Senin, 18 Agustus 2008

Produk Gagal Pemilu 2004


Oleh Rikson Karundeng


“Jadi anggota DPR RI itu ternyata sangat enak. Sekali sidang mendapat bayaran sebesar Rp 1,5 juta. Belum lagi gaji, segala tetek-bengek tunjangan yang diperoleh, plus "angpoa-anggpoa" yang diterima dari berbagai pihak. Pokoknya sedap benar jadi anggota Dewan. Nikmat," kata seorang asisten pribadi salah seorang anggota DPR RI asal sulut.

Tidak mengherankan, jika banyak orang benar-benar tertarik menjadi anggota Dewan. Dana miliaran rupiah berani mereka keluarkan untuk bisa memperoleh kursi empuk di DPR RI. Seringkali partai politik pun lebih memilih mengambil orang di luar partai dari pada kadernya sendiri, untuk menempatkan seseorang menjadi calon anggota DPR. Asal, calon tersebut mampu memberikan sejumlah dana tertentu untuk kepentingan kegiatan Parpol. Alhasil, pada saat terpilih kerap beberapa anggota DPR RI pun berusaha keras mengembalikan modal yang dikeluarkan.

Secara sederhana, sesungguhnya gaji anggota Dewan sudah sangat memadai karena di atas kisaran Rp 20 juta lebih. Bila dikalkulasi dengan sejumlah tunjangan dan "angpao-angpao" yang mereka terima, maka ada yang menyebut anggota Dewan minimal menerima Rp 50 juta per bulan. Jadi, secara finansial anggota DPR RI memang luar biasa. Dalam setahun diperkirakan paling rendah penghasilan anggota Dewan sebesar Rp 600 juta.

Penghasilan yang sedemikian besar ternyata belum cukup bagi sebagian anggota Dewan. Sejumlah kasus yang mencuat beberapa waktu terakhir ini sepertinya bisa menjadi bukti kerakusan para wakil rakyat kita. Misalnya, kasus Buyan Royan yang ditangkap KPK karena upeti dari pembelian kapal patroli, Sejumlah kasus serupa yang dilakukan para anggota dewan terhormat seperti kasus anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan Al Amin Nur Nasution terkait dugaan menerima suap pengalihan fungsi hutan lindung di Bintan yang diiringi dengan mencuatnya kasus suap anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Sarjan Tahir, terkait pembebasan lahan hutan mangrove untuk pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-api di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan beberapa waktu lalu yang diduga turut juga melibatkan 10 anggota Komisi IV DPR RI lainnya.

Selain suka memeras, para anggota DPR kita ternyata gemar juga berfoya-foya walau harus menghabiskan uang rakyat. Pada tanggal 14-20 Desember 2006 lalu misalnya, pada saat melakukan kunjungan ke London, Inggris, sebagian anggota DPR RI diduga berpesta sambil berjudi di Hardrock Casino London, tempat perjudian mewah di Inggris. Selain itu, sejumlah kasus amoral lain yang melibatkan anggota DPR RI, sempat juga mencuat ke permukaan. Sebut saja kasus video porno yang melibatkan anggota DPR RI dari partai Golkar, Yahya Zaini dan kasus foto syur dan pelecehan seksual yang dilakukan Max Moein dari PDIP.

Awal tahun ini juga masyarakat Indonesia dihebohkan dengan informasi yang dibeberkan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai 40-an anggota DPR RI periode 2004 - 2009 yang diduga terlibat korupsi. Sebagian besar berasal dari PDI Perjuangan (15 orang), Partai Golkar (10 orang) dan Partai Persatuan Pembangunan (8 orang). Sisanya dari Partai Demokrat (3 orang), Partai Amanat nasional (3 orang) dan Partai Keadilan Sejahtera (1 orang). Dalam laporannya, ICW juga menyebut nama-nama anggota dewan yang diduga terlibat korupsi serta jenis dan besaran korupsi yang mereka lakukan.

Selain kasus-kasus ini, banyak juga kasus dugaan korupsi dan kasus amoral lain yang melibatkan anggota Dewan tidak diusut seperti keterlibatan dalam perjalanan dinas ke Hongkong dan Korea Selatan. Bahkan ada juga yang sudah dibebaskan atau dihentikan perkaranya. Ya, boleh jadi persoalan-persoalan di DPR RI yang menunjukkan rakusnya anggota Dewan tersebut dengan uang, gaya hidup bermewah-mewah: mobil mewah, rumah mewah, telepon selular mewah, dan seterusnya yang menunjukkan tidak adanya sense of crisis para anggota Dewan, boleh jadi kalau ditelusuri lebih mendalam, kasus-kasus yang terungkap hanyalah sebagian kecil dari "keculasan" para anggota DPR RI.

