Oleh Rikson Childwan Karundeng
Perbukitan Maesa Unima Tondano tampak penuh geliat, dari Blok A No.18, bertuliskan GERAKAN MINAHASA MUDA, terdengar alunan syahdu “Oh Ina Ni keke” dari sepasang X tech Super Woofer speaker yang mungil. Tapi Sang surya seakan tak peduli dan terus mendekati pembaringannya. Tiba-tiba weker menari sambil mendentangkan lonceng tiga kali. Sukmapun terkejut dan segera mengusik raga Si Tuama yang asik dengan tarian jemarinya di atas keyboard SPC usang. “Hei, mo ka Sonder torang ato nyanda ? So jam tiga ini Tuama !” Tendangan itu direspons Tuama yang secepat kilat mengarahkan krusor ke titik merah bertuliskan Turn Off.
Jaket kulit beraroma tiga macam (Casablanca, Daia plus Keringat) yang selalu setia menemani Tuama, langsung lengket di badannya dan dari luar, Shogun 125 menatap Tuama seakan dia tahu kini saatnya ia mengemban tugas selanjutnya. Saat tombol starter di tekan, stir hendak diarahkannya ke Tomohon, namun tiba-tiba Sukma menyelanya “Iko Gunung Tampusu jo torang. Selain dekat, torang lei boleh menikmati keindahan Tanah Minahasa dari sudut yang kadang Tou Minahasa ambe”.
Penuh gairah sukma berpacu dan sesekali ia meledek si Shogun 125 “Se lia angko pe jago,” dan Si Tuama mulai memainkan tali gas seolah memaksa mereka untuk bergegas menerjang pegunungan Tampusu dari wilayah Romboken. Betapa terpukaunya sukma tatkala puncak Tampusu ditaklukkan dan Tuama memalingkan wajahnya ke arah Danau Tondano. “Ternyata Danau Tondano memiliki pesona tersendiri kalu torang mo lia dari wilayah pegunungan Tampusu, ruwarrrrrr biacaaaa…..”, decak sukma dibalas anggukan Si Tuama seolah memahami betul apa yang dirasakan sukma.
Setelah sedikit memacu ke depan si Shogun, sukma kembali tersentak ketika Tuama sedikit mengarahkan pandangannya ke kiri dan tampak hamparan perkebunan Tou Minahasa di lembah yang luas di wilayah Minahasa Tengah, dengan lukisan Gunung Soputan di belakangnya. Wilayah yang menggoda mata itu memaksa Tuama menginjak rem dan berhenti sejenak untuk mengabadikan karya Agung Opo Empung itu. Tepat di ujung pandangan mata di ufuk timur, Pegunungan Lengkoan yang tampak masih perawan ikut juga memancarkan pesonanya.
Saat hendak menuruni lembah Tampusu menuju Wanua Leilem, Shogunpun kembali berhenti, “Stop bos ! Nyaku yakin ini bukang tampa ba teru akang Cap Tikus, soalnya depe pipa basar-basar. Oh nyaku tau, ini lokasi eksplorasi PT Pertamina Geothermal Lahendong,” Kata Sukma dan kembali di balas dengan anggukan oleh Si Tuama. “Angko tau Tuama, menurut yang nyaku tau, di sini kata tersimpan energi setara dengan 313 megawatt listrik. Haa, pembangkit listrik tenaga panas bumi ini so beroperasi deri taong 1996. Pembangkit listrik geothermal ini ka tiga di Indonesia setelah Kamojang, Jawa Barat, deng Sibayak, Sumatra Utara. Mar kata, sampe skarang pengolahan potensi geothermal di Lahendong, belum sepenuhnya tuntas. So itu pengeboran masih terus dorang ja lakukan. Dong bilang kata, uap panas bumi yang Pertamina Geothermal da gale, dorang salurkan ka pembangkit listrik negara wilayah Sulut. Depe kapasitas sebesar 60 ribu megawatt yang dialirkan mencakup amper 40 persen kebutuhan listrik masyarakat Sulut. Mantap to ? Mar lebeh mantap waktu lalu ada masyarakat da ba demo lantaran tako jang ini wilayah jadi sama deng di Lapindo. Oh rekey, kalu butul jadi, deng Fredi Wowor pe Sonder ona’ boleh ta tutu, hehehe….”
