objektif dan subjektif.
Dalam kaitan dengan perpaduan mikro-makro, Ritzer memahami bahwa dunia sosial dibangun atas serangkaian entitas yang berskala kecil sampai yang berskala besar, karena itu merupakan hal yang lazim. Sementara dalam pemahamannya seputar dimensi subjektif-objektif, menurut Ritzer pada level mikro atau individu, terdapat proses mental subjektif aktor dan pola objektif tindakan dan interaksi yang ia ikuti.
Aku terpaku. Lilin 22 dihadapanku masih menyisakan segores asap putih di udara. Dia baru saja habis ku tiup. Bising suara “Happy Birthday To You” dan tepukan dua pasang tangan bagai serangga mengusik telingaku.Aku masih terpaku ketika tiba-tiba aku tersadar aku berada di sebuah ruang yang tidak biasa. Ada tenaga kuat mendorong diriku. Kuat… kuat sekali tapi bukan tenagaku. Ada jeritan yang menyodorkanku dua pilihan. Tinggallah atau lihatlah dunia. Sebenarnya, aku punya kuasa terhadap pilihan itu, yang ku genggam dalam kepalan jari-jari merahku. Namun jeritan itu berkali-kali mendesakku untuk mengambil keputusan yang sebenarnya aku enggan.
Dan… aku pun terlanjur membuat suatu keputusan. Ku terobos jaring-jaring pekat dihadapanku. Ku abaikan itu, walaupun ada begitu banyak yang rusak terkena jejalan tubuhku. Suatu ujung terang hampir dekat dengan rambutku ketika ku mendengar nafas sengal di belakangku. Aku tak peduli. Langkahku tinggal sejengkal. Aku memilih untuk bebas dari kubangan yang selama ini aku tinggali. Aku ingin melihat dunia yang hanya ku tebak-tebak bagaimana bentuk rupanya. Ku rasa angin dingin menghembus kepalaku. Rasa pengap dalam ruangan lamaku tak tercium lagi. Mungkin aku telah bebas kataku pada diriku sendiri. Aku mulai memuji diriku karena kemenangan itu, ketika ada ratap tangis pilu beberapa orang bertalu-talu di sekitarku. Aku berbalik, dan kulihat seonggok tubuh perempuan terkulai dan mati. Dan kata mereka, itulah ibuku.
Aku mengutuk diriku sendiri atas keputusan bodohku. Mengapa aku harus memilih menatap dunia ini kalau aku harus kehilangan orang yang katanya adalah ibuku? Aku teriak. Namun suaraku tak mampu melumuri hatiku yang remuk redam menelan kekalahanku. Yah… tadinya ku pikir aku telah menang ketika keluar dari kubangan itu. Namun ternyata yang ku dapat itu adalah kemenangan semu yang tercipta akibat keterbatasan nalarku. Ah… bodoh benar aku ini. Namun semua telah terlanjur. Aku sudah terlanjur lahir.
Aku mengutuk diriku sendiri ketika aku mengingat kisah sesudah kepergian ibuku. Ketika aku mengabaikan pesan ayahku untuk mengikat si tua Doggy. Aku asyik dengan obsesi terbaruku, tanpa sadar kalau ada lengkingan anjing tua di depan rumah dan suara mobil tak bertanggung jawab yang lari tak terkejar lagi. Doggyku mati. Teman tuaku mati. Saksi deritaku mati bersama dengan penyesalanku dan makian ayahku.
Aku mengutuk diriku sendiri ketika ku teringat kisah sesudah kepergian ibuku. Orang banyak menitipkan makanan kesayangan mereka kepadaku. “Simpanlah sampai kami merasa lapar dan pulang memakannya”. Aku mengangguk. Tugas yang sangat ringan kataku dalam hati. Ku ambil nampan berisi makanan yang kata leluhurku namanya adalah “Kue Harapan” itu. Ku letakkan sebagian isi nampan itu di bawah tempat tidurku. Yang lainnya di atas TV kesayanganku, sebagian lagi di keranjang “make-up” ku, dan sisanya ku biarkan saja berdebu dan tumpa tidak sengaja. Ku terlena dengan hayalku ketika orang banyak mengedor-gedor pintu kamarku meminta yang mereka punya kembali dengan utuh dan tak berdebu. Ku ambil Kue harapan yang ada di bawah tempat tidurku. Ah… sebagian sudah di makan tikus. Aku cemas. Ku cari kue harapan di atas TV kesayanganku. Ah sialan… ! Tinggal remah-remahnya saja. Ku tergesa menarik keranjang “make-up” ku. Ah… sudah basi. Ku cari sisa kue itu di pelosok-pelosok rumahku. Semuanya telah kotor dan berdebu. Aku menggigil. Mata mereka membara menahan marah sambil teriak “Kamu telah menyia-nyiakan kepercayaan kami”. Mataku berair kecewa. Aku telah mati seiring dengan hujatan dan bisik-bisik mereka di belakang punggungku. Aku telah mati bersama dengan berbagai bentuk kemudahan dari orang-orang itu.
