Catatan 22 April 2010 (Waktu Hari Bumi)
Oleh Rikson Ch. Karundeng
Ayampun masih enggan turun dari peraduannya, namun para ibu dan anak-anak sudah memulai sebuah gerakan perjuangan demi kehidupan. Perjalanan selama beberapa jam sambil menerjang bukit-bukit berbatu adalah rutinitas yang biasa mereka jalani hingga 3 kali sehari. Antrian panjang adalah sebuah tahap selanjutnya yang harus dinikmati untuk bisa mengambil air dari Sungai Toiro yang semakin hari semakin sedikit dan semakin kecoklatan.
Pemandangan ini adalah sesuatu yang sepertinya tak pantas bagi manusia, namun itulah kenyataan yang harus dialami masyarakat Desa Foro, di distrik Konso di barat daya Etiopia. Pemandangan ini hanyalah satu potret dari begitu banyak tempat di dunia ini yang kini menyajikan pemandangan serupa.
Sementara masyarakat di Afrika melawan ganasnya gurun agar dapat mengantri untuk mendapatkan setetes air kotor, masyarakat di wilayah Israel, Yordania dan Palestina harus melewati “ritual bertikai” demi menyentuh Sungai Yordan. “Dari jendela depan kami dapat memandang bahwa kami bisa melintasi lembah cokelat kering itu hingga ke barisan tumbuhan hijau kelabu yang menandai aliran Sungai Yordan. Ya, untuk sesaat airnya tampak bisa dijangkau. Tapi untuk sampai ke tempat itu aku harus melompati pagar listrik, menyeberangi ladang ranjau, dan melawan tentara Israel," ujar Salamah.
Pandangan mata anak-anak Waleta Minahasa harus tiba-tiba teralih sejenak dari layar kaca tatkala Greenhill Weol jatuh saat berlarian untuk mendapatkan air di ruang belakang Sekretariat Gerakan Minahasa Muda. “Gila lei ini, sedangkan satu tetes so nda ada apa lei satu ember for di WC”, teriak Green dengan wajah terlihat sedikit panik.
“Bos, menurut warga di Perum Maesa UNIMA ini, so deng taong dorang da alami ini. Tiap hari bataria pa PDAM cuma nda ada hasil. Dulu kata boleh ja pi lari ambe aer di bawah mar skarang tu mata aer itu so kurang depe aer kong dorang so tutu lei. Jadi bukang cuma satu kali dorang da kawowoian kong nda ada aer sama deng angko da peragakan ini,” kata Rikson, disambut gelak tawa anak-anak Waleta Minahasa yang sebuk di meja redeaksi sambil menyaksikan tayangan televisi.
Beberapa menit berselang, seorang lelaki dengan kemeja biru muda masuk sambil menggenggam beberapa lembar kertas. “Mo ba tagih. Napa tu rekening aer,” katanya dengan nada enteng.
“Sebagai masyarakat yang hidop di negara hukum, torang tau atoran. Torang tau mana hak deng mana tu kewajiban. Mar bagimana lei ini, selama satu bulan ini torang nda pernah ada aer biar cuma satu tetes. Torang pe hak nda dapa mar torang pe kewajiban bayar aer torang tetap laksanakan. Cuma tu kewajiban itu kurang ja kase pa Tanta Nel di muka, deri biar saribu satu ember, tetap torang ja dapa aer pa dia,” terang Rikson.
“Oh, nda ja dapa aer dang di sini ? Nanti kita kase tau di kantor,” jawab orang berseragam itu, mengulang kata-katanya bulan sebelumnya, sambil berlalu begitu saja.
Masalah air ternyata bukan bukan cuma soal sulit mendapatkannya, ketersediaan air tidak sebanding dengan jumlah penduduk, masalah pencemaran air, tapi barangkali juga terkait dengan kebijakan pemerintah, seperti yang terjadi di Kota Air Tondano. Biarpun air melimpah namun kenyataannya banyak masyarakat yang masih sulit mendapatkan air bersih. Ironis memang, tapi itulah yang dialami masyarakat, diantaranya di Perum Maesa Tondano.