Di sekitar lokasi Pertamina Geothermal Lahendong, ada juga sebuah kompleks bangunan yang bagian depannya bertuliskan Pabrik Gula Aren Masarang. “Ha…kalu ini pabrik ja menghasilkan berbagai jenis produk. Waktu tahap awal dorang konsentrasi di tiga jenis gula. Pertama gula semut, karena harga ekspor tertinggi, baru gula merah cetak, kong gula kristal Aren mas. Khusus untuk produksi gula kristal aren murni melalui proses modern di pabrik ini, merupakan yang pertama kali di dunia. Hasil sampingan pabrik adalah pati, ragi, dan molasses. Molasses dijadikan lagi ethanol, minuman obat, rum, kecap, makanan ternak, medium jamur, kompos, dll. Sehingga sama sekali tidak ada sisa produksi atau sampah dari pabrik ini. Proses pembuatan gula sendiri pula sama sekali tanpa menggunakan bahan kimia seperti di proses gula tebu. Waktu lalu nyaku dengar, untuk produksi satu shift karyawan, dapat dihasilkan 3 ton gula per hari yang berasal dari sekitar 26.000 liter nira segar per hari. Sebenarnya kata, persediaan nira di Tomohon saja masih jauh lebih besar. Untuk dapat menampung produksi yang jauh lebih besar pabriknya akan diperluas dengan dana dari Menkokesra, sehingga produksi pabrik akan mendekati 15 ton per hari dan lebih dari 10.000 lapangan kerja baru akan tercipta. Mantap, apalei dorang giat deng program penanaman aren. Ini tantu Om Bert Polii deng Om Frangky Maramis stuju skali. Mar, ta dengar skarang kata ini pabrik da ta brenti sementara. Ato lama wona kang ? Depe jelas ngoni tanya jo langsung pa Tanta Syeni Watulangkow ato pa Om Willy Smits. Angko ja dengar lei da ja bilang Tuama ato so nda ? Soalnya angko so dapa lia manganto. Capat jo dang jang tu tamang-tamang Mawale Movement somo ba tunggu lama !”
Waktu telah menunjukkan pukul 16.00 Wita saat Si Tuama dan Sukma memasuki Wanua Sumonder. Maksud mereka hendak mengabadikan Lembah Sonder Bawah saat sunset, sayang langit mendung seakan belum memberi mereka kesempatan “Sabar jo Tuama jang kecewa, satu kali torang mo dapa tu moment terbaik itu,” kata Sukma seakan menghibur Si Tuama yang memang tampak sudah mulai lunglai. Namun, Si Tuama kembali bergelora saat memasuki rumah keluarga Wowor yang telah dibangun sejak tahun 1955 itu, tatkala melihat Fredy Wowor (Makawale), Ompi Stlight dan Ian (Amurang) beserta Denni Pinontoan (Tomohon) telah menanti dengan riang. Belum lagi, kopi hangat dan pisang goroho rubus yang tampak memang sudah menanti Si Tuama dan sukma. “Tabea !” sebuah sapaan hangat yang didorong Sukma, keluar dari Si Tuama.
Tak berapa lama, Greenhill Weol (Tareran) Chandra Rooroh (Treman) Charli Samola (Kalawat), Billi Manoppo (Manado Tua), Alan Umboh (Bitung), Inggrid Pangkey (Manado), Jendri Koraag (Koha), Bodewyn Talumewo (Poopo Motoling), Karlos Pesik (Sonder), ta sopu di lokasi tampa diskusi Mawale Movement 9 April 2010.
Kopi semakin dingin namun diskusi Mawale mulai bergulir semakin hangat. Malai dari mengkaji buku Iones Rakhmat "Membedah Soteriologi Salib" tentang Yesus Historis. Pertanyaan dan pernyataan yang muincul dari topic ini adalah, membedah soteriologi salib sama dengan membedah kekristenan (Barat) itu sendiri! Ketika soteriologi ini berhasil diruntuhkan dan dinyatakan tidak absah, maka apakah kekristenan juga runtuh dan menjadi tidak absah? Ya, kekristenan yang berfondasi pada soteriologi salib memang runtuh; tetapi penulis buku ini menurut Denni Pinontoan, membangunnya kembali dari keruntuhannya dengan mengajukan soteriologi-soteriologi alternatif yang tersedia dan yang tetap setia pada Yesus dari Nazaret. Pukul 18.00 Wita, topik berganti ke soal Pergerakan Pemuda GMIM kini hingga kelanjutan “Skolah Mawale” yang rencananya bulan berikut akan di gelar di Lewet Amurang.