Di tengah tekanan ekonomi yang masih luar biasa bagi sebagian besar masyarakat, adanya krisis energi dan krisis pangan di Indonesia, seharusnya "sebagai wakil rakyat", para anggota Dewan memiliki kepedulian terhadap penderitaan masyarakat. Tidak sebaliknya, justru berpesta-pora di atas penderitaan masyarakat kita. Sungguh merupakan tindakan amoral-apa yang dilakukan anggota Dewan dengan menikmati "uang-uang suap, upeti" atas keberhasilan mereka memperjuangkan sebuah proyek dan peraturan bahkan perundang-undangan. Kita patut mengatakan, itulah bentuk keserakahan dari para wakil rakyat. Kita memang bisa mengatakan lengkap sudah tindakan amoral para wakil rakyat itu : terlibat perselingkuhan wanita, video porno, baku hantam, koruptif, dan manipulatif. Sungguh memprihatinkan.
Sudah berulang kali terungkap kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR. Namun, hingga saat ini, kesadaran guna membenahi citra bopeng tersebut masih belum juga digalakkan. Tertangkapnya Al Amin Nasution, Bulyan Royan, Hamka Yandhu, Antony Zeidra Abidin, Noor Adenan Razak dan Sarjan Tahir, merupakan bukti kebenaran asumsi bahwa gedung DPR adalah sarang korupsi, kasus suap dan segala bentuk varian tindakan amoral, antietika lainnya.
Mereka yang tertangkap hanya bagian kecil dari fenomena’’ gunung es’’ karena untuk menggolkan satu perundangan dan keinginan dari pemerintah daerah atau instansi terkait terlebih dahulu meminta persetujuan DPR dan ini dijadikan kesempatan untuk memeras. Sudah terlalu banyak kasus yang menodai lembaga terhormat DPR-RI sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif tentu merosot tajam. Walaupun hingga saat ini lembaga tersebut belum terbukti melakukan pelanggaran hukum.

Kondisi DPR di tigkat propinsi dan Kabupaten/Kota juga tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di DPR RI. Sebab para wakil rakyat yang amoral banyak juga yang bercokol di sana. Kalau mau melihat bukti, barangkali lembaran putih yang tersedia untuk tulisan ini tidak akan sanggup menampung dertan kasus anggota DPRD yang sudah terbukti, dalam proses penyelidikan maupun yang belum disentuh sama sekali atau memang telah sengaja dimentahkan.
Kasus-kasus yang melibatkan para wakil rakyat ini memang merupakan persoalan klasik di lembaga tersebut. Namun, setelah reformasi dan masyarakat diberi peran untuk menentukan siapa wakilnya di parlemen, barangkali sangat realistis jika para wakil rakyat yang dihasilkan benar-benar figure yang bermoral dan mampu pemperjuangkan aspirasi masyarakat yang sesungguhnya. Tapi kenyataannya, produk pemilu 1999 tidak berbeda jauh dengan produk pemilu sebelumnya dan produk pemilu 2004 yang masih bercokol hingga saat ini ternyata lebih parah lagi. Kenyataan ini tentu bisa menjadi bahan refleksi bagi lembaga legislatif dan bagi masyarakat Indonesia secara khusus yang akan berpartisipasi dalam pemilu 2009 nanti. Para pemilih barangali perlu lebih cerdas lagi memilih figure yang ideal sehingga tidak mudah ditipu dan tidak akan mengalami kekecewaan dikemudian hari.

Pemilu 2004 dan produk yang dihasilkannya pasti akan menjadi pelanjaran penting bagi rakyat ke depan. Menghadapi rakyat yang semakin cerdas, maka partai-partai peserta pemilu 2009 tentu harus juga lebih cerdas. Artinya, lebih cerdas dalam menentukan figure yang akan dicalonkan sebagai wakil rakyat dan bukan lagi sekedar mencari kader yang bisa mendanai kepentingan partai dengan nafsu kekuasaannya. Sebab bisa dipastikan, partai-partai yang tidak mampu memenuhi keinginan rakyat, tidak bisa memberikan pendidikan politik yang sesungguhnya bagi rakyat, serta partai yang hanya mau menampung sederet kriminil di negeri ini, tidak akan laku di hati rakyat dan akan terdegradasi dengan sendirinya.Masyarakat Indonesia juga tentu berharap ke depan, Badan Kehormatan DPR bisa lebih jeli serta objektif dan lembaga-lembaga hukum di Indonesia bisa lebih konsisten menegakkan hukum di negeri ini agar para wakil rakyat produk pemilu selanjutnya bisa mengingat bahwa berbagai sangsi dan tindakan hukum akan menanti para anggota dewan yang amoral.

0 komentar:

Posting Komentar