Masalah air terus menerus menjadi problematika yang sulit dipecahkan. Penghematan air pun sulit dilakukan karena merasa bahwa air adalah sesuatu yang terus menerus ada dan tidak akan habis. Faktanya adalah jumlah total air yang ada di bumi saat ini relatif sama dengan saat bumi ini tercipta. Yang berubah hanyalah bentuk dari air tersebut dalam siklus air yang berlangsung terus menerus. “Jadi air yang dipakai mandi oleh Lumimuut dan Toar, boleh jadi sama dengan aer yang samantara Chandra Rooroh da pake for minum di Tonsea sana,” Sela Green, saat mendengar Ompi yang begitu asik membaca dengan suara nyaring buku bejudul Bumi Kita.
Akan tetapi dari semua air tersebut, hanya 3% saja yang merupakan air tawar dimana 97% lagi adalah air asin. Dari 3% ini juga terbagi-bagi lagi dengan es, air tanah dan air permukaan. “Depe masalah adalah bagimana dengan jumlah air yang konstan ini, barangkali torang harus benar-benar menyayangi penggunaannya dan tidak membuang percuma. Torang banya buang aer percuma for cuci tangan, mencukur, minum yang tidak dihabiskan, mandi, deng laeng-laeng. Ini aer tantu musti trus ada for torang pe anak dan cucu supaya dorang boleh dapa kehidupan yang sama deng kita sekarang,” terang Ompi.
“Mar Bos, baru-baru Kepala Bagian Pengendalian Pencemaran Badan Pengelolah Lingkungan Hidup (BPLH) Sulut, Olvie Ateng, da bilang kalau Danau Tondano yang memiliki luas sekitar 4.278 hektar yang berlokasi di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut), mengalami degradasi daerah tangkapan air akibat kerusakan lingkungan. Angko tau apa depe maksud deng depe hubungan deng tong pe cirita ?” tanya Green, sembari melanjutkan informasinya “Danau Tondano itu sumber kehidupan di Minahasa. Itu ukuran. Sedangkan Danau Tondano pe basar boleh kring depe aer, bagimana tu sumber aer laeng ?”
Sesuai dengan data resmi dari BPLH sulut, kerusakan lingkungan di seputaran danau Tondano terjadi akibat dampak pemanasan global, illegal loging, kebakaran, konversi hutan, pertambangan golongan C, sehingga berdampak pada erosi dan sedimentasi. Akibat adanya degradasi lingkungan di danau itu, kondisi kedalaman danau kini tinggal 20 meter dari permukaan, dibanding tahun 1934 sekitar 40 meter dan tahun 1983 sekitar 27 meter. Berarti dalam setahun telah terjadi pendangkalan sekitar 25-30 sentimeter.
Menurut Green, bila kerusakan lingkungan tidak dihentikan, diperkirakan sebelum 50 tahun kedepan danau tersebut sudah mengalami kekeringan. "Ini kalu mo ambe dasar deri perhitungan BPLH, so nda lama danau Tondano kring. Mo lia ini soal, musti ada peran multi stakeholder, nda boleh cuma mo berharap pa satu pihak. Kalu soal program konkrit, mantap lei sto sama deng Om Bert Polii da bilang, tanang seho banya-banaya di seputaran danau. Depe manfaat ganda," jelas Green, mengkritisi data BPLH Sulut yang sedang didiskusikan.
“Butul itu bos, apalagi Daerah Aliran Sungai (DAS) Danau Tondano memiliki manfaat besar pada upaya pemenuhan kebutuhan manusia, seperti sumber air bersih melalui PDAM ke Kota Manado sebanyak 25.296 pelanggan. Kemudian sumber distribusi listrik PLTA Tonsea Lama sekitar 14,4 Megawatt (MW), PLTA Tanggari Satu 18 MW, PLTA Tanggari II 19 MW, PLTA Sawangan 16 MW. Di sektor perikanan ada produksi ikan sekitar 534 ton. Bahkan bisa menyuplai air ke 3.000 hektar sawah padi di seputaran danau. Blung lagi depe prospek di sektor wisata," sambung Rikson.