Dikusi semakin hangat ketika salah satu aktifis Mawale yang kini giat dengan YDRInya, Andre GB tiba dari Bolaang Mongondow. Nama Giroth Wuntu kembali diperbincangkan waktu mendiskusikan Buku Andre yang segera akan terbit "Menganyam Cerita dari Benang Kebisuan" yang berisi tentang kesaksian-kesaksian para eks PKI, kajian HAM. Perdebatan karena perbedaan pendapat, sejumlah fakta dan data terungkap hingga usulan-usulan yang direkomendasikan untuk Andre, cukup menguras energi. Diskusi terpaksa harus berhenti pukul 3.30 pagi mengingat ada yang harus melanjutkan aktifitas pagi itu dan diksusi berakhir dengan gelak tawa ketika Andre dan pasukan Mawale yang lain mulai membayangkan kondisi anggota Mawale 50 taong datang (Kalu umur panjang, hehehe…) Yang paling parah bahwa saat itu ternyata Fredy Wowor belum juga menikah dan masih terus bercinta dengan buku-bukunya yang kini hampir 10 ribu judul, sedangkan Green Weol masih kata ba tona’ trus deng Angga. Sementara Andre telah menikah ke enam kali dan masih dengan orang yang sama. “So ngana tu manusia paling soe, kaweng brapa kali dengan perempuan yang sama !” Canda Weol menutup kebersamaan Mawale saat itu, sebelum akhirnya semua terlelap seperti ikang roa di kamar pa Fredy.
Tu cerita ada banya lei, mar nanti tu tamang2 laeng tambah akang jo………
Perbukitan Maesa Unima Tondano tampak penuh geliat, dari Blok A No.18, bertuliskan GERAKAN MINAHASA MUDA, terdengar alunan syahdu “Oh Ina Ni keke” dari sepasang X tech Super Woofer speaker yang mungil. Tapi Sang surya seakan tak peduli dan terus mendekati pembaringannya. Tiba-tiba weker menari sambil mendentangkan lonceng tiga kali. Sukmapun terkejut dan segera mengusik raga Si Tuama yang asik dengan tarian jemarinya di atas keyboard SPC usang. “Hei, mo ka Sonder torang ato nyanda ? So jam tiga ini Tuama !” Tendangan itu direspons Tuama yang secepat kilat mengarahkan krusor ke titik merah bertuliskan Turn Off.
Jaket kulit beraroma tiga macam (Casablanca, Daia plus Keringat) yang selalu setia menemani Tuama, langsung lengket di badannya dan dari luar, Shogun 125 menatap Tuama seakan dia tahu kini saatnya ia mengemban tugas selanjutnya. Saat tombol starter di tekan, stir hendak diarahkannya ke Tomohon, namun tiba-tiba Sukma menyelanya “Iko Gunung Tampusu jo torang. Selain dekat, torang lei boleh menikmati keindahan Tanah Minahasa dari sudut yang kadang Tou Minahasa ambe”.
Penuh gairah sukma berpacu dan sesekali ia meledek si Shogun 125 “Se lia angko pe jago,” dan Si Tuama mulai memainkan tali gas seolah memaksa mereka untuk bergegas menerjang pegunungan Tampusu dari wilayah Romboken. Betapa terpukaunya sukma tatkala puncak Tampusu ditaklukkan dan Tuama memalingkan wajahnya ke arah Danau Tondano. “Ternyata Danau Tondano memiliki pesona tersendiri kalu torang mo lia dari wilayah pegunungan Tampusu, ruwarrrrrr biacaaaa…..”, decak sukma dibalas anggukan Si Tuama seolah memahami betul apa yang dirasakan sukma.