Aku mengutuk diriku sendiri ketika aku mengingat kisah sesudah kepergian ibuku. Ketika penat itu datang mengusai mataku, aku terlena. Padahal tungku di hadapanku sedang memasakkan makan malam bagi kami sekeluarga. Sudah tugasku seharusnya untuk menjaga apinya tetap menyala atau tidak merajalela membakar yang seharusnya tidak perlu dibakar. Namun aku memilih untuk bercumbu dengan tidurku yang menggairahkan itu, sampai ku merasakan panas yang amat sangat menerpa sekujur tubuhku. Dapur kami terbakar, rumah kami terbakar, perpustakaan hidup kami terbakar, foto-foto keluarga kami terbakar, gaji bulan terakhir ayahku terbakar dan ayahku terbakar juga. Aduh… ampun! Aku meringis tak terkendali. Aduh… ampun! Aku kehilangan segalanya yang tak harus hilang apabila ku tak menggenggam mimpi kelabu yang tadi itu. Akhirnya, semuanya mati, sirna, musnah, tak berbekas lagi.
Aku masih meringis tak terkendali ketika dua pasang tangan yang tadi bertepuk terjulur di hadapanku. Aku terkejut. Tangan-tangan itu rindu memberi selamat atas umur baruku. Sambil tertawa getir ku balas uluran itu, ditambah kecupan bagi mereka masing-masing. Dua pasang tangan itu adalah teman dan penghibur hidupku.
Ku tatap dua wajah pemilik tangan-tangan itu. Wajah mereka lugu dan polos. Ada selumbar kegembiraan dan harapan di mata mereka. Kegembiraan dan harapan itu bertuliskan namaku. Wajahku terpampang di sana dengan hiasan kenangan-kenangan indah sewaktu aku bercumbu dengan mereka. Kini mereka ada pada hari ini. Hari ini yang adalah milikku utuh. Mereka bersama denganku pada saat sebelum ku teringat kenangan-kenangan pahitku, dan mereka masih di sana sampai aku kembali ke dunia nyata ini lagi.
Ku tatap dua wajah kekasih hatiku itu. Mulut bisu mereka seolah membisikan kata-kata pembangkit semangat hidupku. Kata mereka “kamu harus hidup dalam hidup kehidupanmu”. Aku mencoba merumuskan kata-kata itu dalam definisiku sendiri. Ketika ku temukan artinya, aku tersenyum, dan senyumku terus melebar. Dalam tautan senyum itu aku berpikir. Masih ada dua buah jiwa yang menjadi milikku utuh pada hari milikku ini. Aku tak mau kehilangan mereka seperti ketika aku ditinggal mati oleh ibuku, si tua Doggy, ayahku, atau diriku sendiri.
Aku mengutuk diriku sendiri ketika mengingat kisah pada saat ulang tahunku. Aku memilih terkubur dalam hayal-hayal sepi ku. Aku memilih terperangkap dalam jurang “tak berkepercayaan diri”. Aku memilih menetap dalam selokan kemalasan dan pikiran tanpa nalarku. Ku biarkan dua pasang tangan polos itu menggelepar-gelepar antara hidup dan mati ketika aku tidak lagi memberi mereka makanan dan minuman untuk hidup. Aku tidak lagi memberi mereka uang jajan untuk bekal mereka setiap pergi kerja. Aku tidak lagi memberi mereka kasur yang empuk dan nyaman untuk mereka beristirahat. Aku terpekur tak percaya. Apa aku kehilangan lagi?
Kecupan di kedua belahan pipiku memecah lamunanku kali ini. Ku lihat dua wajah polos itu masih berdiri di depanku. Mereka kini telah berpakaian lebih rapi dari yang tadi. Mereka mengajakku makan di luar merayakan ulang tahunku. Oh Tuhan… syukurlah. Ternyata yang tadi itu hanya lamunan ku saja. Pemberi semangat jiwaku belum terkubur dalam kebodohan di saat aku mengambil keputusan.
Aku tersenyum. Dua wajah polos tadi kini tertidur dengan lelap setelah perut mereka kenyang dengan santapan malam kami. Ku selimuti mereka dengan selimut yang paling hangat. Ku bersujud di samping ranjang mereka. Dan sambil terpejam, aku berdoa “Terima kasih Tuhan atas segala yang Kau berikan padaku. Terima kasih atas segala kenangan-kenangan sedihku yang Kau sodorkan untuk ku ingat kembali. Semua itu membuatku memahami untuk secara bijaksana mengambil keputusan dalam hari-hari hidupku. Terimakasih juga untuk masa kini yang aku miliki, dengan kedua belahan jiwaku, pemberi semangat hidupku. Aku tak ingin karena keputusan-keputusan bodoh dan terburu-buruku aku mengubur mereka mati. Tuhan, aku tahu bahwa antara keputusan yang benar dan salah hanya terpisah oleh suatu sekat yang amat sangat tipis. Hidup dan matiku tergantung pada kebebasan keputusanku itu. Aku menjadi sesuatu atau tidak menjadi apapun juga tergantung pada satu detik keputusanku. Tuhan, bimbinglah aku dengan kebijaksanaan-Mu untuk selalu mengambil keputusan yang terbaik dalam hidupku, untuk menjadi, atau tidak menjadi sama sekali. Amin.”