Kepala Badan Pengelolah Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Tondano, Widiasmoro Sigit, pernah menegaskan kalau Danau Tondano terancam dangkal atau kekeringan, karena kurangnya penanggulangan lingkungan dari pemerintah dan masyarakat. Menurutnya, masyarakat terkesan kurang serius menangani persoalan di Danau Tondano yang bisa berakibat penurunan debit air secara signifikan.
“Guna menanggulangi masalah di Danau Tondano, perlu ada konservasi secara berkesinambungan dengan meminimalisir terjadinya erosi dan sedimentasi sungai dan danau, menurunkan nilai parameter Total Suspensi Solid (TSS) dari 433-534 mg/lt menjadi <50mg/lt. Meningkatkan luasan daerah resapan dengan melakukan reboisasi lahan-lahan terbuka/kritis, merevitalisasi lahan-lahan kritis pada kawasan lindung,” kata Sigit ke salah satu media masa di Sulawesi Utara beberapa waktu lalu.
Air merupakan unsur utama bagi hidup di planet yang bernama bumi. Manusia mampu bertahan hidup tanpa makan dalam beberapa minggu, namun tanpa air ia akan mati dalam beberapa hari saja. Dalam bidang kehidupan ekonomi modern, air juga merupakan hal utama untuk budidaya pertanian, industri, pembangkit tenaga listrik, dan transportasi.
Semua orang berharap bahwa seharusnya air diperlakukan sebagai bahan yang sangat bernilai, dimanfaatkan secara bijak, dan dijaga terhadap pencemaran. Namun kenyataannya air selalu dihamburkan, dicemari, dan disia-siakan. Hampir separo penduduk dunia, hampir seluruhnya di negara-negara berkembang, menderita berbagai penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan air, atau oleh air yang tercemar. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, 2 miliar orang kini menyandang risiko menderita penyakit murus yang disebabkan oleh air dan makanan. Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian lebih dari 5 juta anak-anak setiap tahun.
“Sumber-sumber air semakin dicemari oleh limbah industri yang tidak diolah atau tercemar karena penggunaanya yang melebihi kapasitasnya untuk dapat diperbaharui. Kalau torang nyanda mengadakan perubahan radikal dalam cara memanfaatkan air, mungkin saja suatu ketika air tidak lagi dapat digunakan tanpa pengolahan khusus yang biayanya melewati jangkauan sumber daya ekonomi bagi kebanyakan negara,” terang Green.
Banyak orang memang memahami masalah-masalah pencemaran dan lingkungan yang biasanya merupakan akibat perindustrian, tetapi tetap saja tidak menyadari implikasi penting yang dapat terjadi. Sebagian besar penduduk bumi berada di negara-negara berkembang; kalau orang-orang ini harus mendapatkan sumber air yang layak, dan kalau mereka menginginkan ekonomi mereka berkembang dan berindustrialisasi, maka masalah-masalah yang kini ada harus disembuhkan. Namun bagaimanapun masalah persediaan air tidak dapat ditangani secara terpisah dari masalah lain. Buangan air yang tak layak dapat mencemari sumber air, dan sering kali tak teratasi. Ketidaksempurnaan dalam layanan pokok sistem saluran hujan yang kurang baik, pembuangan limbah padat yang jelek juga dapat menyebabkan hidup orang sengsara.
Tayangan televisi soal bumi, air dan segala persoalannya, telah berakhir. Namun hal tersebut bukan pertanda bahwa penderitaan masyarakat di Foro, sekitar Sungai Yordan sampai di Perum Maesa Tondano, sudah berakhir. Bagi, anak-anak Waleta Minahasa, barangkali ini sebuah kesempatan baru untuk memulai perhatian dan tindak nyata perlindungan bagi air demi masa depan anak-cucu mereka.
“Ini aer di bumi memang banya mar depe soal lei banya. Danau Tondano banya depe potensi mar depe soal lei banya. Kong sapa mo atasi ini soal ?” Tanya Ompi yang direspons dengan ekpresi ‘baku haga’ anak-anak Waleta Minahasa. “Mudah-mudahan tu manusia di dunia nda cuma baku haga sama deng ngoni waktu lia ini persoalan”.
Selamat Hari Bumi !!!