Setelah sedikit memacu ke depan si Shogun, sukma kembali tersentak ketika Tuama sedikit mengarahkan pandangannya ke kiri dan tampak hamparan perkebunan Tou Minahasa di lembah yang luas di wilayah Minahasa Tengah, dengan lukisan Gunung Soputan di belakangnya. Wilayah yang menggoda mata itu memaksa Tuama menginjak rem dan berhenti sejenak untuk mengabadikan karya Agung Opo Empung itu. Tepat di ujung pandangan mata di ufuk timur, Pegunungan Lengkoan yang tampak masih perawan ikut juga memancarkan pesonanya.
Saat hendak menuruni lembah Tampusu menuju Wanua Leilem, Shogunpun kembali berhenti, “Stop bos ! Nyaku yakin ini bukang tampa ba teru akang Cap Tikus, soalnya depe pipa basar-basar. Oh nyaku tau, ini lokasi eksplorasi PT Pertamina Geothermal Lahendong,” Kata Sukma dan kembali di balas dengan anggukan oleh Si Tuama. “Angko tau Tuama, menurut yang nyaku tau, di sini kata tersimpan energi setara dengan 313 megawatt listrik. Haa, pembangkit listrik tenaga panas bumi ini so beroperasi deri taong 1996. Pembangkit listrik geothermal ini ka tiga di Indonesia setelah Kamojang, Jawa Barat, deng Sibayak, Sumatra Utara. Mar kata, sampe skarang pengolahan potensi geothermal di Lahendong, belum sepenuhnya tuntas. So itu pengeboran masih terus dorang ja lakukan. Dong bilang kata, uap panas bumi yang Pertamina Geothermal da gale, dorang salurkan ka pembangkit listrik negara wilayah Sulut. Depe kapasitas sebesar 60 ribu megawatt yang dialirkan mencakup amper 40 persen kebutuhan listrik masyarakat Sulut. Mantap to ? Mar lebeh mantap waktu lalu ada masyarakat da ba demo lantaran tako jang ini wilayah jadi sama deng di Lapindo. Oh rekey, kalu butul jadi, deng Fredi Wowor pe Sonder ona’ boleh ta tutu, hehehe….”
Di sekitar lokasi Pertamina Geothermal Lahendong, ada juga sebuah kompleks bangunan yang bagian depannya bertuliskan Pabrik Gula Aren Masarang. “Ha…kalu ini pabrik ja menghasilkan berbagai jenis produk. Waktu tahap awal dorang konsentrasi di tiga jenis gula. Pertama gula semut, karena harga ekspor tertinggi, baru gula merah cetak, kong gula kristal Aren mas. Khusus untuk produksi gula kristal aren murni melalui proses modern di pabrik ini, merupakan yang pertama kali di dunia. Hasil sampingan pabrik adalah pati, ragi, dan molasses. Molasses dijadikan lagi ethanol, minuman obat, rum, kecap, makanan ternak, medium jamur, kompos, dll. Sehingga sama sekali tidak ada sisa produksi atau sampah dari pabrik ini. Proses pembuatan gula sendiri pula sama sekali tanpa menggunakan bahan kimia seperti di proses gula tebu. Waktu lalu nyaku dengar, untuk produksi satu shift karyawan, dapat dihasilkan 3 ton gula per hari yang berasal dari sekitar 26.000 liter nira segar per hari. Sebenarnya kata, persediaan nira di Tomohon saja masih jauh lebih besar. Untuk dapat menampung produksi yang jauh lebih besar pabriknya akan diperluas dengan dana dari Menkokesra, sehingga produksi pabrik akan mendekati 15 ton per hari dan lebih dari 10.000 lapangan kerja baru akan tercipta. Mantap, apalei dorang giat deng program penanaman aren. Ini tantu Om Bert Polii deng Om Frangky Maramis stuju skali. Mar, ta dengar skarang kata ini pabrik da ta brenti sementara. Ato lama wona kang ? Depe jelas ngoni tanya jo langsung pa Tanta Syeni Watulangkow ato pa Om Willy Smits. Angko ja dengar lei da ja bilang Tuama ato so nda ? Soalnya angko so dapa lia manganto. Capat jo dang jang tu tamang-tamang Mawale Movement somo ba tunggu lama !”
Waktu telah menunjukkan pukul 16.00 Wita saat Si Tuama dan Sukma memasuki Wanua Sumonder. Maksud mereka hendak mengabadikan Lembah Sonder Bawah saat sunset, sayang langit mendung seakan belum memberi mereka kesempatan “Sabar jo Tuama jang kecewa, satu kali torang mo dapa tu moment terbaik itu,” kata Sukma seakan menghibur Si Tuama yang memang tampak sudah mulai lunglai. Namun, Si Tuama kembali bergelora saat memasuki rumah keluarga Wowor yang telah dibangun sejak tahun 1955 itu, tatkala melihat Fredy Wowor (Makawale), Ompi Stlight dan Ian (Amurang) beserta Denni Pinontoan (Tomohon) telah menanti dengan riang. Belum lagi, kopi hangat dan pisang goroho rubus yang tampak memang sudah menanti Si Tuama dan sukma. “Tabea !” sebuah sapaan hangat yang didorong Sukma, keluar dari Si Tuama.
Tak berapa lama, Greenhill Weol (Tareran) Chandra Rooroh (Treman) Charli Samola (Kalawat), Billi Manoppo (Manado Tua), Alan Umboh (Bitung), Inggrid Pangkey (Manado), Jendri Koraag (Koha), Bodewyn Talumewo (Poopo Motoling), Karlos Pesik (Sonder), ta sopu di lokasi tampa diskusi Mawale Movement 9 April 2010.
Kopi semakin dingin namun diskusi Mawale mulai bergulir semakin hangat. Malai dari mengkaji buku Iones Rakhmat "Membedah Soteriologi Salib" tentang Yesus Historis. Pertanyaan dan pernyataan yang muincul dari topic ini adalah, membedah soteriologi salib sama dengan membedah kekristenan (Barat) itu sendiri! Ketika soteriologi ini berhasil diruntuhkan dan dinyatakan tidak absah, maka apakah kekristenan juga runtuh dan menjadi tidak absah? Ya, kekristenan yang berfondasi pada soteriologi salib memang runtuh; tetapi penulis buku ini menurut Denni Pinontoan, membangunnya kembali dari keruntuhannya dengan mengajukan soteriologi-soteriologi alternatif yang tersedia dan yang tetap setia pada Yesus dari Nazaret. Pukul 18.00 Wita, topik berganti ke soal Pergerakan Pemuda GMIM kini hingga kelanjutan “Skolah Mawale” yang rencananya bulan berikut akan di gelar di Lewet Amurang.
Dikusi semakin hangat ketika salah satu aktifis Mawale yang kini giat dengan YDRInya, Andre GB tiba dari Bolaang Mongondow. Nama Giroth Wuntu kembali diperbincangkan waktu mendiskusikan Buku Andre yang segera akan terbit "Menganyam Cerita dari Benang Kebisuan" yang berisi tentang kesaksian-kesaksian para eks PKI, kajian HAM. Perdebatan karena perbedaan pendapat, sejumlah fakta dan data terungkap hingga usulan-usulan yang direkomendasikan untuk Andre, cukup menguras energi. Diskusi terpaksa harus berhenti pukul 3.30 pagi mengingat ada yang harus melanjutkan aktifitas pagi itu dan diksusi berakhir dengan gelak tawa ketika Andre dan pasukan Mawale yang lain mulai membayangkan kondisi anggota Mawale 50 taong datang (Kalu umur panjang, hehehe…) Yang paling parah bahwa saat itu ternyata Fredy Wowor belum juga menikah dan masih terus bercinta dengan buku-bukunya yang kini hampir 10 ribu judul, sedangkan Green Weol masih kata ba tona’ trus deng Angga. Sementara Andre telah menikah ke enam kali dan masih dengan orang yang sama. “So ngana tu manusia paling soe, kaweng brapa kali dengan perempuan yang sama !” Canda Weol menutup kebersamaan Mawale saat itu, sebelum akhirnya semua terlelap seperti ikang roa di kamar pa Fredy.
Tu cerita ada banya lei, mar nanti tu tamang2 laeng tambah akang jo………